Telaga Rasul

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, SEMARANG – Pimpinan Daerah Aisyiyah Kota Semarang secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi anggota pada hari Sabtu setiap pekannya. Bertempat di Gedung Dakwah PDM Kota Semarang. Untuk tanggal 12 Februari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadz Drs. H. Danusiri M.Ag. Beliau menjabat sebagai ketua majelis tabligh PWM Jawa Tengah, yang akan menyampaikan tema “Telaga Rasul”.

Ustadz Drs. H. Danusiri M.Ag. ketika menjadi narasumber di kajian PDA Kota Semarang

Riwayat Ibnu Al-Mubarak menceritakan, pada hari Kiamat setiap nabi memiliki satu telaga, tidak terkecuali Rasulullah shallalahu ‘alaihi wa sallam. Pada hari itu, semua nabi saling membanggakan siapa di antara mereka yang paling banyak pengunjung telaganya. Setiap nabi berlomba mengajak umat yang dikenalinya.

Tak heran, kata Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Aku ingin menjadi nabi yang paling banyak pengunjung telaganya.” Lantas bagaimanakah gambaran telaga Rasulullah?, sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut :

HADITS TELAGA HAUD

HR. Bukhari no 6097 :

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ مُطَرِّفٍ حَدَّثَنِي أَبُو حَازِمٍ عَنْ سَهْلِ بْنِ سَعْدٍ  قَالَ قَالَ النَّبِيُّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  إِنِّي فَرَطُكُمْ

عَلَى الْحَوْضِ مَنْ مَرَّ عَلَيَّ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا لَيَرِدَنَّ عَلَيَّ أَقْوَامٌ  أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي  ثُمَّ يُحَالُ  بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ  قَالَ أَبُو حَازِمٍ فَسَمِعَنِي النُّعْمَانُ بْنُ أَبِي عَيَّاشٍ فَقَالَ هَكَذَا سَمِعْتَ مِنْ سَهْلٍ فَقُلْتُ نَعَمْ فَقَالَ أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ لَسَمِعْتُهُ وَهُوَ يَزِيدُ فِيهَا فَأَقُولُ إِنَّهُمْ مِنِّي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِي وَقَالَ ابْنُ عَبَّاسٍ سُحْقًا بُعْدًا يُقَالُ سَحِيقٌ بَعِيدٌ سَحَقَهُ وَأَسْحَقَهُ أَبْعَدَهُ وَقَالَ أَحْمَدُ بْنُ شَبِيبِ بْنِ سَعِيدٍ الْحَبَطِيُّ حَدَّثَنَا أَبِي عَنْ يُونُسَ عَنْ ابْنِ شِهَابٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ الْمُسَيَّبِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ يَرِدُ عَلَيَّ يَوْمَ الْقِيَامَةِ رَهْطٌ مِنْ أَصْحَابِي فَيُحَلَّئُونَ عَنْ الْحَوْضِ فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا عِلْمَ لَكَ بِمَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ إِنَّهُمْ ارْتَدُّوا عَلَى أَدْبَارِهِمْ الْقَهْقَرَ

Terjemahan : Telah menceritakan kepada kami Sa’id bin Abi Maryam telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Mutharrif telah menceritakan kepadaku Abu Hazim dari Sahal bin Sa’d mengatakan, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Akulah pertama-tama yang mendangi telaga, siapa yang menuju telagaku akan minum, dan siapa yang meminumnya tak akan haus selama-lamanya, sungguh akan ada beberapa kaum yang mendatangiku dan aku mengenalnya dan mereka juga mengenaliku, kemudian antara aku dan mereka dihalangi.” Kata Abu Hazim, Nu’man bin Abi ‘Ayyasy mendengarku, maka ia berkomentar; ‘Beginikah kamu mendengar dari Sahal? ‘ ‘Iya’ Jawabku. Lalu ia berujar; ‘Saya bersaksi kepada Abu Sa’id Alkhudzri, sungguh aku mendengarnya dan dia menambahi redaksi; “aku berkata; ‘mereka adalah golonganku! ‘ tetapi di jawab; ‘Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu! ‘ Maka aku berkata; ‘menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah (agama) sepeninggalku.” Kata Ibnu ‘Abbas, istilah suhqan maknanya menjauh. Sahiq maknanya ba’id (jauh). Ashaqo maknanya ab’ada (menjauhkan). Sedang Ahmad bin Syabib bin Sa’id Al Habathi mengatakan, telah menceritakan kepada kami ayahku dari Yunus dari Ibnu Syihab dari Sa’id bin Musayyab dari Abu Hurairah bahwasanya ia menceritakan, bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Pada hari kiamat beberapa orang sahabatku mendatangiku, kemudian mereka disingkirkan dari telaga, maka aku katakan; ‘ya rabbi, (mereka) sahabatku! ‘ Allah menjawab; ‘Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang yang mereka kerjakan sepeninggalmu. Mereka berbalik ke belakang dengan melakukan murtad, bid’ah dan dosa besar.”

HR. Bukhari no 6528 :

حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِي حَازِمٍ قَالَ  سَمِعْتُ سَهْلَ بْنَ سَعْدٍ  يَقُولُ  سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ

يَقُولُ أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ فَمَنْ وَرَدَهُ شَرِبَ مِنْهُ وَمَنْ شَرِبَ مِنْهُ لَمْ يَظْمَأْ بَعْدَهُ أَبَدًا لَيَرِدُ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ   قَالَ  أَبُو حَازِمٍ  فَسَمِعَنِي  النُّعْمَانُ  بْنُ أَبِي عَيَّاشٍ  وَأَنَا أُحَدِّثُهُمْ هَذَا فَقَالَ هَكَذَا سَمِعْتَ سَهْلًا فَقُلْتُ نَعَمْ قَالَ وَأَنَا أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ لَسَمِعْتُهُ يَزِيدُ فِيهِ قَالَ إِنَّهُمْ مِنِّي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِي

Terjemahan : Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Bukair telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Abdurrahman dari Abu Hazim mengatakan aku mendengar Sahal bin Sa’d mengatakan, aku mendengar Nabi Shallallahu’alaihiwasallam bersabda; “Aku manusia pertama-tama diantara kalian yang menuju telaga, barangsiapa mendatanginya, maka tak akan haus selama-lamanya, sungguh beberapa orang menemuiku yang aku mengenal mereka dan juga mereka mengenalku, lantas tiba-tiba aku dan mereka terhalang.” Abu Hazim mengatakan; dan Nu’man bin Abi ‘Ayyasy mendengar aku ketika aku sedang menceritakan kepada mereka hadits ini, lantas ia bertanya kepadaku; ‘kamu mendengar dari Sahal ‘ Kujawab; ‘Iya.’ Ia katakan; ‘Dan saya bersaksi kepada Abu Sa’id Al Khudzri, sungguh aku mendengarnya dengan tambahan redaksi; “Mereka adalah dari ummatku’ lantas ada suara yang menjawab; kamu tidak tahu perubahan yang mereka lakukan sepeninggalmu! Sehingga aku berkata; ‘Celaka,, celaka bagi siapa saja yang mengganti agama sepeninggalku!”

HR. Ibnu Majah no 4296 :

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ بَشَّارٍ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ جَعْفَرٍ حَدَّثَنَا شُعْبَةُ عَنْ الْعَلَاءِ بْنِ عَبْدِ الرَّحْمَنِ عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  عَنْ النَّبِيِّ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ

وَسَلَّمَ أَنَّهُ أَتَى الْمَقْبَرَةَ فَسَلَّمَ عَلَى الْمَقْبَرَةِ فَقَالَ السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى بِكُمْ لَاحِقُونَ ثُمَّ قَالَ لَوَدِدْنَا أَنَّا قَدْ رَأَيْنَا إِخْوَانَنَا قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَوَلَسْنَا إِخْوَانَكَ قَالَ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانِي الَّذِينَ يَأْتُونَ مِنْ بَعْدِي وَأَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ لَمْ يَأْتِ مِنْ أُمَّتِكَ قَالَ أَرَأَيْتُمْ لَوْ أَنَّ رَجُلًا لَهُ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ بَيْنَ ظَهْرَانَيْ خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَمْ يَكُنْ يَعْرِفُهَا قَالُوا بَلَى قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ أَثَرِ الْوُضُوءِ قَالَ أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ ثُمَّ قَالَ لَيُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ فَأُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمُّوا فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ وَلَمْ يَزَالُوا يَرْجِعُونَ عَلَى أَعْقَابِهِمْ فَأَقُولُ أَلَا سُحْقًا سُحْقًا

Terjemahan : Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Basyar telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Ja’far telah menceritakan kepada kami Syu’bah dari Al ‘Ala` bin Abdurrahman dari ayahnya dari Abu Hurairah dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, bahwa beliau pernah mendatangi pemakaman dan beliau mengucapkan salam kepada ahli kubur, beliau mengucapkan: “Semoga keselamatan senantiasa tercurah bagimu, rumah bagi kaum Muslimin, dan Insya Allah Ta’ala kami akan menyusulmu.” Lalu beliau bersabda: “Sungguh kami berharap untuk dapat berjumpa dengan saudara-saudara kami ini.” Para sahabat bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah kami bukan saudara-saudaramu?” beliau menjawab: “Kalian adalah para sahabatku dan saudara-saudaraku yang datang setelahku, sesungguhnya aku menunggu kalian di telagaku.” Mereka bertanya; “Wahai Rasulullah, bagaimana anda bisa mengenali orang-orang yang tidak anda ketahui dari umatmu?” beliau menjawab: “Bagaimana menurut kalian jika seseorang memiliki kuda berbulu putih di muka dan di kedua pergelangan kakinya, di tengah-tengah gerombolan kuda hitam pekat? Bukankah ia dapat dikenali?” Mereka menjawab; “Tentu.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka datang pada hari Kiamat dengan muka dan kedua pergelangan tangan dan kaki mereka yang putih bekas air wudlu.” Beliau bersabda: “Aku menunggu kalian di tepi telaga.” Lalu beliau melanjutkan: “Ketahuilah bahwa telagaku akan dijaga sebagaimana di jaganya telaga dari unta yang tersesat. Kemudian aku akan memanggil mereka; “Mari datanglah.” Maka di katakan; “Sesungguhnya mereka telah merubahnya setelahmu, serta mereka masih terus membalikkan badannya, maka aku berkata; “Majulah, majulah.”

HR. Malik no 53 dan Muslim no 367 :

حَدَّثَنِي عَنْ  مَالِك عَنْ الْعَلَاءِ  بْنِ عَبْدِ  الرَّحْمَنِ  عَنْ أَبِيهِ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أ نَّ رَسُولَ اللَّهِ  صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ  وَسَلَّمَ خَرَجَ إِلَى الْمَقْبُرَةِ فَقَالَ

السَّلَامُ عَلَيْكُمْ دَارَ قَوْمٍ مُؤْمِنِينَ وَإِنَّا إِنْ شَاءَ اللَّهُ بِكُمْ لَاحِقُونَ وَدِدْتُ أَنِّي قَدْ رَأَيْتُ إِخْوَانَنَا فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَسْنَا بِإِخْوَانِكَ قَالَ بَلْ أَنْتُمْ أَصْحَابِي وَإِخْوَانُنَا الَّذِينَ لَمْ يَأْتُوا بَعْدُ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ فَقَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ كَيْفَ تَعْرِفُ مَنْ يَأْتِي بَعْدَكَ مِنْ أُمَّتِكَ قَالَ أَرَأَيْتَ لَوْ كَانَ لِرَجُلٍ خَيْلٌ غُرٌّ مُحَجَّلَةٌ فِي خَيْلٍ دُهْمٍ بُهْمٍ أَلَا يَعْرِفُ خَيْلَهُ قَالُوا بَلَى يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ فَإِنَّهُمْ يَأْتُونَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ غُرًّا مُحَجَّلِينَ مِنْ الْوُضُوءِ وَأَنَا فَرَطُهُمْ عَلَى الْحَوْضِ فَلَا يُذَادَنَّ رِجَالٌ عَنْ حَوْضِي كَمَا يُذَادُ الْبَعِيرُ الضَّالُّ أُنَادِيهِمْ أَلَا هَلُمَّ أَلَا هَلُمَّ أَلَا هَلُمَّ فَيُقَالُ إِنَّهُمْ قَدْ بَدَّلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ فَسُحْقًا فَسُحْقًا فَسُحْقًا

Terjemahan : Perawi menerangkan; telah menceritakan kepadaku dari Malik dari Al ‘Ala` bin Abdurrahman dari bapaknya dari Abu Hurairah; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam keluar menuju pekuburan lalu beliau membaca; “(Keselamatan bagi kalian, Wahai para penghuni kubur orang-orang mukmin. Jika Allah berkehendak, kami akan menyusul kalian.) Sungguh saya ingin melihat saudara-saudara kami.” Maka para sahabat bertanya; “Wahai Rasulullah, bukankah kami adalah saudara anda.” Beliau menjawab: “bahkan kalian adalah sahabat-sahabatku, tetapi saudara-saudaraku adalah yang akan datang nanti, pada saat aku menunggu mereka di tepi telaga” mereka berkata; “Wahai Rasulullah, bagaimana engkau bisa mengenal orang yang datang sepeninggalmu dari umatmu?” Rasulullah menjawab: “bagaimana pendapatmu jika ada seorang lelaki yang memiliki kuda putih cemerlang di antara kuda hitam yang pekat, bukankah dia mengetahuinya?” mereka menjawab; “Ya benar wahai Rasulullah.” Beliau bersabda: “Sesungguhnya mereka datang pada Hari Kiamat dengan putih bersinar karena wudlu, saya yang akan menyambut mereka di telaga. Maka jangan sampai ada yang terusir dari telagaku, sebagaimana unta tersesat yang terusir, saya memanggil mereka; ‘Ayolah ke sini, ayolah ke sini! ayolah kesini! ” tiba-tiba ada yang menegur; ‘Sesungguhnya mereka telah mengganti (agamanya) sepeninggalmu’ maka saya berkata; ‘Menjauhlah, menjauhlah, menjauhlah’.”

HR. Muslim no 4243 :

حَدَّثَنَا قُتَيْبَةُ بْنُ سَعِيدٍ حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ يَعْنِي ابْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْقَارِيَّ عَنْ أَبِي حَازِمٍ  قَالَ سَمِعْتُ  سَهْلًا يَقُولُا سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ

وَسَلَّمَ يَقُولُ أَنَا فَرَطُكُمْ عَلَى الْحَوْضِ مَنْ وَرَدَ شَرِبَ وَمَنْ شَرِبَ لَمْ يَظْمَأْ أَبَدًا وَلَيَرِدَنَّ عَلَيَّ أَقْوَامٌ أَعْرِفُهُمْ وَيَعْرِفُونِي ثُمَّ يُحَالُ بَيْنِي وَبَيْنَهُمْ  قَالَ أَبُو حَازِمٍ فَسَمِعَ  النُّعْمَانُ بْنُ أَبِي عَيَّاشٍ وَأَنَا أُحَدِّثُهُمْ هَذَا الْحَدِيثَ فَقَالَ هَكَذَا سَمِعْتَ سَهْلًا يَقُولُ قَالَ فَقُلْتُ نَعَمْ قَالَ وَأَنَا أَشْهَدُ عَلَى أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ لَسَمِعْتُهُ يَزِيدُ فَيَقُولُ إِنَّهُمْ مِنِّي فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا عَمِلُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ بَدَّلَ بَعْدِي و حَدَّثَنَا هَارُونُ بْنُ سَعِيدٍ الْأَيْلِيُّ حَدَّثَنَا ابْنُ وَهْبٍ أَخْبَرَنِي أُسَامَةُ عَنْ أَبِي حَازِمٍ عَنْ سَهْلٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَعَنْ النُّعْمَانِ بْنِ أَبِي عَيَّاشٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِمِثْلِ حَدِيثِ يَعْقُوبَ

Terjemahan : Telah menceritakan kepada kami Qutaibah bin Sa’id Telah menceritakan kepada kami Ya’qub yaitu Ibnu Abdurrahman Al Qari dari Abu Hazim dia berkata; Aku mendengar Sahal berkata; Aku mendengar Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Aku mendahului kalian ke telaga. Siapa yang datang ke telaga itu, dia boleh minum, dan siapa yang minum, maka tidak akan haus selama-lamanya. Akan datang kepadaku orang banyak, yang aku mengenal mereka dan mereka juga mengenalku. Sesudah itu akan ada dinding yang membatasi antara aku dan mereka.” Abu Hazim berkata; Nu’man bin Abu ‘Ayyas mendengar aku menyampaikan Hadits ini, lalu ia berkata; Begitukah kamu mendengar Sahal mengatakannya? Aku menjawab; ‘Ya.’ Dia berkata lagi; aku pun bersaksi atas Abu Sa’id al khudri sungguh aku telah mendengarnya dia menambahkan, beliau bersabda: ‘Mereka itu adalah dari golongan umatku, lalu dikatakan kepada beliau; ‘Sesungguhnya kamu tidak tahu apa yang mereka lakukan sepeninggalmu. Maka aku bersabda: “celakalah, celakalah orang yang merubah ajaranku sepeninggalku. Dan telah menceritakan kepada kami Harun bin Sa’id Al Aili Telah menceritakan kepada kami Ibnu Wahab Telah mengabarkan kepadaku Usamah dari Abu Hazim dari Sahal dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dan dari Nu’man bin Abu ‘Ayyas dari Abu Sa’id Al Khudri dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam yang serupa dengan Hadits Ya’qub.

HR Muslim no 5271 :

فَيُقَالُ إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًاالنَّضْرِ هَاشِمُ بْنُ الْقَاسِمِ حَدَّثَنَا عُبَيْدُ اللَّهِ الْأَشْجَعِيُّ عَنْ سُفْيَانَ الثَّوْرِيِّ عَنْ عُبَيْدٍ الْمُكْتِبِ عَنْ فُضَيْلٍ عَنْ الشَّعْبِيِّ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كُنَّا عِنْدَ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَضَحِكَ فَقَالَ هَلْ تَدْرُونَ مِمَّ أَضْحَكُ قَالَ قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ مِنْ مُخَاطَبَةِ الْعَبْدِ رَبَّهُ يَقُولُ يَا رَبِّ أَلَمْ تُجِرْنِي مِنْ الظُّلْمِ قَالَ يَقُولُ بَلَى قَالَ فَيَقُولُ فَإِنِّي لَا أُجِيزُ عَلَى نَفْسِي إِلَّا شَاهِدًا مِنِّي قَالَ فَيَقُولُ كَفَى بِنَفْسِكَ الْيَوْمَ عَلَيْكَ شَهِيدًا وَبِالْكِرَامِ الْكَاتِبِينَ شُهُودًا قَالَ فَيُخْتَمُ عَلَى فِيهِ فَيُقَالُ لِأَرْكَانِهِ انْطِقِي قَالَ فَتَنْطِقُ بِأَعْمَالِهِ قَالَ ثُمَّ يُخَلَّى بَيْنَهُ وَبَيْنَ الْكَلَامِ قَالَ فَيَقُولُ بُعْدًا لَكُنَّ وَسُحْقًا فَعَنْكُنَّ كُنْتُ أُنَاضِلُ

Terjemahan : Telah menceritakan kepada kami Abu Bakr bin An Nadhr bin Abu An Nadhr telah menceritakan kepadaku Hasyim bin Al Qasim telah menceritakan kepada kami Ubaidullah Al Asyja’i dari Sufyan Ats Tsauri dari Ubaid Al Muktib dari Fudhail dari Asy Sya’bi dari Anas bin Malik berkata: Suatu ketika kami pernah bersama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa Salam, beliau tertawa dan bertanya: “Tahukah kalian apa yang membuatku tertawa?” Ia berkata: Kami menjawab: Allah dan RasulNya lebih tahu. Beliau bersabda: Aku menertawakan percakapan seorang hamba dengan Rabbnya. Ia berkata: ‘Wahai Rabb, bukankah Engkau telah menghindarkanku dari kelaliman? ‘ Dia menjawab: ‘Ya.’ Ia berkata: ‘Sesungguhnya aku tidak mengizinkan jiwaku kecuali untuk menjadi saksi atas diriku sendiri.” Beliau meneruskan: “Diapun berkata: ‘Kalau begitu pada hari ini cukuplah jiwamu yang menjadi saksi atas dirimu, ‘ (Al Israa`: 16) dan juga para malaikat yang mulia yang mencacat amalanmu menjadi para saksi.” Beliau meneruskan: “Lalu dibungkamlah mulut dan dikatakan kepada anggota badannya: ‘Bicaralah.’ Maka anggota badannya pun mengungkap semua amal perbuatan yang dilakukannya.” Beliau meneruskan: “Kemudian dilepaskanlah antara ia dan ucapannya hingga ia berkata: ‘Celakalah kalian, bukankah aku dulu membelamu?”

Gedung dakwah PDM Kota Semarang di masjid At-Taqwa kompleks RS Roemani

Hadits Telaga Al-Kautsar

HR. Ibnu Majah no 4325 :

أَخْبَرَنَا عَمْرُو بْنُ عَوْنٍ أَخْبَرَنَا أَبُو عَوَانَةَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ السَّائِبِ عَنْ مُحَارِبِ بْنِ دِثَارٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ قَالَ لَمَّا نَزَلَتْ { إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ } قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ هُوَ نَهْرٌ فِي الْجَنَّةِ حَافَّتَاهُ مِنْ ذَهَبٍ يَجْرِي عَلَى الدُّرِّ وَالْيَاقُوتِ تُرْبَتُهُ أَطْيَبُ مِنْ رِيحِ الْمِسْكِ وَطَعْمُهُ أَحْلَى مِنْ الْعَسَلِ وَمَاؤُهُ أَشَدُّ بَيَاضًا مِنْ الثَّلْج

Terjemah Arti : Telah mengabarkan kepada kami Amr bin ‘Aun telah mengabarkan kepada kami Abu ‘Awanah dari ‘Atha` bin As Sa`ib dari Muharib bin Ditsar ia berkata; Telah menceritakan kepada kami Abdullah bin Umar ia berkata; Ketika turun ayat: INNA A’THAINA KAL KAUTSAR (Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak), Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Itu adalah sungai di dalam surga, kedua tepinya terbuat dari emas, airnya mengalir di atas permata dan yaqut, tanahnya lebih wangi dari minyak misik, rasanya lebih manis dari pada madu, dan airnya lebih putih dari pada salju.

HR. Nasai no 894 :

أَخْبَرَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ قَالَ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ الْمُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ بَيْنَمَا ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا يُرِيدُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا لَهُ مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ نَزَلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ { إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ } ثُمَّ قَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي فِي الْجَنَّةِ آنِيَتُهُ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْكَوَاكِبِ تَرِدُهُ عَلَيَّ أُمَّتِي فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ يَا رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِي فَيَقُولُ لِي إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَ بَعْدَكَ

Terjemah Arti : Telah mengabarkan kepada kami ‘Ali bin Hujr dia berkata; telah menceritakan kepada kami ‘Ali bin Mushar dari Al Mukhtar bin Fulful dari Anas bin Malik dia berkata; “Suatu hari Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam berada diantara kami, dan tiba-tiba beliau Shallallahu’alaihi wasallam tertidur sebentar. Kemudian beliau mengangkat kepalanya sambil tersenyum, maka kami bertanya kepadanya, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu’alihiwasallam apakah yang membuat engkau tersenyum? ‘ Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menjawab, ‘Tadi baru saja turun surat (Al Kautsar) Bismillahirrahmaanirrahiim, Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah shalat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terpuruk (QS. Al Kautsar (108): 1 -3). Kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Apakah kalian tahu apa Al Kautsar itu? ‘ Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui’. Lalu Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: ‘Al Kautsar adalah sebuah telaga yang telah dijanjikan Rabb ku untukku di surga; bejananya (tempat airnya) sebanyak jumlah bintang-bintang di langit. Umatku banyak yang datang kepadaku, namun salah seorang umatku ini ditariknya, maka aku berkata.”Ya Rabbi, dia umatku.” Lalu Allah berfirman, “Engkau tidak tahu apa yang terjadi setelah engkau wafat.

HR Muslim no 607 :

حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ حُجْرٍ السَّعْدِيُّ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ أَخْبَرَنَا الْمُخْتَارُ بْنُ فُلْفُلٍ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ ح و حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ وَاللَّفْظُ لَهُ حَدَّثَنَا عَلِيُّ بْنُ مُسْهِرٍ عَنْ الْمُخْتَارِ عَنْ أَنَسٍ قَالَ بَيْنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَاتَ يَوْمٍ بَيْنَ أَظْهُرِنَا إِذْ أَغْفَى إِغْفَاءَةً ثُمَّ رَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَقُلْنَا مَا أَضْحَكَكَ يَا رَسُولَ اللَّهِ قَالَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ { إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ } ثُمَّ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ فَقُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ عَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ هُوَ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِي فَيَقُولُ مَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَتْ بَعْدَكَ زَادَ ابْنُ حُجْرٍ فِي حَدِيثِهِ بَيْنَ أَظْهُرِنَا فِي الْمَسْجِدِ وَقَالَ مَا أَحْدَثَ بَعْدَكَ حَدَّثَنَا أَبُو كُرَيْبٍ مُحَمَّدُ بْنُ الْعَلَاءِ أَخْبَرَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ مُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُا أَغْفَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِغْفَاءَةً بِنَحْوِ حَدِيثِ ابْنِ مُسْهِرٍ غَيْرَ أَنَّهُ قَالَ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الْجَنَّةِ عَلَيْهِ حَوْضٌ وَلَمْ يَذْكُرْ آنِيَتُهُ عَدَدُ النُّجُومِ

Terjemah Arti : Telah menceritakan kepada kami Ali bin Hujr as-Sa’di telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir telah mengabarkan kepada kami al-Mukhtar bin Fulful dari Anas bin Malik –lewat jalur periwayatan lain– dan telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abi Syaibah sedangkan lafazh tersebut miliknya, telah menceritakan kepada kami Ali bin Mushir dari al-Mukhtar dari Anas dia berkata, “Pada suatu hari ketika Rasulullah di antara kami, tiba-tiba beliau tertidur, kemudian mengangkat kepalanya dalam keadaan tersenyum, maka kami bertanya, ‘Apa yang membuatmu tertawa wahai Rasulullah? ‘ Beliau menjawab, ‘Baru saja diturunkan kepadaku suatu surat, lalu beliau membaca, ‘Bismillahirrahmanirrahim, Inna A’thainaka al-Kautsar Fashalli Lirabbika Wanhar, Inna Syani’aka Huwa al-Abtar, ‘ kemudian beliau berkata, ‘Apakah kalian tahu, apakah al-Kautsar itu? ‘ Kami menjawab, ‘Allah dan RasulNya lebih tahu.’ Beliau bersabda, ‘Ia adalah sungai yang dijanjikan oleh Rabbku kepadaku. Padanya terdapat kebaikan yang banyak. Ia adalah telaga yang umatku menemuiku pada hari kiamat, wadahnya sebanyak jumlah bintang, lalu seorang hamba dari umatku terhalang darinya, maka aku berkata, ‘Wahai Rabbku, sesungguhnya dia termasuk umatku’, maka Allah berkata, ‘Kamu tidak tahu sesuatu yang terjadi setelah (meninggalmu) ‘.” Ibnu Hujr menambahkan dalam haditsnya, “Di antara kami dalam masjid.” Dan kalimat, “Allah berfirman, ‘Sesuatu yang terjadi setelah meninggalmu’.” Telah menceritakan kepada kami Abu Kuraib Muhammad bin al-‘Ala telah mengabarkan kepada kami Ibnu Fudhail dari Mukhtar bin Fulful dia berkata, “Saya mendengar Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam tidur”, sebagaimana hadits Ibnu Mushir, hanya saja dia berkata, ‘Sungai yang dijanjikan oleh Rabbku di surga, padanya terdapat telaga, ‘ dan dia tidak menyebutkan, ‘Wadahnya sebanyak jumlah bintang’

HR Abu Daud no 666 :

حَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا ابْنُ فُضَيْلٍ عَنْ الْمُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ حَتَّى خَتَمَهَا قَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي فِي الْجَنَّةِ

Terjemah Arti : Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sarri telah menceritakan kepada kami Ibnu Fudlail dari Al Mukhtar bin Fulful dia berkata; saya mendengar Anas bin Malik berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tadi telah di turunkan suatu surat kepadaku.” Lalu beliau membaca: “BISMILLAHIRRAHMAANIRRAHIM, INNAA A’THAINAAKAL KAUTSAR …” hingga akhir ayat. Beliau bersabda: “Apakah kalian tahu Al Kautsar?” para sahabat menjawab; “Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui.” Beliau bersabda: “Ia adalah sungai di dalam surga yang telah di janjikan oleh Rabbku kepadaku kelak

HR. Abu Daud no 4122 :

حَدَّثَنَا هَنَّادُ بْنُ السَّرِيِّ حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ فُضَيْلٍ عَنْ الْمُخْتَارِ بْنِ فُلْفُلٍ قَالَ سَمِعْتُ أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ يَقُولُ أَغْفَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِغْفَاءَةً فَرَفَعَ رَأْسَهُ مُتَبَسِّمًا فَإِمَّا قَالَ لَهُمْ وَإِمَّا قَالُوا لَهُ يَا رَسُولَ اللَّهِ لِمَ ضَحِكْتَ فَقَالَ إِنَّهُ أُنْزِلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ فَقَرَأَ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ { إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ } حَتَّى خَتَمَهَا فَلَمَّا قَرَأَهَا قَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي عَزَّ وَجَلَّ فِي الْجَنَّةِ وَعَلَيْهِ خَيْرٌ كَثِيرٌ عَلَيْهِ حَوْضٌ تَرِدُ عَلَيْهِ أُمَّتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ آنِيَتُهُ عَدَدُ الْكَوَاكِبِ

Terjemah Arti : Telah menceritakan kepada kami Hannad bin As Sari berkata, telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Fudhail dari Al Mukhtar bin Fulful ia berkata; Aku mendengar Anas bin Malik berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam terlelap beberapa saat, setelah itu beliau mengangkat kepala dan tersenyum. (waktu itu) beliau berkata kepada mereka, atau mereka yang berkata kepada beliau, “Wahai Rasulullah, kenapa engkau tertawa?” beliau menjawab: “Baru saja turun kepadaku satu surat.” Beliau lalu membaca: (Dengan menyebut nama Allah yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu ni’mat yang banyak…) hingga akhir ayat. Ketika beliau selesai membacayanya, beliau bertanya: “Apakah kalian tahu apa yang dimaksud dengan Al kautsar?” para sahabat menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.” Beliau bersabda: “Itu adalah sungai di surga yang janjikan Rabbku kepadaku. Padanya banyak kebaikan. Padanya juga ada telaga yang digunakan untuk minum oleh umatku pada hari kiamat. Gelasnya sejumlah bintang di langit

HR. Abu Daud no 4123 :

حَدَّثَنَا عَاصِمُ بْنُ النَّضْرِ قَالَ حَدَّثَنَا الْمُعْتَمِرُ قَالَ سَمِعْتُ أَبِي قَالَ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ لَمَّا عُرِجَ بِنَبِيِّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْجَنَّةِ أَوْ كَمَا قَالَ عُرِضَ لَهُ نَهْرٌ حَافَتَاهُ الْيَاقُوتُ الْمُجَيَّبُ أَوْ قَالَ الْمُجَوَّفُ فَضَرَبَ الْمَلَكُ الَّذِي مَعَهُ يَدَهُ فَاسْتَخْرَجَ مِسْكًا فَقَالَ مُحَمَّدٌ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِلْمَلَكِ الَّذِي مَعَهُ مَا هَذَا قَالَ الْكَوْثَرُ الَّذِي أَعْطَاكَ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ

Terjemah Arti : Telah menceritakan kepada kami Ashim bin An Nadhr ia berkata; telah menceritakan kepada kami Al Mu’tamir ia berkata; aku mendengar Bapakku ia berkata; telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas bin Malik ia berkata, “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam dinaikkan ke surga, atau sebagaimana yang ia katakan, “diperlihatkan kepada beliau sebuah sungai yang dua tepinya dihiasi dengan permata. Kemudian malaikat yang bersamanya memukul tangannya hingga keluarlah minyak kesturi. Muhammad shallallahu ‘alaihi wasallam lalu bertanya: “Apa ini?” malaikat itu menjawab, “Ini adalah Al kautsar yang Allah Azza Wa Jalla berikan kepadamu

HR. Bukhari no 4582 :

حَدَّثَنَا آدَمُ حَدَّثَنَا شَيْبَانُ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ عَنْ أَنَسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ لَمَّا عُرِجَ بِالنَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إِلَى السَّمَاءِ قَالَ أَتَيْتُ عَلَى نَهَرٍ حَافَتَاهُ قِبَابُ اللُّؤْلُؤِ مُجَوَّفًا فَقُلْتُ مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَذَا الْكَوْثَرُ

Terjemah Arti : Telah menceritakan kepada kami Adam Telah menceritakan kepada kami Syaiban Telah menceritakan kepada kami Qatadah dari Anas radliallahu ‘anhu, Ia berkata; Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mengalami peristiwa Mi’raj ke langit, beliau pun bersabda: “Aku mendatangi telaga, pada kedua tepinya terdapat Qubah berongga yang terbuat dari mutiara. Maka aku pun bertanya, ‘Apa ini wahai Jibril? ‘ Ia menjawab, ‘Ini adalah Al Kautsar

HR. Bukhari no 4583 :

حَدَّثَنَا خَالِدُ بْنُ يَزِيدَ الْكَاهِلِيُّ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ عَنْ أَبِي عُبَيْدَةَ عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَ سَأَلْتُهَا عَنْ قَوْلِهِ تَعَالَى { إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ } قَالَتْ نَهَرٌ أُعْطِيَهُ نَبِيُّكُمْ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ شَاطِئَاهُ عَلَيْهِ دُرٌّ مُجَوَّفٌ آنِيَتُهُ كَعَدَدِ النُّجُومِ رَوَاهُ زَكَرِيَّاءُ وَأَبُو الْأَحْوَصِ وَمُطَرِّفٌ عَنْ أَبِي إِسْحَاقَ

Terjemah Arti : Telah menceritakan kepada kami Khalid bin Yazid Al Kahili Telah menceritakan kepada kami Isra`il dari Abu Ishaq dari Abu Ubaidah dari Aisyah radliallahu ‘anha. Aku pernah bertanya kepadanya tentang firman Allah Ta’ala, “INNAA A’THAINAAKAL KAUTSAR.” Maka Aisyah pun menjawab, “Itu adalah sungai yang telah diberikan kepada Nabi kalian shallallahu ‘alaihi wasallam. Kedua tepinya terdapat mutiara yang berlubang. Bejana-bejana sejumlah bintang di langit.

HR. Bukhari no 4584 :

حَدَّثَنَا يَعْقُوبُ بْنُ إِبْرَاهِيمَ حَدَّثَنَا هُشَيْمٌ حَدَّثَنَا أَبُو بِشْرٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّهُ قَالَ فِي الْكَوْثَرِ هُوَ الْخَيْرُ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ قَالَ أَبُو بِشْرٍ قُلْتُ لِسَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ فَإِنَّ النَّاسَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُ نَهَرٌ فِي الْجَنَّةِ فَقَالَ سَعِيدٌ النَّهَرُ الَّذِي فِي الْجَنَّةِ مِنْ الْخَيْرِ الَّذِي أَعْطَاهُ اللَّهُ إِيَّاهُ

Terjemah Arti : Telah menceritakan kepada kami Ya’qub bin Ibrahim Telah menceritakan kepada kami Husyaim Telah menceritakan kepada kami Abu Bisyr dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu Abbas radliallahu ‘anhuma, bahwa ia berkata terkait dengan firman Allah: “AL KAUTSAR.” Ia menjelaskan, “Itu adalah kebaikan yang diberikan Allah kepadanya.” Abu Bisyr berkata; Aku berkata kepada Sa’id bin Jubair, “Namun orang-orang menganggap bahwa hal itu adalah sungai yang ada di surga.” Maka Sa’id pun berkata, “Sungai yang ada di dalam surga, juga merupakan kebaikan yang diberikan Allah pada beliau

HR. Bukhari no 6092 :

حَدَّثَنَا أَبُو الْوَلِيدِ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ عَنْ قَتَادَةَ عَنْ أَنَسٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ح و حَدَّثَنَا هُدْبَةُ بْنُ خَالِدٍ حَدَّثَنَا هَمَّامٌ حَدَّثَنَا قَتَادَةُ حَدَّثَنَا أَنَسُ بْنُ مَالِكٍ عَنْ النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ بَيْنَمَا أَنَا أَسِيرُ فِي الْجَنَّةِ إِذَا أَنَا بِنَهَرٍ حَافَتَاهُ قِبَابُ الدُّرِّ الْمُجَوَّفِ قُلْتُ مَا هَذَا يَا جِبْرِيلُ قَالَ هَذَا الْكَوْثَرُ الَّذِي أَعْطَاكَ رَبُّكَ فَإِذَا طِينُهُ أَوْ طِيبُهُ مِسْكٌ أَذْفَرُ شَكَّ هُدْبَةُ

Terjemah Arti : Telah menceritakan kepada kami Abul Walid telah menceritakan kepada kami Hammam dari Qatadah dari Anas dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam –lewat jalur periwayatan lain- Telah menceritakan kepada kami Hudbah bin Khalid Telah menceritakan kepada kami Hammam telah menceritakan kepada kami Qatadah telah menceritakan kepada kami Anas bin Malik dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “ketika kami berjalan di surga, tiba-tiba ada sungai yang pinggirnya berupa kubah-kubah dari mutiara berongga. Saya bertanya; ‘Apa ini hai Jibril? ‘ Jibril menjawab; ‘Inilah al kautsar yang Allah berikan untukmu, ‘ ternyata tanahnya atau bau wanginya terbuat dari minyak misik adzfar” -Hudbah ragu kepastiannya, tanah atau baunya

Kantor Lazismu Daerah dikompleks Masjid At-Taqwa RS Roemani Semarang

Salurkan donasi terbaik anda melalui:

Lazismu PDM Kota Semarang
Memberi Untuk Negeri

Zakat
Bank Syariah Indonesia
777 888 1785

Infaq
Bank Syariah Indonesia
777 888 1785

Konfirmasi :
0856 4087 3531 (call center Lazismu Kota Semarang)
0813 2755 1238 (Abdullah Hasan)

Penulis : M. Danusiri
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Bulughul Maram Bab Air

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, SEMARANG SELATAN – Pimpinan Cabang Muhammadiyah Semarang Selatan secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi masyarakat umum setiap pekannya. Bertempat di masjid Assalam Jl. Wonodri Baru V no 14 RT 01 RW 02, Wonodri. Untuk pekan ke-4 dibulan Januari ini, kajian tersebut diadakan pada hari Senin, tanggal 24 Januari 2022. Kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadz Drs. H. M. Danusiri M.Ag. Beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah, yang akan menterjemahkan kitab “Bulughul Maram Bab Air”

Ustadz Drs. H. M. Danusiri M.Ag. ketika menjelaskan kitab Bulughul Maram Bab Air kepada jamaah

Laki-Laki Mandi Dengan Air Bekas Wanita dan Sebaliknya

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

Hadits Riwayat Abu Daud :

وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Terjemahan : Dari seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita (istri) mandi dengan air bekas mandi laki-laki (suami), atau laki-laki (suami) mandi dengan air bekas mandi wanita (istri), dan hendaknya mereka berdua menciduk air bersama-sama.” (HR. Abu Dawud, An Nasa-i, dan sanad-sanadnya shahih).

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih. Namun Asy-Syaukani berkata yang ringkasnya, “Al Baihaqi menyatakan hadits ini mursal, dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa Dawud meriwayatkannya dari Hamid bin Abdirrahman Al Himyari yang dhoif. An Nawawi berkata, “para Hafidz sepakat atas kedhaifan hadits ini”. Ini adalah sisi celaan.

Adapun yang men-tsiqah-kannya, adalah At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan”. Ibnu Majah berkata, “hadits ini shahih”. Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, “sungguh An Nawawi telah salah ketika menyatakan ijma’ atas kedhaifannya, padahal perawi-perawinya tsiqah (terpercaya).”

Dan celaan Al-Baihaqi atas mursalnya hadits ini tertolak, karena mubham (ketidakjelasan) sahabat tidak mengapa. Celaan Ibnu Hazm atas dhaifnya Hamid Al-Himyari tertolak, karena ia bukan Hamid bin Abdullah Al-Himyari tetapi Hamid bin Abdirrahman Al-Himyari, dan perawi ini tsiqah (terpercaya) lagi faqih. Al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di Bulughul Marom bahwa sanad-sanadnya shahih.

Maksud Hadits:

  • Kata wanita dan laki-laki dalam hadits ini yang dimaksud adalah wanita dan laki-laki yang sudah dewasa/baligh, dan yang dimaksud wanita adalah seorang istri, sementara laki-laki maksudnya adalah seorang suami.
  • Kata mandi dalam hadits ini maksudnya adalah mandi wajib/mandi besar

Faidah Hadits:

  • Dilarang bagi seorang suami mandi besar dengan air sisa mandi besar yang digunakan istri
  • Dilarang bagi seorang istri mandi besar dengan air sisa mandi besar yang digunakan suami
  • Yang disyari’atkan adalah keduanya mandi besar bersama-sama dengan mengambil (menyiduk) air.

Hadits Riwayat Muslim :

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَاأخرجه مسلموَلِأَصْحَابِ ” اَلسُّنَنِ “اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي جَفْنَةٍ , فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا , فَقَالَتْ لَهُ : إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا , فَقَالَ : “إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُجْنِبُ

Terjemah Arti : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah radiyallahu ‘anha.” (HR. Muslim)

Oleh Ashabus Sunan, “Sebagian istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Maimunah) mandi di dalam bak. Lalu beliau datang untuk mandi dengan airnya. Lalu Maimunah berkata, “Saya sedang junub”, lalu beliau bersabda, “sesungguhnya air itu tidak menjadi junub”.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim telah tercacati dengan pertentangan di riwayat Amr bin Dinar. Akan tetapi telah ada hadits di Shahihain secara terpelihara tanpa pertentangan, dengan lafadz, “bahwa nabi –shallalahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah mandi berdua di dalam satu bak.” Lafadz ini jika tidak bertentangan dengan riwayat Muslim, maka yang bertentangan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabussunnan, dan inilah yang benar.

Ibnu Abdil Haadi berkata di Al-Muharror, “At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Adz Dzahabi menshahihkannya.”

Faidah Hadits:

  1. Diperbolehkan seorang suami mandi besar dengan bekas air mandi yang digunakan istri, dan juga sebaliknya.
  2. Sesungguhnya mandi besar/wudhu seseorang dalam satu wadah tidak membuat air di dalamnya menjadi junub/najis. 
  3. Al Wazir dan An Nawawi menceritakan adanya ijma’ atas bolehnya laki-laki mandi besar/wudhu dengan air bekas bersucinya wanita (dan sebaliknya) walaupun mereka tidak mandi besar/wudhu’ bersama.

Kesimpulan :

Dalam perkara ini, yang benar adalah menggunakan Hadits ke-7 yang memperbolehkan suami/istri mandi besar dengan air bekas mandi besar pasangannya. Apabila mendapati dua hadits shahih yang bertentangan maka ada 4 cara untuk menyikapinya, yakni:

  1. Menjama’ kedua hadits tersebut, yakni menompromikan/menggabung amalan yang terdapat pada kedua hadits yang saling bertentangan.
  2. Naskh Wa Mansukh, yakni hadits yang paling baru menghapus hadits yang sebelumnya, cara ini dilakukan apabila kita dapat mengetahui sejarah hadits yang bertentangan tersebut.
  3. Tarjih, yakni menguatkan salah satu hadits yang saling bertentangan
  4. Tawaqquf, yakni diam sampai ada dalil.

Maka dalam masalah hadits ini, tidak mungkin menjama’ kedua hadits tersebut karena jelas saling bertentangan. Meskipun ada beberapa ulama’ Mazhab Hanbali yang berusaha menjama’ hadits ini, yaitu hadits 6 di atas merupakan larangan yang tidak berkonsekuensi haram (Ishaq bin Rahawaih memakruhkannya), akan tetapi larangan tersebut hanya untuk menjaga kebersihan saja, dan bermakna lebih utama meninggalkannnya, tetapi jika dia melakukannya maka tidak mengapa.  Namun pendapat ini lemah karena tidak ada dalil yang menguatkan ijtihadnya sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pada hadits 7 bersabda: sesungguhnya air itu tidak menjadi junub’. Selain itu, pada hadits 7 tidak mungkin Rasulullah yang ma’shum melakukan perbuatan yang makruh.

Sehingga yang lebih benar dalam perkara ini adalah dengan menguatkan salah satu hadits. Hadits yang terkuat dalam masalah ini adalah hadits 7, berdasarkan sanad, hadits 7 diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sementara hadits ke 6 diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam tingkatan perawi hadits, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Muslim lebih kuat daripada riwayat Abu Dawud. Sementara dari sisi jenis haditsnya, hadits ke-6 merupakan hadits Fi’li (perbuatan Nabi), sementara hadits ke-7 merupakan hadits Fi’li dan Qauli (perbuatan dan perkataan Nabi), sehingga dalam masalah ini yang lebih kuat adalah hadits ke-7.

Menyucikan Tempat Air Yang Dijilati Anjing

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits riwayat Tirmidzi berikut ini :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ  أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ

Terjemahan : Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan: “Hendaklah ia membuang air itu.” Menurut riwayat Tirmidzi: “Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah)”.

Kosakata Hadits :

  • Kata طهور (thuhur) merupakan isim mashdar, artinya kesucian.
  • Kata ولغ (walagho) = menjilat, artinya meminum dengan ujung lidah, dan ini cara minum anjing dan hewan-hewan buas lainnya.
  • Kata التراب (at-turab) = debu, yaitu sesuatu yang halus di permukaan tanah. Hadits ini bersifat ta’abbudi (ibadah), tidak ada ruang qiyas dalam hal ini. Misal: mengqiyaskan debu/tanah dengan arang atau yang lainnya, atau mengqiyaskan anjing dengan babi, dan sebagainya, maka ini tidak diperbolehkan.
  • Kata فليرقه (falyuriqhu) yaitu hendaknya ia menumpahkannya (air) ke tanah.
  • Kata أخراهن, أو أولاهن (ukhrahunna aw uulahunna) = yang terakhir atau yang pertama. 

Penjelasan Hadits :

“Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah.”

Maksudnya tempat air yang terkena jilatan anjing tersebut dicuci dengan debu tanah disertai air sebanyak 1 kali, kemudian diguyur/dicuci dengan air saja sebanyak 6 kali sehingga totalnya adalah tujuh kali. Najisnya jilatan anjing ini merupakan najis yang paling berat. Di dalam syari’at Islam ini, tidak ada najis yang dibersihkan sebanyak 7 kali (yang pertama dengan tanah), kecuali najis yang disebabkan oleh jilatan anjing. Najis yang lainnya hanya dicuci sekali saja, terkena kencing manusia, kotoran manusia, darah manusia, cukup dicuci sekali.

“Hendaklah ia membuang air itu.”

Maksudnya ketika tempat air terkena jilatan anjing, maka air yang ada di dalam tempat air tersebut hendaknya dibuang terlebih dahulu, baru tempat airnya dicuci sebanyak 7 kali.

“Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah)”.

Yang rajih bahwa ini adalah keraguan dari perawi hadits, bukan maksudnya boleh memiliih (antara yang pertama atau yang terakhir), riyawat “ulaahunna” (yang pertamanya) lebih rajih karena banyaknya riwayat tentangnya, dan karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan juga karena debu lebih tepat jika digunakan pada cucian pertama maka itu lebih bersih (dibandingkan jika debunya digunakan pada cucian yang terakhir).

Faidah Hadits:

  1. Anjing itu najis dan seluruh anggota badannya dan air liurnya itu najis (menurut pendapat jumhur ulama’), tapi menurut mazhab Maliki dan mazhab Zhahiri mengatakan yang najis hanya air liurnya saja. Dan juga semua kotoran anjing ini najis, dan semua hewan yang haram dimakan maka kotorannya juga najis.
  2. Bahwasannya air liur anjing merupakan najis mughaladhah (berat) dan air liur anjing ini merupakan najis yang paling berat.
  3. Tidak cukup menghilangkan najis jilatan anjing ini hanya 1 kali cucian, harus sebanyak 7 kali cucian, tidak boleh kurang dari itu. Sementara itu, perawi hadits ini yakni Abu Hurairah radhiyallahu’anhu pernah berfatwa: “Apabila ada anjing menjilat bejana cukup dicuci 3 kali saja”, sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memerintahkan mencuci 7 kali.
  4. Apabila anjing menjilat bejana/perkakas (yang berisi air), maka tidak cukup mencuci bejana tersebut hanya langsung dicuci begitu saja (dengan air yang ada di dalam bejana tersebut), namun perlu dituang/dibuang terlebih dahulu air yang ada di bejana tersebut, kemudian baru dicuci sebanyak 7 kali (dengan tanah dan air).
  5. Apabila dijumpai lidah anjing dalam keadaan kering (tidak basah karena air liurnya), dan benda yang dijilat juga kering, maka najis tidak dapat berpindah dari lidahnya ke tempat yang lain. Dan ini bisa diqiyaskan dengan yang lain, misal: apabila ada anak kecil kencing di suatu tempat kemudian esoknya mengering dan kita menginjaknya dengan kaki dalam keadaan kering, maka najisnya tidak berpindah. Berbeda apabila kita menginjak bekas kencing yang sudah kering tersebut dengan kaki berkeringat, maka najis kencing tersebut dapat berpindah ke kaki kita dan harus dicuci hingga suci. Karena najis dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam keadaan basah.
  6. Wajib menggunakan tanah (satu kali) pada cucian yang pertama (dicampur dengan air), kemudian dilanjutkan dengan air sebanyak 6 kali.
  7. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyebutkan media/benda yang digunakan untuk menyucikan bejana hanya dengan tanah yang dicampur air, tidak boleh menggunakan media/benda lain walaupun itu dikatakan dapat lebih bersih. Misalnya dengan menggunakan obat pel, atau dengan air keras, maka selain tanah itu tidak diperbolehkan.
  8. Menggunakan tanah ini boleh dengan cara tanahnya dimasukkan ke air atau air dituangkan ke tanah. Yang penting air dan tanah ini bercampur. Tidak boleh hanya menggunakan tanah kering saja.
  9. Bahwasannya, berdasarkan penelitian, ditemukan adanya mikroba dalam liur anjing yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan menggunakan tanah, oleh karena itu harus menyucikannya dengan tanah.
  10. Dalam hadits ini berlaku umum bagi semua jenis anjing, apabila menjilat bejana maka harus dicuci sebanyak 7 kali (menurut jumhur ulama’). 

Masjid Assalam Wonodri, tempat berlangsungnya kajian kitab Bulughul Maram

Sucinya Bekas Minum dan Makan dari Kucing

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ – فِي الْهِرَّةِ – : إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة

Terjemahan : Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda perihal kucing –bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu. (Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah).

Pada pertemuan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa kata الْهِرَّةِ dalam hadits ini artinya adalah kucing betina, namun kucing jantan juga termasuk dalam hadits ini. Dan telah kita sebutkan beberapa faidah yang dapat dipetik pada hadits ini diantaranya:

  1. Kucing, baik jantan maupun betina tidaklah najis, baik bulunya, air liurnya, maupun yang lainnya tidaklah najis. Ketika al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani membawakah hadits ke-8 tentang jilatan anjing, kemudian beliau langsung membawakan hadits ke-9 tentang kucing. Artinya seolah-olah beliau ingin membedakan dengan tegas bahwa anjing dan kucing memiliki kedudukan hukum yang berbeda. Anjing merupakan hewan yang najis, bahkan najisnya berat, sementara kucing merupakan hewan yang suci, walaupun sama-sama hewan yang haram dimakan dagingnya.
  2. Penyebab mengapa kucing ini tidak najis, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyebutkan bahwa kucing sering berlalu-lalang. Di sini Rasulullah menyebutkan: sesungguhnya kucing itu tidaklah najis”, lafadznya umum terbatas (muthlaq), kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyebutkan: ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu” ini menguatkan bahwa kucing tidaklah najis. 
  3. Dari hadits ini diambil satu kaidah besar dalam kaidah fiqih, yaitu: المشقة تجلب التيسير (apabila ada kesulitan, syari’at akan memberi kemudahan). Misalnya: kucing ini sering berkeliaran di sekitar kita, ia akan menjilat benda apapun di sekitar kita sehingga apabila air liur kucing najis maka akan menyulitkan untuk membersihkan, sehingga syari’at memberikan keringanan kepada kucing sehingga ia tidaklah najis.
  4. Diqiyaskan (yang menempati hukum yang sama dengan kucing) adalah hewan yang sering berlalu-lalang, seperti tikus, bighal (kawin silang antara kuda dan keledai), dan keledai ahli (keledai yang sering membantu tugas manusia). 
  5. Para ahli fiqih, mazhab Syafi’i dan selain mereka meng-qiyaskan bahwa semua hewan yang sebesar kucing atau lebih kecil daripada kucing itu menempati hukum yang sama dengan kucing, yakni tidak najis. Namun menurut mazhab Hanbali, qiyas tersebut tidak tepat, karena keledai ukurannya lebih besar dari kucing namun keledai (ahli) bukanlah merupakan hewan najis. 
  6. Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai kesucian seluruh anggota badan kucing tanpa terkecuali. Namun meskipun tidak najis, kucing tetaplah hewan yang haram dimakan dagingnya, karena tidak semua yang suci boleh dimakan.
  7. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyebutkan, إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ (ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu”) ini merupakan penguat (taqyid) sabda Nabi, إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ (sesungguhnya kucing itu tidaklah najis”). 
  8. Ibnu Abdil Barr menyebutkan, “dalam hadits ini terdapat dalil bahwasannya apa yang diperbolehkan bagi kita untuk berinteraksi dengannya itu menunjukkan bahwa air liurnya adalah suci.”
  9. Pemahaman kebalikan dari hadits ini (sesuatu yang bisa dipahami dibalik tekstual hadits ini) adalah disyari’atkan menjauhi segala sesuatu yang berbau najis. Karena apabila kucing yang merupakan hewan yang suci kita boleh berinteraksi, maka segala sesuatu yang najis tidak diperbolehkan kita berinteraksi dengannya. Kecuali dalam keadaan darurat atau dalam keadaan membersihkan najis. Misalnya ketika dalam kondisi darurat tidak ada makanan halal selain yang haram dan najis, maka diperboleh memakannya; juga ketika mencuci pakaian yang terkena najis, maka boleh menyentuhnya.

Cara Membersihkan Tanah Yang Terkena Kencing

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Terjemahan : Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: “Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” (Muttafaq Alaihi).

Kosakata Hadits :

  1. Kata أَعْرَابِيٌّ (A’rab) mufrad (bentuk tunggal) yang berarti Orang Arab. Berbeda dengan عرب (‘Arab, yang berarti Bangsa Arab) yang merupakan isim jenis yang merupakan isim (kata benda) jamak tapi seolah-olah tunggal.
  2. Kata طَائِفَةِ, berarti satu bagian/satu penggal
  3. Kata زَجَرَهُ, ada yang mengartikan ‘membunuh’, ada yang mengartikan ‘melarang’

Penjelasan Umum Hadits :

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sangat mempertimbangkan maslahat yang lebih besar, yaitu beliau melihat kemaksiatan dan kemungkaran (bahkan terjadi di dalam masjid). Akan tetapi, cara menyikapi Rasulullah terhadap orang yang berilmu dengan orang yang kurang ilmunya berbeda. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam mempertimbangkan sisi maslahatnya (kaidah mashalih al-mursalah), beliau melihat apabila orang Arab yang kencing di masjid ini langsung dilarang kemudian dikejar, maka air kencingnya bisa menyebar kemana-mana. Ini dibutuhkan ilmu yang sangat dalam.

Faidah Hadits :

Sesungguhnya air kencing itu adalah najis, wajib dibersihkan tempat yang terkena najis air kencing baik berada di badan, pakaian, bejana, atau di tanah, dimanapun tempat yang terkena najis air kencing.

Apabila air kencing tersebut berada di lantai, maka cara membersihkannya berbeda dengan apabila air kencing tersebut berada di tanah. Karena lantai tidak menyerap air, apabila hanya disiram air maka air kencingnya akan menyebar kemana-mana, berbeda dengan tanah yang langsung menyerap air. Sehingga dalam menyikapi masalah ini dibutuhkan fiqih.

Apabila seseorang menjumpai air kencing yang berada di lantai yang tidak bisa menyerap air, maka tidak cukup diguyur dengan air, hendaknya mengambil kain lap kemudian diletakkan di atas tempat yang terkena air kencing hingga air kencingnya terserap semua di kain. Kemudian ketika lantai sudah agak kering, baru bisa dipel/dilap hingga warna, bau, dan rasa najisnya hilang dari lantai. Dan kain yang digunakan untuk melap air kencing harus dicuci hingga najisnya hilang.

Para ulama’ juga menyebutkan bahwa ada media lain selain air yang dapat digunakan untuk membersihkan najis air kencing, misalnya sinar matahari dan angin. Sehingga, apabila kita menjumpai seseorang menjemur pakaiannya yang terkena najis air kencing di bawah terik matahari hingga kering dan najisnya hilang (bau, warna, dan rasanya), maka pakaian tersebut sudah suci karenanya najisnya telah hilang karena sinar matahari.

Para jamaah yang khusyu mendengarkan tausiah dari ustadz Drs. H. M. Danusiri M.Ag.

Dihalalkan Atas 2 Bangkai dan 2 Darah

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ : فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ

Terjemahan : Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan).

Derajat Hadits :

Hadits ini shohih secara mauquf. Adapun perkataan penulis (Ibnu Hajar), “di dalamnya ada kedho’ifan” karena berasal dari riwayat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Ibnu Umar. Imam Ahmad mengatakan, “Ia adalah seorang munkarul hadits”. Abu Zar’ah dan Abu Hatim berkata, “hadits ini mauquf, dishohihkan secara marfu’ setiap yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni, Hakim, Al Baihaqi, dan Ibnul Qoyyim”. Ash Shon’ani berkata, “Jika telah ditetapkah hadits ini mauquf, maka hadits ini berhukum marfu’, karena perkataan shahabat “Dihalalkan bagi kami” dan “Diharamkan bagi kami”, ini seperti perkataan, “kami diperintah” dan “kami dilarang”, maka sudah bisa dijadikan hujjah. Inilah yang dinyatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar sebelumnya di At Talkhisul Khobir.

Faedah Hadits :

  1. Haramnya darah yang mengalir, diambil dari kebolehan dua darah yang disebutkan di dalam hadits tersebut.
    Pengecualian halalnya sebagian tertentu menjadi dalil tentang keharaman selainnya.
  2. Haramnya bangkai, yaitu hewan yang mati begitu saja atau disembelih tidak dengan cara yang sesuai dengan syari’at
  3. Ati dan limpa itu halal dan suci
  4. Bangkai belalang dan ikan juga halal dan suci. Makna bangkai belalang adalah belalang yang mati bukan akibat ulah manusia, melainkan mati begitu saja dengan sebab-sebab kematian seperti kedinginan, hanyut, atau yang lainnya. Adapun yang mati dengan sebab racun maka bangkai tersebut diharamkan karena di dalamnya terkandung racun yang mematikan yang diharamkan.

Kesimpulan :

Hadits ini menjadi dalil bahwa jika ikan dan belalang mati di air, maka air tersebut tidak ternajisi, baik air tersebut banyak maupun sedikit, sekalipun rasanya, warnanya, dan baunya berubah, maka perubahan tersebut bukan dengan sesuatu yang najis, akan tetapi perubahan itu dengan sesuatu yang suci.

Lalat Tidaklah Menajiskan Air Atau Selainnya Ketika Terjatuh Didalamnya

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد . وَزَادَ وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ

Terjemahan : Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila ada lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kamu maka benamkanlah lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab ada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada obat penawar.” Dikeluarkan oleh Bukhari dan Abu Dawud dengan tambahan: “Dan hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada penyakitnya.” 

Kosakata Hadits:

Kata الذُّبَابُ, yang berarti lalat, yakni semua jenis lalat, karena isim + ال bermakna umum, sehingga kata الذُّبَابُ dalam hadits ini bermakna umum semua jenis lalat.

Penjelasan Hadits Secara Umum:

Ketika itu kaum muslimin, yakni para sahabat radhiyallahu’anhum belum mengenal teknologi yang dapat mengetahui bahwa pada satu sisi saya terdapat racun/penyakit dan di sayap yang lain terdapat obat penawarnya. Mereka cukup meyakini bahwa apa yang dibawa oleh Allah dan Rasul-Nya merupakan suatu kebenaran yang harus diimani dan diamalkan.
Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan hal ‘ubudiyyah (ibadah) saja, melainkan juga tentang teknologi/ilmu sains. Dan yang lebih utama, terlepas dari apakah itu terbukti oleh teknologi/ilmu sains yaitu kita harus meyakini apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah suatu kebenaran, meskipun itu tidak masuk akal.

Faidah Hadits:

  1. Hadits ini menunjukkan sucinya lalat, baik tatkala hidup maupun sudah mati. Sesungguhnya lalat ini ketika jatuh ke benda cair maupun padat, tidak membuat benda tersebut menjadi najis. Namun meskipun suci, lalat tidak boleh dimakan, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan lalat itu seteleh ditenggelamkan ke dalam minuman/makanan.
  2. Disunnahkan untuk menenggelamkan lalat atau anggota tubuh lalat ke dalam minuman/makanan yang kejatuhan lalat tersebut, kemudian mengeluarkannya dan memanfaatkan minuman/makanan yang kejatuhan lalat tersebut. Dan hal itu tidak mengubah status kesucian dan kehalalan minuman/makanan tersebut.
  3. Di dalam tubuh lalat/sayap lalat terdapat penyakit dan di sayap lainnya terdapat obat penawar. Menurut para ulama’, biasanya sayap yang berada di atas air (minuman) merupakan sayap yang terdapat obat penawar, sedangkan sayap yang tenggelam lebih dulu ke dalam minuman merupakan sayap yang terdapat racun/penyakit. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memerintahkan untuk menenggelamkan seluruh bagian tubuh lalat untuk menetralkan racun/penyakit yang sudah masuk terlebih dahulu ke dalam minuman/makanan.
  4. Dalam hadits ini terdapat mukjizat ‘ilmiyyah. Telah ditemukan pada ilmu modern melalui penelitian, bahwa ada pembuktian secara ilmiah tentang kebenaran hadits ini, yakni terdapat penyakit/racun di salah satu sisi sayap lalat, dan di sisi lainnya terdapat obat penawarnya.
  5. Para ulama’ mengqiyaskan semua hewan yang tidak ada darah yang mengalir dalam tubuhnya dengan hewan lalat. Artinya, apabila hewan tersebut mati, maka bangkainya tidak dihukumi najis. Contoh: lebah, laron, nyamuk.

Segala Sesuatu Yang Terpotong Dari Hewan Ketika Hidup Dihukumi Bangkai

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اَللَّيْثِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – – مَا قُطِعَ مِنْ اَلْبَهِيمَةِ -وَهِيَ حَيَّةٌ- فَهُوَ مَيِّتٌ – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَاللَّفْظُ لَهُ

Terjemahan : Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Anggota yang terputus dari hewan yang masih hidup termasuk bangkai.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, beliau menyatakannya sahih. Lafaz hadits ini menurut Tirmidzi). [HR. Abu Daud, no. 2858; Tirmidzi, no. 1480. Hadits ini hasan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:76].

Faedah hadits :

  1. Jika bangkai yang dimaksudkan dalam hadits masuk dalam air, bangkai tersebut akan menajiskannya. Ini berlaku pada hewan yang bangkainya itu najis. Hal ini tentu berbeda untuk bangkai yang suci seperti pada ikan dan belalang.
  2. Yang terpotong dari hewan yang masih hidup dihukumi najis.
  3. Dikecualikan yang terpotong di sini adalah rambut dan bulu yang terpotong (lepas) dari pokoknya, dihukumi suci.

Kantor Lazismu Daerah dikompleks Masjid At-Taqwa RS Roemani Semarang

Salurkan donasi terbaik anda melalui:

Lazismu PDM Kota Semarang
Memberi Untuk Negeri

Zakat
Bank Syariah Indonesia
777 888 1785

Infaq
Bank Syariah Indonesia
777 888 1785

Konfirmasi :
0856 4087 3531 (call center Lazismu Kota Semarang)
0813 2755 1238 (Abdullah Hasan)

Penulis : M. Danusiri
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Kajian Tafsir Al-Quran Surat Al-Baqarah Ayat 92-101

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, TEMBALANG – Pimpinan Ranting Muhammadiyah Meteseh secara rutin mengadakan kajian tentang tafsir Al-Quran yang diperuntukkan bagi masyarakat umum pada 2 pekan sekali setiap bulannya. Bertempat di masjid Saubari Bening Hati, kompleks Pondok Tahfidz Ash Saubari, Meteseh, Semarang. Untuk tanggal 20 Januari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadz Drs. H. Danusiri M.Ag., saat ini menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah, yang akan memulai kajian tafsir Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 92-101.

Ustadz Drs. H. Danusiri M.Ag. ketika mengisi kajian tafsir Al-Quran di PRM Meteseh

Surat Al-Baqarah ayat 92-96 :

وَلَقَدْ جَاۤءَكُمْ مُّوْسٰى بِالْبَيِّنٰتِ ثُمَّ اتَّخَذْتُمُ الْعِجْلَ مِنْۢ بَعْدِهٖ وَاَنْتُمْ ظٰلِمُوْنَ

92. Dan sungguh, Musa telah datang kepadamu dengan bukti-bukti kebenaran, kemudian kamu mengambil (patung) anak sapi (sebagai sesembahan) setelah (kepergian)nya, dan kamu (menjadi) orang-orang zalim.

وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَكُمْ وَرَفَعْنَا فَوْقَكُمُ الطُّوْرَۗ خُذُوْا مَآ اٰتَيْنٰكُمْ بِقُوَّةٍ وَّاسْمَعُوْا ۗ قَالُوْا سَمِعْنَا وَعَصَيْنَا وَاُشْرِبُوْا فِيْ قُلُوْبِهِمُ الْعِجْلَ بِكُفْرِهِمْ ۗ قُلْ بِئْسَمَا يَأْمُرُكُمْ بِهٖٓ اِيْمَانُكُمْ اِنْ كُنْتُمْ مُّؤْمِنِيْنَ

93. Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji kamu dan Kami angkat gunung (Sinai) di atasmu (seraya berfirman), “Pegang teguhlah apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab, “Kami mendengarkan tetapi kami tidak menaati.” Dan diresapkanlah ke dalam hati mereka itu (kecintaan menyembah patung) anak sapi karena kekafiran mereka. Katakanlah, “Sangat buruk apa yang diperintahkan oleh kepercayaanmu kepadamu jika kamu orang-orang beriman!”

قُلْ اِنْ كَانَتْ لَكُمُ الدَّارُ الْاٰخِرَةُ عِنْدَ اللّٰهِ خَالِصَةً مِّنْ دُوْنِ النَّاسِ فَتَمَنَّوُا الْمَوْتَ اِنْ كُنْتُمْ صٰدِقِيْنَ

94. Katakanlah (Muhammad), “Jika negeri akhirat di sisi Allah, khusus untukmu saja bukan untuk orang lain, maka mintalah kematian jika kamu orang yang benar.”

وَلَنْ يَّتَمَنَّوْهُ اَبَدًاۢ بِمَا قَدَّمَتْ اَيْدِيْهِمْ ۗ وَاللّٰهُ عَلِيْمٌ ۢ بِالظّٰلِمِيْنَ

95. Tetapi mereka tidak akan menginginkan kematian itu sama sekali, karena dosa-dosa yang telah dilakukan tangan-tangan mereka. Dan Allah Maha Mengetahui orang-orang zalim.

وَلَتَجِدَنَّهُمْ اَحْرَصَ النَّاسِ عَلٰى حَيٰوةٍ ۛوَمِنَ الَّذِيْنَ اَشْرَكُوْا ۛيَوَدُّ اَحَدُهُمْ لَوْ يُعَمَّرُ اَلْفَ سَنَةٍۚ وَمَا هُوَ بِمُزَحْزِحِهٖ مِنَ الْعَذَابِ اَنْ يُّعَمَّرَۗ وَاللّٰهُ بَصِيْرٌۢ بِمَا يَعْمَلُوْنَ

96. Dan sungguh, engkau (Muhammad) akan mendapati mereka (orang-orang Yahudi), manusia yang paling tamak akan kehidupan (dunia), bahkan (lebih tamak) dari orang-orang musyrik. Masing-masing dari mereka, ingin diberi umur seribu tahun, padahal umur panjang itu tidak akan menjauhkan mereka dari azab. Dan Allah Maha Melihat apa yang mereka kerjakan.

PEMBAHASAN

Satu Variasi Keingkaran Ahli Kitab

Ahli Kitab hanya akan beriman kepada kitab yang turun kepada mereka. Kenyataannya, setelah Musa membawa bukti risalahnya, tetap saja mereka mengingkarinya. Mereka dibebaskan oleh Allah dari menyembah Fir’aun melalui risalah Musa, agar menyembah Allah Yang maha Tunggal, malah menyembah patung anak sapi. Dengan demikian, mereka menganiaya diri  sendiri (92). Penyembahan kepada patung anak lembu itu telah merasuki rasa dan pikiran mereka sehingga meskipun diancam terhimpit gunung, tetap saja kufur.

Allah menyatakan bahwa kekufuran mereka amat buruk. Mereka memang keras kepala dengan keyakinan sebagai bangsa yang handal dan mulya, di akhirat diistimewakan Allah melebihi bangsa lain. Sebenarnya tidak. Kalau memang benar, cobalah kamu (bani Israil) minta mati (sebagai bukti) karena kehidupan dunia tentu tidak ada artinya dibanding kehidupan surga di akhirat, yang umumnya orang takut menghadapi mati. Kenyataannya, mereka tidak meminta mati. Mendengar kata ‘mati’ saja sudah takut. Mengapa? Dosa sudah terlalu banyak, dan semuanya diketahui oleh Allah.

Keadaan umat Yahudi dan kaum muslimin di waktu itu dapat diambil sebagai ibrah (pelajaran). Tipologi Yahudi salah besar dengan sikap dan perbuatannya, sementara kaum muslimin benar dengan sikap dan perbuatannya. Dalam berperang melawan kaum muslimin, kaum Yahudi takut mati sehingga bersungguh-sungguh mengalahkan umat Islam. Umat Islam sungguh-sungguh mempertahankan kebenaran Islam mati-matian dan tidak takut mati karena jika mati beneran tergolong syahid. Dalam kaitannya di akhir surat Ali Imran, surga yang tinggi derajatnya hanya diperoleh bagi kaum mukminin setelah ditebus dengan berbagai ujian kesulitan dari Allah, terusir musuh, membunuh dan dibunuh dalam membela agama Allah.

Kesediaan mati karena iman adalah ujian penting bagi si mukmin. Pepatah mengatakan “al-mautu ayatul hubbi ash-shadiq (mati adalah bukti cinta sejati). Jika dibanding sikap dan perilaku bani Israil yang menentang kebenaran itu, meskipun mengaku iman kepada taurat, mereka sebenarnya amat loba terhadap hidup melebihi kaum musyrikin. Mereka mencari kemegahan hidup, menumpuk-numpuk harta, menternakkan uang (riba), menguasai perekonomian di mana mereka berada, dan memeras keringat si lemah. Sehingga, kalau bisa, mereka, orang-orang perorang ingin hidup 1000 tahun. Karena begitu terpautnya dengan kepada dunia, mereka lupa mati. Meskipun lidah tidak mengatakan  ‘ingin hidup seribu tahun’, namun sikap dan sepak-terjangnya dapat dipahami seperti itu. (penulis: mereka sangat ngongso dalam mencari kehidupan dunia).

Nasihat Islam adalah keseimbangan kehidupan dunia dan akhirat:

إعمل لدنياك كأنك تعيش أبدا, واعمل لآ خرتك كأنك تموت غدا

Catatan : Mengapa kaum Yahudi begitu terpaut dengan kehidupan dunia? Di dalam kitab taurat tidak dijelaskan hal-hal keakhiratan, demikian suatu pendapat.  

Pertimbangan HAMKA

Meskipun di dalam Taurat tidak menjelaskan soal akhirat, sanubari seorang beriman tentu ada kesan tentang keakhiratan. Pelajaran Budha tidak banyak menyinggung tentang akhirat, tetapi mereka tidak rakus terhadap kehidupan dunia (harta). Hanya perlu diingat, dengan panjangnya umur tidak bisa menunda akan datanganya azab dari Allah. Secara realistis, berapa pun panjang umur, akhirnya mati juga. Khairil Anwar mengatakan: “Hidup hanyalah menunda kekalahan” kekalahan pasti datang. Allah melihat apa yang mereka kerjakan. Artinya, manusia pasti mempertanggungjawabkan perbuatannya itu (baik atau buruk). Karena itu, (penulis) kerjakanlah kebaikan sebanyak mungkin, hindarilah amal sayyiah agar tenang ketika mempertanggungjawabkan perbuatan di hadirat Allah.

Kesimpulan

Dengan harta banyak, hidup kita memang menjadi nyaman, tetapi hanya dengan harta, tidak menjamin kebahagiaan hidup. Carilah harta sebanyak-banyaknya, tetapi jangan lupa hak-hak otomatis yang harus dibayarkan dan kewajiban yang harus ditunaikan.

Masjid Saubari Bening Hati, tempat berlangsungnya kajian tafsir Al-Quran PRM Meteseh

Surat Al-Baqarah ayat 97-101 :

قُلْ مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّجِبْرِيْلَ فَاِنَّهٗ نَزَّلَهٗ عَلٰى قَلْبِكَ بِاِذْنِ اللّٰهِ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ وَهُدًى وَّبُشْرٰى لِلْمُؤْمِنِيْنَ

97. Katakanlah (Muhammad), “Barangsiapa menjadi musuh Jibril, maka (ketahuilah) bahwa dialah yang telah menurunkan (Al-Qur’an) ke dalam hatimu dengan izin Allah, membenarkan apa (kitab-kitab) yang terdahulu, dan menjadi petunjuk serta berita gembira bagi orang-orang beriman.”

مَنْ كَانَ عَدُوًّا لِّلّٰهِ وَمَلٰۤىِٕكَتِهٖ وَرُسُلِهٖ وَجِبْرِيْلَ وَمِيْكٰىلَ فَاِنَّ اللّٰهَ عَدُوٌّ لِّلْكٰفِرِيْنَ

98. Barangsiapa menjadi musuh Allah, malaikat-malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, Jibril dan Mikail, maka sesungguhnya Allah musuh bagi orang-orang kafir.

وَلَقَدْ اَنْزَلْنَآ اِلَيْكَ اٰيٰتٍۢ بَيِّنٰتٍۚ وَمَا يَكْفُرُ بِهَآ اِلَّا الْفٰسِقُوْنَ

99. Dan sungguh, Kami telah menurunkan ayat-ayat yang jelas kepadamu (Muhammad), dan tidaklah ada yang mengingkarinya selain orang-orang fasik.

اَوَكُلَّمَا عٰهَدُوْا عَهْدًا نَّبَذَهٗ فَرِيْقٌ مِّنْهُمْ ۗ بَلْ اَكْثَرُهُمْ لَا يُؤْمِنُوْنَ

100. Dan mengapa setiap kali mereka mengikat janji, sekelompok mereka melanggarnya? Sedangkan sebagian besar mereka tidak beriman.

وَلَمَّا جَاۤءَهُمْ رَسُوْلٌ مِّنْ عِنْدِ اللّٰهِ مُصَدِّقٌ لِّمَا مَعَهُمْ نَبَذَ فَرِيْقٌ مِّنَ الَّذِيْنَ اُوْتُوا الْكِتٰبَۙ كِتٰبَ اللّٰهِ وَرَاۤءَ ظُهُوْرِهِمْ كَاَنَّهُمْ لَا يَعْلَمُوْنَۖ

101. Dan setelah datang kepada mereka seorang Rasul (Muhammad) dari Allah yang membenarkan apa yang ada pada mereka, sebagian dari orang-orang yang diberi Kitab (Taurat) melemparkan Kitab Allah itu ke belakang (punggung), seakan-akan mereka tidak tahu.

PEMBAHASAN

Bani Israil Musuh Jibril

Ayat-ayat yang lalu menjelaskan bahwa mereka hanya beriman kepada kitab yang diturunkan kepada mereka, dan tidak mau beriman kepada kitab Alquran, meskipun sebenarnya mereka juga banyak mengingkari kitab mereka sendiri. Pembahasan ayat ini,  98 menyatakan bahwa mereka memusuhi Malaikat Jibril. Abdullah bin Shuriya, tokoh mereka, mengatakan kami memusuhi Jibril. Mengapa?

Disebutkan bahwa Abdullah bin Shuriya bertanya kepada Rasulullah ‘dari siapa wahyu diterima’. Jawab beliau dari Allah melalui malaikat Jibril. Dia menolak untuk beriman kepada kitab Alquran karena yang membawa malaikat Jibril. Kalau yang membawa malaikat Mikail, mungkin akan dipertimbangkan untuk dipercayai. Ia memusuhi Jibril karena dulu menurutnya Jibril pernah berkata bahwa suatu saat baitul maqdis akan hancur, dan memang hancurlah baitul Maqdis, yaitu ketika diserang oleh Nebukat neshar (Bukhtu Nashr) kaisar dari babilonia. Beribu-ribu bangsa Yahudi ditawan di sana. 

Versi lain menyebutkan bahwa suatu saat Umar bi khatahab memasuki madrasah Yahudi. Banyak omong-omong dengan mereka. Suatu saat Umar ngomong tentang Jibril. Serta-merta Yahudi menolak pembicaraan dan menyatakan sebagai musuh Jibril. Mereka memusuhinya karena menurut mereka Jibril itu terlalu banyak membuka rahasia Yahudi untuk disampaikan kepada Muhammad saw. Dia, kata mereka banyak membawa kerusakan dan azab, berbeda dari Mikalil. Dia membawa kesuburan dan kedamaian. Intinya, mereka memusuhi Jibril. Mengapa harus menurunkan wahyu lagi. Taurat sudah cukup. Mengapa datang nabi lagi. Lebih-lebih nabi tersebut bukan dari Bani Israil. Dengan ini, martabat mereka merasa menjadi rendah karena ada nabi lain di luar bani Israil, yaitu dari bangsa Arab.

Pemahaman HAMKA.

Amat Dangkal pemahaman Bani Israil dengan memusuhi Jibril. Bukankah ia hanya utusan dari Allah? Di sisi lain, Isi Alquran juga sama dengan Taurat, yaitu sama-sama mengajarkan tauhid kepada Allah swt. jadi, intinya mereka memusuhi Allah, memusuhi Rasulullah, dan memusuhi Malaikat Jibril. Terhadap sikap permusuhan bani Israil, Allah menurunkan bukti-bukti yang jelas yang dapat dinalar dan dapat dibandingkan antara taurat dan Alquran. Kok mereka masih menolak, memang mereka itu rusak (fasiq) logikanya, rusak jiwanya, dan rusak perasaannya. Dalam hal ini relefan dengan syair.

قد تنكر العين ضوء الشمس من رمد. وينكر الفم حلو الماء من سقم

QadTunkirul ‘ainudlauasy-syamsi min ramadin. Wayunkirulfammuhilwalmaai min saqamin

(Kadang-kadang mata melawan matahari  karena dia ditimpa trachom. Dan mulut menentang manisnya air karena ditimpa demam).

Karena terlalu rusaknya mentalitas bangsa Israil apapun yan di tentang. Perjanjian mereka kepada Allah melalui Musa yang semula disetujui, pada akhirnya  ditentang pula. Setelah datang utusan Allah berikutnya, mereka sebagian tidak mau berjanji alias mengufurinya, sebagian berjanji, tetapi mengingkarinya. “janji hanya di atas kertas” karena memang tidak percaya.

Kesimpulan :

Semoga kita bisa mengambil pelajaran dari kasus kemungkaran kaum Yahudi. Semoga kita ikhlas menerima petunjuk apapun dari Alquran dan berlanjut pada perbuatan konkrit, yaitu melaksanakan petunjuk itu dengan ikhlas pula. Amin, ya Rabbal ‘alamin.

Penulis : M. Danusiri
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Antara Kalender Masehi dan Islam

Kalender Masehi bersumber kepada aqidah paganism/Berhala

1. Bulan Januari

Januari berarti menjadi bulan pertama (januarius Mensis), berasal dari nama dewa Janus putra ketiga dari  Dewa Zeus. Ia adalah dewa matahari, penjaga kerajaan ayahnya, berwajah dua, menghadap ke depan dan ke belakang, selanjutnya dimaknai dalam konteks waktu. Masa lalu, sekarang, dan masa depan.

Janus, putra ke 3 dari dewa Zeus, ia menjadi dewa matahari, berarti Lorong menuju surga, penjaga surga. Wajah yang bagus menghadap ke surga, wajah yang serem menuju  menuju ke alam luar untuk mengawasi supaya tidak ada iblis (luciver) masuk surga. Nama lengkap bulan pertama adalah Januarius mensis, anak nomor tiga dijadikan bulan pertama.

Ilustrasi dewa Janus

2. Bulan Februari

Kata Februari berasal dari nama dewa Februus, berasal dari nama dewa Februus anak kedua dari dewa Zeus, dewa penyucian. Bulan upacara untuk menyucikan jiwa. Februus adalah dewa penyucian dalam mitologi Etruska. Dia juga merupakan dewa Dunia Bawah. Selain itu, Februus juga merupakan dewa kekayaan dan kematian. Nama dewa Februus, dan juga nama bulan Februarius kemungkinan dinamai dari festival penyucian dan pembersihan mata air, yaitu festival Februa (atau Februalia dan Februatio), yang dilakukan setiap tanggal 15 bulan tersebut.

Ilustrasi dewa februs

3. Bulan Maret

Bulan Maret berasal dari nama dewa Mars, dewa perang, putra pertama dari dewa Zeus. Pada tahun 450 SM, oleh Yulius Caesar dijadikan bulan ke tiga, yang semula adalah bulan pertama dalam kalender gregarious.

Ilustrasi dewa Mars / dewa perang

4. Bulan April

berasal dari nama dewi Aprilis, aphrodite, Apru, dewi cinta, artinya ‘membuka’ yang maksudnya musim bunga karena kelopak bunga membuka.

Ilustrasi dewi Aprilis

5. Bulan Mei

berasal dari nama dewi Maia. Ia adalah dewi kesuburan bangsa. Pengaruhnya sampai ke sini mungkin sekali adalah sedekah desa, sedekah bumi, sedekah laut dalam rangka memohon berkah kepada dewi Sri.

6. Bulan Juni

berasal dari nama dewi Juno, istri dewa Yupiter

7. Bulan Juli

bersal dari nama kaesar  ‘Yulius caesar’ semula sebagai bulan kelima ‘quintilis’

8. Bulan Agustus

berasal dari bahasa portugis ‘agosto’ atau kaesar Romawi ‘Octavianus Agustus’

9. Bulan September

berasal dari kata ‘septem’ yang berarti ‘tujuh’ (non mitos), maksudnya bulan ke 7

10. Bulan Oktober

berasal dari bahasa Latin ‘octo’ yang berarti bulan ke ‘delapan’ diberlakukan sejak tahun 153 SM.

11. Bulan November

berasal dari kata ‘novem’ yang berarti bulan ke ‘sembilan’ berlaku sejak tahun 153 SM

12. Bulan Desember

berasal dari kata ‘desem’ yang berarti bulan ke ‘sepuluh’. Dalam bulan ini lahirlah dewa matahari, yaitu Dewa Janus,  tgl 25 Desember. Selanjutnya tanggal ini diadobsi menjadi lahirnya Yesus Kristus dalam agama nasrani. Ketika anak ke 3 dari dewa Zeus ini dinobatkan sebagai dewa matahari yang berarti raja para dewa, kemudian dijadikan sebagai bulan pertama dalam kalender romawi. Itulah sebabnya tanggal 25 desember dan 1 januari menjadi satu paket dalam agama nasrani sebagai hari sakral. Oleh pemerintah sekarang, hari itu menggantikan posisi hari liburan dari idul fitri bagi umat Islam. Hari natal yang mereka pertuhan, yaitu yesus lahir di hari kelahiran dewa janus. Jadi salah satu yang dapat kita petik dari peristiwa itu adalah sinkretisme antara nasrani dan agama romawi kuno, yaitu sinkretisme sistem teologi trinitas dan paganisme.

Kesimpulan :

Dalam tinjauan aqidah Islam, Nama-nama bulan dalam sistem kalender masehi penuh dengan paganisme, kemusyrikan karena melibatkan berbagai nama macam dewa yang disembah  atau diibadahi oleh orang-orang Eropa (Yunani, Romawi, Portugis, dan Belanda). Tentu tidak merusak aqidah Islamiyyah, selagi kita dudukkan sebagai budaya. Akan lebih bagus kalau kita tidak menggunakanakannya, antara lain membuat kalender murni hijriyah. Hanya saja belum ada yang membuatnya, tentu dengan berbagai alasan. Yang haram itu jika kita ikut mensakralkan hari-hari besar dalam kalender masehi itu. Wallahu a’lamu bi ash-Shwab.

Ustadz Drs. H. Danusiri M.Ag. ketika mengisi kajian ahad pagi PCM Gayamsari

Kalender Hijriah

Penetapan kalender Hijriyah dilakukan pada jaman Khalifah Umar bin Khatab, yang menetapkan peristiwa hijrahnya Rasulullah saw dari Mekah ke Madinah. Kalender Hijriyah juga terdiri dari 12 bulan, dengan jumlah hari berkisar 29 – 30 hari. Penetapan 12 bulan ini sesuai dengan firman Allah Subhana Wata’ala:

اِنَّ عِدَّةَ الشُّهُوْرِ عِنْدَ اللّٰهِ اثْنَا عَشَرَ شَهْرًا فِيْ كِتٰبِ اللّٰهِ يَوْمَ خَلَقَ السَّمٰوٰتِ وَالْاَرْضَ مِنْهَآ اَرْبَعَةٌ حُرُمٌ ۗذٰلِكَ الدِّيْنُ الْقَيِّمُ ەۙ فَلَا تَظْلِمُوْا فِيْهِنَّ اَنْفُسَكُمْ وَقَاتِلُوا الْمُشْرِكِيْنَ كَاۤفَّةً كَمَا يُقَاتِلُوْنَكُمْ كَاۤفَّةً ۗوَاعْلَمُوْٓا اَنَّ اللّٰهَ مَعَ الْمُتَّقِيْنَ

Terjemah Arti : Sesungguhnya jumlah bulan menurut Allah ialah dua belas bulan, (sebagaimana) dalam ketetapan Allah pada waktu Dia menciptakan langit dan bumi, di antaranya ada empat bulan haram. Itulah (ketetapan) agama yang lurus, maka janganlah kamu menzalimi dirimu dalam (bulan yang empat) itu, dan perangilah kaum musyrikin semuanya sebagaimana mereka pun memerangi kamu semuanya. Dan ketahuilah bahwa Allah beserta orang-orang yang takwa.

Latar Belakang Penetapan Kalender Hijriyah

Abu Musa Al-Asyári sebagai salah satu gubernur di zaman Khalifah Umar r.a. menulis surat kepada Amirul Mukminin yang isinya menanyakan surat-surat dari khalifah yang tidak ada tahunnya, hanya tanggal dan bulan saja, sehingga membingungkan. Khalifah Umar lalu mengumpulkan beberapa sahabat senior waktu itu. Mereka adalah Usman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Abdurrahman bin Auf, Sa’ad bin Abi Waqqas, Zubair bin Awwam, dan Thalhan bin Ubaidillah.

Mereka bermusyawarah mengenai kalender Islam. Ada yang mengusulkan berdasarkan milad Rasulullah saw, ada yang mengusulkan berdasarkan pengangkatan Muhammad saw menjadi Rasul. Usulan Ali bin Abhi Thalib lah yang diterima, yaitu berdasarkan momentum hijrah Rasulullah SAW dari Makkah ke Yatstrib (Madinah). Musyawirin setuju atas usulan Ali. Selanjutnya  ditetapkan bahwa tahun pertama dalam kalender Islam adalah pada masa hijrahnya Rasulullah saw.

Kesimpulannya :
1. Pelajaran yang diperoleh dari penetapan sistem kalender Islam semata-mata dilatarbelakangi oleh urusan praktis dan  nihil dari mitologi.
2. Nama-nama bulan pun didasarkan pada keadaan alam dan masyarakat pada masa-masa tertentu sepanjang tahun. Misalnya bulan Ramadhan, dinamai demikian karena pada bulan Ramadhan waktu itu udara sangat panas seperti membakar kulit rasanya.

Nama-Nama Bulan Hijriyah

1. Muharram, artinya yang diharamkan atau yang menjadi pantangan. Penamaan Muharram, sebab pada bulan itu dilarang menumpahkan darah atau berperang. Larangan tesebut berlaku sampai masa awal Islam. pada periode Madinah sudah tidak ada larangan perang lagi (lihat QS at-Taubah/9:36).

2. Shafar, artinya kosong. Penamaan Shafar, karena pada bulan itu semua orang laki-laki Arab dahulu pergi meninggalkan rumah untuk merantau, berniaga atau berperang, sehingga pemukiman mereka kosong dari orang laki-laki.

3. Rabi’ul awwal, artinya berasal dari kata rabi’ (menetap) dan awal (pertama). Maksudnya masa kembalinya kaum laki-laki yang telah meninqgalkan rumah atau merantau. Jadi awal menetapnya kaum laki-laki di rumah. Kebetulan banyak peristiwa bersejarah bagi umat Islam, antara lain: Nabi Muhammad saw lahir, diangkat menjadi Rasul, melakukan hijrah, dan wafat pada bulan ini juga.

4. Rabi’ul akhir, artinya masa menetapnya kaum laki-laki untuk terakhir atau penghabisan.

5. Jumadil awwal, berasal dari kata jumadi (kering, statis, stagnan) dan awal (pertama). Bulan ini merupakan awal musim kemarau, dan mulai terjadi kekeringan.

6. Jumadil akhir, artinya  musim kemarau yang penghabisan.

7. Rajab, artinya mulia, yaitu sejak kuno  bangsa Arab tempo melarang untuk berperang.

8. Sya’ban, artinya berkelompok, yaitu orang-orang Arab pada bulan ini lazimnya berkelompok mencari nafkah. Peristiwa penting bagi umat Islam yang terjadi pada bulan ini adalah perpindahan kiblat dari Baitul Muqaddas ke Ka’bah (Baitullah).

9. Ramadhan, artinya sangat panas. Bulan Ramadhan merupakan satu-satunya bulan yang tersebut dalam al-Quran, Satu bulan yang memiliki keutamaan, kesucian, dan aneka keistimewaan. Antara lain: Allah menurunkan ayat-ayat Al-Quran pertama kali, ada malam Lailatul Qadar, yakni malam yang sangat tinggi nilainya karena para malaikat turun untuk memberkati orang-orang beriman yang sedang beribadah, bulan penetapan ibadah puasa wajib,  kaum muslimin dapat menaklukan kaum musyrikin dalam perang Badar,   Nabi Muhammad saw berhasil mengambil alih kota Mekah,  dan mengakhiri penyembahan berhala yang dilakukan oleh kaum musyrikin, sekaligus membersihkan patung di ka’bah.

10. Syawal, artinya kebahagiaan. Musim panas sudah menurun, jadi cukup membahagiakan. Maksud lainnya adalah manusia kembali  ke dalam fitrah (kesucian) karena usai menunaikan ibadah puasa dan membayar zakat serta saling bermaaf-maafan. Itulah yang membahagiakan, terutama bagi bangsa Indonesia.

11. Dzul qa’dah, berasal dari kata dzul (pemilik) dan qa’dah (duduk). Bulan ini merupakan waktu istirahat bagi kaum laki-laki Arab dahulu. Mereka menikmatmnya dengan duduk-duduk di rumah.

12. Dzul Hijjah, artinya menunaikan haji. Pada bulan ini umat Islam sejak Nabi Adam as. menunaikan ibadah haji.

Kesimpulannya :
Makna asal bulan-bulan dalam Islam sudah berlalu sejak zaman kuno, bukan karena ajaran agama. Hanya kebetulan  peristiwa-peristiwa agama bertepatan pada bulan tertentu. Ini sifatnya hanya natural. 4 bulan suci – yang secara praktis  merupakan larangan perang (disucikan) – tidak lagi ada larangan perang karena kaum kuffar memerangi kaum muslimin. Pada bulan itu juga  umat Islam segera menangkis serangan itu.

Posisi Tahun Baru Hijriah

Tahun baru hijriyyah secara teologis (aqidah) tidak memiliki keistimewaan. Tidak perlu ada ibadah khusus menyambut hari ini. Kalau dikatakan suci, semua bulan sama sucinya. Islam menganut waktu adalah suci dan digunakan sumpah oleh Allah. Implikasinya tidak ada hari, bulan, dan tahun sial (nogo). Jadi, Islam tidak mengajarkan: horoskup, petungan, numerology, dan zodiak.

Demikian sabda Rasulullah :

حَدَّثَنَا سَعِيدُ بْنُ أَبِي مَرْيَمَ حَدَّثَنَا أَبُو غَسَّانَ قَالَ حَدَّثَنِي زَيْدُ بْنُ أَسْلَمَ عَنْ عَطَاءِ بْنِ يَسَارٍ عَنْ أَبِي سَعِيدٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لَتَتَّبِعُنَّ سَنَنَ مَنْ قَبْلَكُمْ شِبْرًا بِشِبْرٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ حَتَّى لَوْ سَلَكُوا جُحْرَ ضَبٍّ لَسَلَكْتُمُوهُ قُلْنَا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ

Telah bercerita kepada kami Sa’id bin Abu Maryam telah bercerita kepada kami Abu Ghassan berkata, telah bercerita kepadaku Zaid bin Aslam dari ‘Atha’ binYasar dari Abu Sa’id radliallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam besabda: “Kalian pasti akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta hingga seandainya mereka manempuh (masuk) ke dalam lobang biawak kalian pasti akan mengikutinya”. Kami bertanya; “Wahai Rasulullah, apakah yang baginda maksud Yahudi dan Nashrani?”. Beliau menjawab: “Siapa lagi (kalau bukan mereka) “.Bukhari 3197,

حَدَّثَنَا أَبُو بَكْرِ بْنُ أَبِي شَيْبَةَ حَدَّثَنَا يَزِيدُ بْنُ هَارُونَ عَنْ مُحَمَّدِ بْنِ عَمْرٍو عَنْ أَبِي سَلَمَةَ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَتَتَّبِعُنَّ سُنَّةَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ بَاعًا بِبَاعٍ وَذِرَاعًا بِذِرَاعٍ وَشِبْرًا بِشِبْرٍ حَتَّى لَوْ دَخَلُوا فِي جُحْرِ ضَبٍّ لَدَخَلْتُمْ فِيهِ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ الْيَهُودُ وَالنَّصَارَى قَالَ فَمَنْ إِذًا

Telah menceritakan kepada kami Abu Bakar bin Abu Syaibah telah menceritakan kepada kami Yazid bin Harun dari Muhammad bin ‘Amru dari Abu Salamah dari Abu Hurairah dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sungguh, kalian akan mengikuti jalan (cara hidup) orang-orang sebelum kalian sedepa demi sedepa, sehasta demi sehasta dan sejengkal demi sejengkal, sehingga sekiranya mereka masuk ke lubang biawak, sungguh kalian juga akan mengikuti mereka.” Para sahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, apakah mereka orang-orang Yahudi dan Nahsrani?” beliau menjawab: “Siapa lagi kalau bukan mereka.”(Ibnu Majah,3984, semakna dengan ahmad 7990).

Penutup

Jika hati umat Islam senantiasa terpaut dengan masjid, tentu tidak akan tertarik pada tradisi paganisme (penyembah  dan aqidah berhala). Bila jauh dari masjid, tentu akan mengikuti tradisi pagan itu meskipun masuk ke dalam liang biawak. 

Penulis : M. Danusiri
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Kajian Tafsir Al-Quran PRM Meteseh

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, TEMBALANG – Pimpinan Ranting Muhammadiyah Meteseh secara rutin mengadakan kajian tentang tafsir Al-Quran yang diperuntukkan bagi masyarakat umum setiap 2 pekan sekali setiap bulannya. Untuk pekan pertama bulan ini kajian diselenggarakan pada hari Kamis tanggal 6 Januari 2022 bertempat di masjid Saubari Bening Hati, kompleks Pondok Tahfidz Ash Saubari, Meteseh, Semarang.

Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah, ustadz Drs. H. Danusiri M.Ag. menjadi narasumber pada kajian ini dengan memulai kajian tafsir Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 83-86. Sebelum kajian dimulai, Pimpinan Ranting Muhammadiyah Meteseh, bapak Dr. Nurahman menyampaikan bahwa pengajian ini akan rutin digelar setiap 2x dalam sebulan dan diselenggarakan pada pekan ke-1 & 3.

Suasana kajian tafsir Al-Quran PRM Meteseh dengan narasumber ustadz Drs. H. Danusiri M.Ag.

Surat Al-Baqarah ayat 83-86 :

وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَ بَنِيْٓ اِسْرَآئِيْلَ لَا تَعْبُدُوْنَ اِلَّا اللّٰهَ وَبِالْوَالِدَيْنِ اِحْسَانًا وَّذِى الْقُرْبٰى وَالْيَتٰمٰى وَالْمَسٰكِيْنِ وَقُوْلُوْا لِلنَّاسِ حُسْنًا وَّاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰةَۗ ثُمَّ تَوَلَّيْتُمْ اِلَّا قَلِيلًا مِّنْكُمْ وَاَنْتُمْ مُّعْرِضُوْنَ ٨٣

83. Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji Bani Israil, “Janganlah kamu menyembah selain Allah, dan berbuat baikalah kepada kedua orang tua, kerabat, anak anak yatim, dan orang orang miskin. Dan bertutur katalah yang baik kepada manusia, laksanakanlah shalat dan tunaikanlah zakat.” Tetapi kemudian kamu berpaling (mengingkari), kecuali sebagian kecil dari kamu, dan kamu (masih menjadi) pembangkang.

وَاِذْ اَخَذْنَا مِيْثَاقَكُمْ لَا تَسْفِكُوْنَ دِمَآءَكُمْ وَلَا تُخْرِجُوْنَ اَنْفُسَكُمْ مِّنْ دِيَارِكُمْۖ ثُمَّ اَقْرَرْتُمْ وَاَنْتُمْ تَشْهَدُوْنَ٨٤

84. Dan (ingatlah) ketika Kami mengambil janji kamu, “Janganlah kamu menumpahkan darahmu (membunuh orang), dan mengusir dirimu (saudara sebangsamu) dari kampung halamanmu.” Kemudian kamu berikrar dan bersaksi.

ثُمَّ اَنْتُمْ هٰٓؤُلَآءِ تَقْتُلُوْنَ اَنْفُسَكُمْ وَتُخْرِجُوْنَ فَرِيْقًا مِّنْكُمْ مِّنْ دِيَارِهِمْۖ تَظٰهَرُوْنَ عَلَيْهِمْ بِالْاِثْمِ وَالْعُدْوَانِۗ وَاِنْ يَّأْتُوْكُمْ اُسٰرٰى تُفٰدُوْهُمْ وَهُوَ مُحَرَّمٌ عَلَيْكُمْ اِخْرَاجُهُمْۗ اَفَتُؤْمِنُوْنَ بِبَعْضِ الْكِتٰبِ وَتَكْفُرُوْنَ بِبَعْضٍۚ فَمَا جَزَآءُ مَنْ يَّفْعَلُ ذٰلِكَ مِنْكُمْ اِلَّا خِزْيٌ فِى الْحَيٰةِ الدُّنْيَاۚ وَيَوْمَ الْقِيٰمَةِ يُرَدُّوْنَ اِلٰٓى اَشَدِّ الْعَذَابِۗ وَمَا اللّٰهُ بِغَافِلٍ عَمَّا تَعْمَلُوْنَ ٨٥

85. Kemudian kamu (Bani Israil) membunuh dirimu (sesamamu), dan mengusir segolongan dari kamu dari kampung halamannya. Kamu saling membantu (menghadapi) mereka dalam kejahatan dan permusuhan. Dan jika mereka datang kepadamu sebagai tawanan, kamu tebus mereka, padahal kamu dilarang mengusir mereka. Apakah kamu beriman kepada sebagian Kitab (Taurat) dan ingkar kepada sebagian (yang lain)? Maka tidak ada balasan (yang pantas) bagi orang yang berbuat demikian di antara kamu selain kenistaan dalam kehidupan dunia, dan pada Hari Kiamat mereka dikembalikan kepada azab yang paling berat. Dan Allah tidak lengah terhadap apa yang kamu kerjakan.

اُولٰٓئِكَ الَّذِيْنَ اشْتَرَوُا الْحَيٰةَ الدُّنْيَا بِالْاٰخِرَةِۖ فَلَا يُخَفَّفُ عَنْهُمُ الْعَذَابُ وَلَا هُمْ يُنْصَرُوْنَؑ٨٦

86. Mereka itulah orang orang yang membeli kehidupan dunia dengan (kehidupan) akhirat. Maka tidak akan diringankan azabnya dan mereka tidak akan ditolong.

PEMBAHASAN

Pengingkaran Janji Bani Israil kepada Allah 

Isi janji adalah agar hidup rukun dalam keluarga dan dalam satu kaum. Jika  ada perselisihan, hendaklah didamaikan dengan baik. Adapun isi dari point-point perjanjian adalah sebagai berikut :

  • darah saudaramu pada hakikatnya adalah darahmu juga karena itu jangan kamu tumpahkan dengan aniaya.
  • Jangan kamu usir dari kampungmu.
  • Kedua point janji ini telah mereka ikrarkan untuk dipegang teguh. Janji ini disaksikan oleh Allah swt.
  • Pasal-pasal janji ini tertulis dalam ‘Perjanjian Lama” dalam kitab ‘Ulangan’

Di Jaman Islam, Jaman Rasulullah, di Madinah, mereka ingkari janji itu. mereka saling membunuh, saling mengusir. Sebagai contoh :

1. Perjanjian antara  Bani Qainuqa, yahudi, melakuan perjanjian persahabatan dengan suku Aus Arab.
2. Perjanjian antara Bani Quraizhah, Yahudi, melakukan perjanjian persahabatan dengan suku Khajraj Arab.

Bani Qainuqa bermusuhan dengan Bani Quraizhah, sementara suku Aus bermusuhan dengan suku Khajraj. Jadi Bani Qainuqa bersekutu dengan suku Aus Arab bermusuhan dengan Bani Quraizhah dengan dibantu suku Khajraj Arab. Permusuhan ini saling berperang, membunuh, dan mengusir.

Apabila ada kaumnya yang tertawan, umpama warga Qainuqa tertawan oleh musuh, Quraizhah, mereka menebus dengan alasan tidak pantas warganya menjadi hina oleh musuh. Di samping dalam kitab Taurat tertulis “padahal diharamkan atas kamu mengeluarkan mereka”.  Sementara memerangi dan mengusir diharamkan oleh taurat. Inilah yang dimaksud melanggar janji, yaitu penyebab terjadinya perang mereka langgar, penyelesaian dengan menebus tawanan beralasan pada kitab Taurat. Jadi, mereka laksanakan sebagian perintah Taurat, sebagian mereka ingkari.

Kehinaan mereka di dunia adalah dalam masa 10 tahun mereka jatuh satu persatu oleh kekuatan Islam di bawah pimpinan Rasulullah. Di akhirat, mereka diazab. Lagi-lagi disebutkan bahwa, penyebabnya adalah mengingkari janji, isi kitab diubah-ubah, perintah tidak dilaksanakan, dan mereka saling bermusuhan sendiri(hal.307). Selanjutnya dijelaskan bahwa bani Nadzir diusir habis sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Hasyr, sedangkan bani Quraizhah disapu bersih sebagaimana dijelaskan dalam surat al-Ahzab, dan benteng Khaibar dimusnahkan.

Masjid Saubari Bening Hati, tempat berlangsungnya kajian PRM Meteseh

Pada pangkal ayat 86 disebutkan bahwa mereka membeli kehidupan dunia dan menjual kehidupan akhirat dengan harga yang sangat murah. Kehidupan dunia yang dimaksud  adalah kedudukan kependetaan, ketinggian derajat di mata masyarakat orang-orang bodoh, dan melemparkan kitab Taurat. Jika mereka mengikuti isi Taurat, tentu mengakui Alquran dan risalah nabi Muhammad saw. jika mereka mengikuti isi Taurat, mengakui Alquran, mengakui risalah Muhammad saw, tentu selamatlah mereka. Akibatnya fatal. Dunia tidak mereka peroleh, urusan akhirat hilang. Lebih dari itu, nanti di akhirat tidak ada yang menolong terhadap azab yang mereka derita.

Penutup

Semoga kita bisa mengambil pelajaran terhadap Yahudi sehingga kita bisa menghindarinya. Semoga kita diberi kekuatan untuk beriman kepada kitab Allah secara keseluruhan. Semoga kita bisa mengamalkan isi Alquran sejauh kita mampu. Semoga Allah mengampuni kita karena kelemahan, bukan karena mengingkarinya, dalam  melaksanakan perintahnya-perintahnya, amin

Penulis : M. Danusiri
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Rambu-Rambu Seni

Hakikat Seni

Seni berbeda dari agama. Agama, dalam hal ini Islam, adalah Ciptaan Allah. Sementara itu, seni adalah ciptaan manusia. Seni di luar ibadah mahdlah, karena itu manusia bebas berkreasi, sejauh terkait dengan ciptaan Allah, sebagaimana muamalah tidak terlepas sama sekali dengan aturan umum agama. üBerseni termasuk ibadah sejauh terpaut dengan aturan umum beragama. Karena itu, berseni tidak mutlak bebas, tetapi kreasi berseni  merupakan kebebasan yang terbimbing. Ada batas di dalam berkreasi seni. Di dalam batas-batas itu, kebebasan mutlak berseni. Filsafat seni dalam Islam tidak menganut paham seni “ the art for the art” , melainkan menganut paham “the art for the others” .

Seni Sebagai Prasyarat Beribadah

Sebagaimana firman Allah didalam surat Al-A’raf ayat 32 :

قُلْ مَنْ حَرَّمَ زِيْنَةَ اللّٰهِ الَّتِيْٓ اَخْرَجَ لِعِبَادِهٖ وَالطَّيِّبٰتِ مِنَ الرِّزْقِۗ قُلْ هِيَ لِلَّذِيْنَ اٰمَنُوْا فِى الْحَيٰوةِ الدُّنْيَا خَالِصَةً يَّوْمَ الْقِيٰمَةِۗ كَذٰلِكَ نُفَصِّلُ الْاٰيٰتِ لِقَوْمٍ يَّعْلَمُوْنَ

Terjemah Arti : Katakanlah (Muhammad), “Siapakah yang mengharamkan perhiasan dari Allah yang telah disediakan untuk hamba-hamba-Nya dan rezeki yang baik-baik? Katakanlah, “Semua itu untuk orang-orang yang beriman dalam kehidupan dunia, dan khusus (untuk mereka saja) pada hari Kiamat.” Demikianlah Kami menjelaskan ayat-ayat itu untuk orang-orang yang mengetahui.

Ibrah

Makna ziinah adalah perhiasan. Perhiasan hanya tercipta dari karya seni. Selanjutnya, ziinah justru ditekankan kepada aktifitas untuk mendatangani masjid. Aktifitas utama dan satu-satunya hanyalah ibadah. Jadi, seni itu merupakan prasyarat untuk beribadah.

Contoh Pemanfaatan praktis :

Aurat laki-laki hanya antara pusar hingga lutut. Kalau areal itu sudah tertutup, dalam kajian fikih sudah syah shalatnya. Akan tetapi, jika ada orang yang shalat di masjid dengan hanya pakaian seperti itu, tentu akan dihujat oleh orang banyak. mengapap? Nilai-nilai ma’ruf, maslahat, dan seni tidak diperhitungkan yang akhirnya berimbas kepada nilai sosial, yaitu sanksi social terhadapnya pasti terjadi.

Meskipun Muhammadiyah secara jama’i  tidak menyaratkan pakai tutup kepala (pecis, kupiah, atau sebangsanya), namun umumnya dengan gundhulan tidak PD menjadi imam maupun khatib, dan pasti memperoleh sanksi sosial juga. 

Bingkai Seni

1. Dalam rangka menggapai ridha Allah

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 207 :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّشْرِيْ نَفْسَهُ ابْتِغَاۤءَ مَرْضَاتِ اللّٰهِ ۗوَاللّٰهُ رَءُوْفٌۢ بِالْعِبَادِ

Terjemah Arti : Dan di antara manusia ada orang yang mengorbankan dirinya untuk mencari keridaan Allah. Dan Allah Maha Penyantun kepada hamba-hamba-Nya.

Penjelasannya :
Implementasi ayat dalam seni adalah mengeluarkan ide, gagasan, rasa,  dan instrument dalam manusia lainnya untuk menghasilkan keindahan adalah semata-mata menggapai ridha Allah.

2. Kebahagiaan dunia-akhirat

Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-An’am ayat 152 :

وَلَا تَقْرَبُوْا مَالَ الْيَتِيْمِ اِلَّا بِالَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُ حَتّٰى يَبْلُغَ اَشُدَّهٗ ۚوَاَوْفُوا الْكَيْلَ وَالْمِيْزَانَ بِالْقِسْطِۚ لَا نُكَلِّفُ نَفْسًا اِلَّا وُسْعَهَاۚ وَاِذَا قُلْتُمْ فَاعْدِلُوْا وَلَوْ كَانَ ذَا قُرْبٰىۚ وَبِعَهْدِ اللّٰهِ اَوْفُوْاۗ ذٰلِكُمْ وَصّٰىكُمْ بِهٖ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُوْنَۙ

Terjemah Arti : Dan janganlah kamu mendekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, sampai dia mencapai (usia) dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak membebani seseorang melainkan menurut kesanggupannya. Apabila kamu berbicara, bicaralah sejujurnya, sekalipun dia kerabat(mu) dan penuhilah janji Allah. Demikianlah Dia memerintahkan kepadamu agar kamu ingat.

Penjelasannya :

  • Implikasi pertama, apapun ciptaan seni harus mendatangkan rasa Bahagia, rasa senang, rasa indah di hati kita. Rasa senang dibingkai dengan Bahasa agama adalah nikmat, sehingga menuntun untuk bersyukur kepada Allah.
  • Implikaso kedua, hasil cipta seni harus terbebas dari tahayyul, khurafat, bid’ah, syirik, pornografi, pornoaksisme, dan naturalism dalam seni lukis maupun pahat.

Realisasi Dua Bingkai

Berdasarkan sumber dari buku Himpunan Tarjih edisi ke 3 edisi 2018 dihalaman 170, pengelompokkan seni dikelompokkan menjadi beberapa macam, antara lain :

1. Seni merupakan manifestasi penunaian fungsi khalifatullah fil ardl, yaitu aktualisasi sifat-sifat Allah dalam batas kemanusiaan.
2. Seni Islami merupakan pemenuhan tugas ibadah (gapaian ridha, rahmat, ampunan, keselamatan).
3. Seni merupakan eksprsi dzikir, mengingat asma Allah yang indah, keagungan, keindahan, dan kekuasaan.
4. Seni merupakan ekspresi doa: permohonan dan penghargaan pada rahmat dan kasih sayang Allah.
5. Seni merupakan ekspresi syukur kepada pemberi nikmat yang berupa fasilitas hidup yang tiada terbatas.
6. Seni sebagai medan beramal shalih, suatu amal yang secara naluri pasti disenangi oleh setiap makhluk yang berakal.

Realisasi Seni Dalam Muhammadiyah

Seni bisa diidentikkan dengan budaya, sejauh budaya berlabuh pada keindahan. Landasan ekspresional seni-budaya adalah sebagai berikut :

  1. Setiap warga persyarikatan, baik dalam menciptakan maupun menikmati seni budaya, selain tetap  tetap menimbulkan perasaan halus dan indah, harus menjadi instrument dakwah amar ma’ruf nahi mungkar.
  2. Menghidupkan sastra, lebih luas seni-budaya Islam sebagai bagian dari membangun peradaban manusia.

Melalui halaqah Tarjih PP di Solo, 2-4 Noveber 2001, seni budaya Islam dirumuskan :

  1. Strategi kebudayaan  koeksistensi, yakni mendalami wawasan seni dengan pendekatan bayani, burhani, dan irfani; dan menghargai seni yang berkembang sejauh dalam teropong manhaj di atas rekomended.
  2. Empati terhadap seni tradisi dan membuka ruang public untuk mengembangkan seni tradisi islami. (Tarjih.3, 2018, h. 175).

Pemanfaatan Terhadap Khasanah Lokal

Terutama dalam dakwah yang bersifat orasional, selingan nyanyi, pantun, media figur wayang, humor sangat perlu. Sebisa mungkin orator menguasai selinan-selingan itu. Sebagai contoh :

1. jika salah sangka dikira menggiring ke arah porno:

Wayah mbengi gugah-gugah
Ngajak tangi kanggo ngibadah
Urip kuwi bungah lan susah
Penting amanah lan istikomah

2. Lagu Mbah Surip

Bangun tidur terus wudlu
Jangan lupa, , ,  tahajudmu
Tidak bangun bangun, , , malang nasibmu
Kencing setan, , , ditelingamu.

3. Lagu Tali Kotang- lirik pertobatan

Dhek biyen wis tak elengke
Sujud bhekti myang gustine
Saikine lha kok lali sembahyange
Opo ora wedi wong urip bakale mati
Gek ndang tobat ayo podho dilakoni
Ojo nganti arang kadhang anggonmu sholat sembahyang
Mbok yo age ayo enggal dhok tumandang
Ojo podho lali  mring gusti  Ilahi Rabbi
Sing gawe urip lan nentoake pati
Siji lan sijine tak tinda ake
Sholat limang wktu sak lawase
Aku tasnah bekti opo sing dadi dhawuhe
Moco qur’an hadis Nabi sak maknane
Wong urip ojo sembrono
Neng ndonyo kakehan dosa
ora makmur jare uripe rekoso
Ono rekasane wis podho lali sholate
Suk yen mati sikso kubur rasa ake (gubahan sugondho rekmo putih Semarang)

Penulis : M. Danusiri
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara