Bulughul Maram Bab Air

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, SEMARANG SELATAN – Pimpinan Cabang Muhammadiyah Semarang Selatan secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi masyarakat umum setiap pekannya. Bertempat di masjid Assalam Jl. Wonodri Baru V no 14 RT 01 RW 02, Wonodri. Untuk pekan ke-4 dibulan Januari ini, kajian tersebut diadakan pada hari Senin, tanggal 24 Januari 2022. Kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadz Drs. H. M. Danusiri M.Ag. Beliau menjabat sebagai Ketua Majelis Tabligh PWM Jawa Tengah, yang akan menterjemahkan kitab “Bulughul Maram Bab Air”

Ustadz Drs. H. M. Danusiri M.Ag. ketika menjelaskan kitab Bulughul Maram Bab Air kepada jamaah

Laki-Laki Mandi Dengan Air Bekas Wanita dan Sebaliknya

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

Hadits Riwayat Abu Daud :

وَعَنْ رَجُلٍ صَحِبَ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ :نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ تَغْتَسِلَ الْمَرْأَةُ بِفَضْلِ الرَّجُلِ أَوْ الرَّجُلُ بِفَضْلِ الْمَرْأَةِ وَلْيَغْتَرِفَا جَمِيعًا أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُد وَالنَّسَائِيُّ وَإِسْنَادُهُ صَحِيحٌ

Terjemahan : Dari seorang sahabat nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang wanita (istri) mandi dengan air bekas mandi laki-laki (suami), atau laki-laki (suami) mandi dengan air bekas mandi wanita (istri), dan hendaknya mereka berdua menciduk air bersama-sama.” (HR. Abu Dawud, An Nasa-i, dan sanad-sanadnya shahih).

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih. Namun Asy-Syaukani berkata yang ringkasnya, “Al Baihaqi menyatakan hadits ini mursal, dan Ibnu Hazm menyatakan bahwa Dawud meriwayatkannya dari Hamid bin Abdirrahman Al Himyari yang dhoif. An Nawawi berkata, “para Hafidz sepakat atas kedhaifan hadits ini”. Ini adalah sisi celaan.

Adapun yang men-tsiqah-kannya, adalah At-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan”. Ibnu Majah berkata, “hadits ini shahih”. Ibnu Hajar berkata di dalam Fathul Bari, “sungguh An Nawawi telah salah ketika menyatakan ijma’ atas kedhaifannya, padahal perawi-perawinya tsiqah (terpercaya).”

Dan celaan Al-Baihaqi atas mursalnya hadits ini tertolak, karena mubham (ketidakjelasan) sahabat tidak mengapa. Celaan Ibnu Hazm atas dhaifnya Hamid Al-Himyari tertolak, karena ia bukan Hamid bin Abdullah Al-Himyari tetapi Hamid bin Abdirrahman Al-Himyari, dan perawi ini tsiqah (terpercaya) lagi faqih. Al-Hafidz Ibnu Hajar menyatakan di Bulughul Marom bahwa sanad-sanadnya shahih.

Maksud Hadits:

  • Kata wanita dan laki-laki dalam hadits ini yang dimaksud adalah wanita dan laki-laki yang sudah dewasa/baligh, dan yang dimaksud wanita adalah seorang istri, sementara laki-laki maksudnya adalah seorang suami.
  • Kata mandi dalam hadits ini maksudnya adalah mandi wajib/mandi besar

Faidah Hadits:

  • Dilarang bagi seorang suami mandi besar dengan air sisa mandi besar yang digunakan istri
  • Dilarang bagi seorang istri mandi besar dengan air sisa mandi besar yang digunakan suami
  • Yang disyari’atkan adalah keduanya mandi besar bersama-sama dengan mengambil (menyiduk) air.

Hadits Riwayat Muslim :

عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اَلنَّبِيَّ صلى الله عليه وسلم كَانَ يَغْتَسِلُ بِفَضْلِ مَيْمُونَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَاأخرجه مسلموَلِأَصْحَابِ ” اَلسُّنَنِ “اِغْتَسَلَ بَعْضُ أَزْوَاجِ اَلنَّبِيِّ صلى الله عليه وسلم فِي جَفْنَةٍ , فَجَاءَ لِيَغْتَسِلَ مِنْهَا , فَقَالَتْ لَهُ : إِنِّي كُنْتُ جُنُبًا , فَقَالَ : “إِنَّ اَلْمَاءَ لَا يُجْنِبُ

Terjemah Arti : Dari Ibnu Abbas radhiyallahu ‘anhu : “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mandi dengan air bekas mandinya Maimunah radiyallahu ‘anha.” (HR. Muslim)

Oleh Ashabus Sunan, “Sebagian istri-istri nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- (Maimunah) mandi di dalam bak. Lalu beliau datang untuk mandi dengan airnya. Lalu Maimunah berkata, “Saya sedang junub”, lalu beliau bersabda, “sesungguhnya air itu tidak menjadi junub”.

Derajat Hadits:

Hadits ini shahih. Hadits yang diriwayatkan oleh Muslim telah tercacati dengan pertentangan di riwayat Amr bin Dinar. Akan tetapi telah ada hadits di Shahihain secara terpelihara tanpa pertentangan, dengan lafadz, “bahwa nabi –shallalahu ‘alaihi wa sallam- dan Maimunah mandi berdua di dalam satu bak.” Lafadz ini jika tidak bertentangan dengan riwayat Muslim, maka yang bertentangan itu adalah hadits yang diriwayatkan oleh Ashabussunnan, dan inilah yang benar.

Ibnu Abdil Haadi berkata di Al-Muharror, “At Tirmidzi, Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Al Hakim, dan Adz Dzahabi menshahihkannya.”

Faidah Hadits:

  1. Diperbolehkan seorang suami mandi besar dengan bekas air mandi yang digunakan istri, dan juga sebaliknya.
  2. Sesungguhnya mandi besar/wudhu seseorang dalam satu wadah tidak membuat air di dalamnya menjadi junub/najis. 
  3. Al Wazir dan An Nawawi menceritakan adanya ijma’ atas bolehnya laki-laki mandi besar/wudhu dengan air bekas bersucinya wanita (dan sebaliknya) walaupun mereka tidak mandi besar/wudhu’ bersama.

Kesimpulan :

Dalam perkara ini, yang benar adalah menggunakan Hadits ke-7 yang memperbolehkan suami/istri mandi besar dengan air bekas mandi besar pasangannya. Apabila mendapati dua hadits shahih yang bertentangan maka ada 4 cara untuk menyikapinya, yakni:

  1. Menjama’ kedua hadits tersebut, yakni menompromikan/menggabung amalan yang terdapat pada kedua hadits yang saling bertentangan.
  2. Naskh Wa Mansukh, yakni hadits yang paling baru menghapus hadits yang sebelumnya, cara ini dilakukan apabila kita dapat mengetahui sejarah hadits yang bertentangan tersebut.
  3. Tarjih, yakni menguatkan salah satu hadits yang saling bertentangan
  4. Tawaqquf, yakni diam sampai ada dalil.

Maka dalam masalah hadits ini, tidak mungkin menjama’ kedua hadits tersebut karena jelas saling bertentangan. Meskipun ada beberapa ulama’ Mazhab Hanbali yang berusaha menjama’ hadits ini, yaitu hadits 6 di atas merupakan larangan yang tidak berkonsekuensi haram (Ishaq bin Rahawaih memakruhkannya), akan tetapi larangan tersebut hanya untuk menjaga kebersihan saja, dan bermakna lebih utama meninggalkannnya, tetapi jika dia melakukannya maka tidak mengapa.  Namun pendapat ini lemah karena tidak ada dalil yang menguatkan ijtihadnya sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam pada hadits 7 bersabda: sesungguhnya air itu tidak menjadi junub’. Selain itu, pada hadits 7 tidak mungkin Rasulullah yang ma’shum melakukan perbuatan yang makruh.

Sehingga yang lebih benar dalam perkara ini adalah dengan menguatkan salah satu hadits. Hadits yang terkuat dalam masalah ini adalah hadits 7, berdasarkan sanad, hadits 7 diriwayatkan oleh perawi-perawi tsiqah yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, sementara hadits ke 6 diriwayatkan oleh Abu Dawud. Dalam tingkatan perawi hadits, hadits-hadits yang diriwayatkan oleh Muslim lebih kuat daripada riwayat Abu Dawud. Sementara dari sisi jenis haditsnya, hadits ke-6 merupakan hadits Fi’li (perbuatan Nabi), sementara hadits ke-7 merupakan hadits Fi’li dan Qauli (perbuatan dan perkataan Nabi), sehingga dalam masalah ini yang lebih kuat adalah hadits ke-7.

Menyucikan Tempat Air Yang Dijilati Anjing

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits riwayat Tirmidzi berikut ini :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ طُهُورُ إنَاءِ أَحَدِكُمْ إذَا وَلَغَ فِيهِ الْكَلْبُ أَنْ يَغْسِلَهُ سَبْعَ مَرَّاتٍ أُولَاهُنَّ بِالتُّرَابِ أَخْرَجَهُ مُسْلِمٌ وَفِي لَفْظٍ لَهُ فَلْيُرِقْهُ وَلِلتِّرْمِذِيِّ  أُخْرَاهُنَّ أَوْ أُولَاهُنَّ

Terjemahan : Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah.” (HR. Muslim). Dalam riwayat lain disebutkan: “Hendaklah ia membuang air itu.” Menurut riwayat Tirmidzi: “Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah)”.

Kosakata Hadits :

  • Kata طهور (thuhur) merupakan isim mashdar, artinya kesucian.
  • Kata ولغ (walagho) = menjilat, artinya meminum dengan ujung lidah, dan ini cara minum anjing dan hewan-hewan buas lainnya.
  • Kata التراب (at-turab) = debu, yaitu sesuatu yang halus di permukaan tanah. Hadits ini bersifat ta’abbudi (ibadah), tidak ada ruang qiyas dalam hal ini. Misal: mengqiyaskan debu/tanah dengan arang atau yang lainnya, atau mengqiyaskan anjing dengan babi, dan sebagainya, maka ini tidak diperbolehkan.
  • Kata فليرقه (falyuriqhu) yaitu hendaknya ia menumpahkannya (air) ke tanah.
  • Kata أخراهن, أو أولاهن (ukhrahunna aw uulahunna) = yang terakhir atau yang pertama. 

Penjelasan Hadits :

“Sucinya tempat air seseorang diantara kamu jika dijilat anjing ialah dengan dicuci tujuh kali, yang pertamanya dicampur dengan debu tanah.”

Maksudnya tempat air yang terkena jilatan anjing tersebut dicuci dengan debu tanah disertai air sebanyak 1 kali, kemudian diguyur/dicuci dengan air saja sebanyak 6 kali sehingga totalnya adalah tujuh kali. Najisnya jilatan anjing ini merupakan najis yang paling berat. Di dalam syari’at Islam ini, tidak ada najis yang dibersihkan sebanyak 7 kali (yang pertama dengan tanah), kecuali najis yang disebabkan oleh jilatan anjing. Najis yang lainnya hanya dicuci sekali saja, terkena kencing manusia, kotoran manusia, darah manusia, cukup dicuci sekali.

“Hendaklah ia membuang air itu.”

Maksudnya ketika tempat air terkena jilatan anjing, maka air yang ada di dalam tempat air tersebut hendaknya dibuang terlebih dahulu, baru tempat airnya dicuci sebanyak 7 kali.

“Yang terakhir atau yang pertama (dicampur dengan debu tanah)”.

Yang rajih bahwa ini adalah keraguan dari perawi hadits, bukan maksudnya boleh memiliih (antara yang pertama atau yang terakhir), riyawat “ulaahunna” (yang pertamanya) lebih rajih karena banyaknya riwayat tentangnya, dan karena diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim, dan juga karena debu lebih tepat jika digunakan pada cucian pertama maka itu lebih bersih (dibandingkan jika debunya digunakan pada cucian yang terakhir).

Faidah Hadits:

  1. Anjing itu najis dan seluruh anggota badannya dan air liurnya itu najis (menurut pendapat jumhur ulama’), tapi menurut mazhab Maliki dan mazhab Zhahiri mengatakan yang najis hanya air liurnya saja. Dan juga semua kotoran anjing ini najis, dan semua hewan yang haram dimakan maka kotorannya juga najis.
  2. Bahwasannya air liur anjing merupakan najis mughaladhah (berat) dan air liur anjing ini merupakan najis yang paling berat.
  3. Tidak cukup menghilangkan najis jilatan anjing ini hanya 1 kali cucian, harus sebanyak 7 kali cucian, tidak boleh kurang dari itu. Sementara itu, perawi hadits ini yakni Abu Hurairah radhiyallahu’anhu pernah berfatwa: “Apabila ada anjing menjilat bejana cukup dicuci 3 kali saja”, sementara Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memerintahkan mencuci 7 kali.
  4. Apabila anjing menjilat bejana/perkakas (yang berisi air), maka tidak cukup mencuci bejana tersebut hanya langsung dicuci begitu saja (dengan air yang ada di dalam bejana tersebut), namun perlu dituang/dibuang terlebih dahulu air yang ada di bejana tersebut, kemudian baru dicuci sebanyak 7 kali (dengan tanah dan air).
  5. Apabila dijumpai lidah anjing dalam keadaan kering (tidak basah karena air liurnya), dan benda yang dijilat juga kering, maka najis tidak dapat berpindah dari lidahnya ke tempat yang lain. Dan ini bisa diqiyaskan dengan yang lain, misal: apabila ada anak kecil kencing di suatu tempat kemudian esoknya mengering dan kita menginjaknya dengan kaki dalam keadaan kering, maka najisnya tidak berpindah. Berbeda apabila kita menginjak bekas kencing yang sudah kering tersebut dengan kaki berkeringat, maka najis kencing tersebut dapat berpindah ke kaki kita dan harus dicuci hingga suci. Karena najis dapat berpindah dari satu tempat ke tempat lain dalam keadaan basah.
  6. Wajib menggunakan tanah (satu kali) pada cucian yang pertama (dicampur dengan air), kemudian dilanjutkan dengan air sebanyak 6 kali.
  7. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyebutkan media/benda yang digunakan untuk menyucikan bejana hanya dengan tanah yang dicampur air, tidak boleh menggunakan media/benda lain walaupun itu dikatakan dapat lebih bersih. Misalnya dengan menggunakan obat pel, atau dengan air keras, maka selain tanah itu tidak diperbolehkan.
  8. Menggunakan tanah ini boleh dengan cara tanahnya dimasukkan ke air atau air dituangkan ke tanah. Yang penting air dan tanah ini bercampur. Tidak boleh hanya menggunakan tanah kering saja.
  9. Bahwasannya, berdasarkan penelitian, ditemukan adanya mikroba dalam liur anjing yang tidak bisa dihilangkan kecuali dengan menggunakan tanah, oleh karena itu harus menyucikannya dengan tanah.
  10. Dalam hadits ini berlaku umum bagi semua jenis anjing, apabila menjilat bejana maka harus dicuci sebanyak 7 kali (menurut jumhur ulama’). 

Masjid Assalam Wonodri, tempat berlangsungnya kajian kitab Bulughul Maram

Sucinya Bekas Minum dan Makan dari Kucing

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي قَتَادَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ – فِي الْهِرَّةِ – : إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ أَخْرَجَهُ الْأَرْبَعَةُ وَصَحَّحَهُ التِّرْمِذِيُّ وَابْنُ خُزَيْمَة

Terjemahan : Dari Abu Qatadah Radhiyallahu ‘anhu Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda perihal kucing –bahwa kucing itu tidaklah najis, ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu. (Diriwayatkan oleh Imam Empat dan dianggap shahih oleh Tirmidzi dan Ibnu Khuzaimah).

Pada pertemuan sebelumnya, telah dijelaskan bahwa kata الْهِرَّةِ dalam hadits ini artinya adalah kucing betina, namun kucing jantan juga termasuk dalam hadits ini. Dan telah kita sebutkan beberapa faidah yang dapat dipetik pada hadits ini diantaranya:

  1. Kucing, baik jantan maupun betina tidaklah najis, baik bulunya, air liurnya, maupun yang lainnya tidaklah najis. Ketika al-Imam Ibnu Hajar al-Asqalani membawakah hadits ke-8 tentang jilatan anjing, kemudian beliau langsung membawakan hadits ke-9 tentang kucing. Artinya seolah-olah beliau ingin membedakan dengan tegas bahwa anjing dan kucing memiliki kedudukan hukum yang berbeda. Anjing merupakan hewan yang najis, bahkan najisnya berat, sementara kucing merupakan hewan yang suci, walaupun sama-sama hewan yang haram dimakan dagingnya.
  2. Penyebab mengapa kucing ini tidak najis, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyebutkan bahwa kucing sering berlalu-lalang. Di sini Rasulullah menyebutkan: sesungguhnya kucing itu tidaklah najis”, lafadznya umum terbatas (muthlaq), kemudian beliau Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyebutkan: ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu” ini menguatkan bahwa kucing tidaklah najis. 
  3. Dari hadits ini diambil satu kaidah besar dalam kaidah fiqih, yaitu: المشقة تجلب التيسير (apabila ada kesulitan, syari’at akan memberi kemudahan). Misalnya: kucing ini sering berkeliaran di sekitar kita, ia akan menjilat benda apapun di sekitar kita sehingga apabila air liur kucing najis maka akan menyulitkan untuk membersihkan, sehingga syari’at memberikan keringanan kepada kucing sehingga ia tidaklah najis.
  4. Diqiyaskan (yang menempati hukum yang sama dengan kucing) adalah hewan yang sering berlalu-lalang, seperti tikus, bighal (kawin silang antara kuda dan keledai), dan keledai ahli (keledai yang sering membantu tugas manusia). 
  5. Para ahli fiqih, mazhab Syafi’i dan selain mereka meng-qiyaskan bahwa semua hewan yang sebesar kucing atau lebih kecil daripada kucing itu menempati hukum yang sama dengan kucing, yakni tidak najis. Namun menurut mazhab Hanbali, qiyas tersebut tidak tepat, karena keledai ukurannya lebih besar dari kucing namun keledai (ahli) bukanlah merupakan hewan najis. 
  6. Dalam hadits ini terdapat dalil mengenai kesucian seluruh anggota badan kucing tanpa terkecuali. Namun meskipun tidak najis, kucing tetaplah hewan yang haram dimakan dagingnya, karena tidak semua yang suci boleh dimakan.
  7. Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam menyebutkan, إنَّمَا هِيَ مِنْ الطَّوَّافِينَ عَلَيْكُمْ (ia adalah termasuk hewan berkeliaran di sekitarmu”) ini merupakan penguat (taqyid) sabda Nabi, إنَّهَا لَيْسَتْ بِنَجَسٍ (sesungguhnya kucing itu tidaklah najis”). 
  8. Ibnu Abdil Barr menyebutkan, “dalam hadits ini terdapat dalil bahwasannya apa yang diperbolehkan bagi kita untuk berinteraksi dengannya itu menunjukkan bahwa air liurnya adalah suci.”
  9. Pemahaman kebalikan dari hadits ini (sesuatu yang bisa dipahami dibalik tekstual hadits ini) adalah disyari’atkan menjauhi segala sesuatu yang berbau najis. Karena apabila kucing yang merupakan hewan yang suci kita boleh berinteraksi, maka segala sesuatu yang najis tidak diperbolehkan kita berinteraksi dengannya. Kecuali dalam keadaan darurat atau dalam keadaan membersihkan najis. Misalnya ketika dalam kondisi darurat tidak ada makanan halal selain yang haram dan najis, maka diperboleh memakannya; juga ketika mencuci pakaian yang terkena najis, maka boleh menyentuhnya.

Cara Membersihkan Tanah Yang Terkena Kencing

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ : جَاءَ أَعْرَابِيٌّ فَبَالَ فِي طَائِفَةِ الْمَسْجِدِ فَزَجَرَهُ النَّاسُ فَنَهَاهُمْ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمَّا قَضَى بَوْلَهُ أَمَرَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ بِذَنُوبٍ مِنْ مَاءٍ؛ فَأُهْرِيقَ عَلَيْهِ مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ

Terjemahan : Anas Ibnu Malik Radliyallaahu ‘anhu berkata: “Seseorang Badui datang kemudian kencing di suatu sudut masjid, maka orang-orang menghardiknya, lalu Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam melarang mereka. Ketika ia telah selesai kencing, Nabi Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam menyuruh untuk diambilkan setimba air lalu disiramkan di atas bekas kencing itu.” (Muttafaq Alaihi).

Kosakata Hadits :

  1. Kata أَعْرَابِيٌّ (A’rab) mufrad (bentuk tunggal) yang berarti Orang Arab. Berbeda dengan عرب (‘Arab, yang berarti Bangsa Arab) yang merupakan isim jenis yang merupakan isim (kata benda) jamak tapi seolah-olah tunggal.
  2. Kata طَائِفَةِ, berarti satu bagian/satu penggal
  3. Kata زَجَرَهُ, ada yang mengartikan ‘membunuh’, ada yang mengartikan ‘melarang’

Penjelasan Umum Hadits :

Dalam hadits ini, Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam sangat mempertimbangkan maslahat yang lebih besar, yaitu beliau melihat kemaksiatan dan kemungkaran (bahkan terjadi di dalam masjid). Akan tetapi, cara menyikapi Rasulullah terhadap orang yang berilmu dengan orang yang kurang ilmunya berbeda. Beliau Shalallahu ‘Alaihi Wa sallam mempertimbangkan sisi maslahatnya (kaidah mashalih al-mursalah), beliau melihat apabila orang Arab yang kencing di masjid ini langsung dilarang kemudian dikejar, maka air kencingnya bisa menyebar kemana-mana. Ini dibutuhkan ilmu yang sangat dalam.

Faidah Hadits :

Sesungguhnya air kencing itu adalah najis, wajib dibersihkan tempat yang terkena najis air kencing baik berada di badan, pakaian, bejana, atau di tanah, dimanapun tempat yang terkena najis air kencing.

Apabila air kencing tersebut berada di lantai, maka cara membersihkannya berbeda dengan apabila air kencing tersebut berada di tanah. Karena lantai tidak menyerap air, apabila hanya disiram air maka air kencingnya akan menyebar kemana-mana, berbeda dengan tanah yang langsung menyerap air. Sehingga dalam menyikapi masalah ini dibutuhkan fiqih.

Apabila seseorang menjumpai air kencing yang berada di lantai yang tidak bisa menyerap air, maka tidak cukup diguyur dengan air, hendaknya mengambil kain lap kemudian diletakkan di atas tempat yang terkena air kencing hingga air kencingnya terserap semua di kain. Kemudian ketika lantai sudah agak kering, baru bisa dipel/dilap hingga warna, bau, dan rasa najisnya hilang dari lantai. Dan kain yang digunakan untuk melap air kencing harus dicuci hingga najisnya hilang.

Para ulama’ juga menyebutkan bahwa ada media lain selain air yang dapat digunakan untuk membersihkan najis air kencing, misalnya sinar matahari dan angin. Sehingga, apabila kita menjumpai seseorang menjemur pakaiannya yang terkena najis air kencing di bawah terik matahari hingga kering dan najisnya hilang (bau, warna, dan rasanya), maka pakaian tersebut sudah suci karenanya najisnya telah hilang karena sinar matahari.

Para jamaah yang khusyu mendengarkan tausiah dari ustadz Drs. H. M. Danusiri M.Ag.

Dihalalkan Atas 2 Bangkai dan 2 Darah

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ ابْنِ عُمَرَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أُحِلَّتْ لَنَا مَيْتَتَانِ وَدَمَانِ. فَأَمَّا الْمَيْتَتَانِ : فَالْجَرَادُ وَالْحُوتُ وَأَمَّا الدَّمَانِ : فَالطِّحَالُ وَالْكَبِدُ أَخْرَجَهُ أَحْمَدُ وَابْنُ مَاجَهْ وَفِيهِ ضَعْفٌ

Terjemahan : Ibnu Umar Radliyallaahu ‘anhu berkata bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Dihalalkan bagi kita dua macam bangkai dan dua macam darah. Dua macam bangkai itu adalah belalang dan ikan, sedangkan dua macam darah adalah hati dan jantung.” (Diriwayatkan oleh Ahmad dan Ibnu Majah, dan di dalam sanadnya ada kelemahan).

Derajat Hadits :

Hadits ini shohih secara mauquf. Adapun perkataan penulis (Ibnu Hajar), “di dalamnya ada kedho’ifan” karena berasal dari riwayat Abdurrahman bin Zaid bin Aslam dari Bapaknya dari Ibnu Umar. Imam Ahmad mengatakan, “Ia adalah seorang munkarul hadits”. Abu Zar’ah dan Abu Hatim berkata, “hadits ini mauquf, dishohihkan secara marfu’ setiap yang diriwayatkan oleh Ad Daruquthni, Hakim, Al Baihaqi, dan Ibnul Qoyyim”. Ash Shon’ani berkata, “Jika telah ditetapkah hadits ini mauquf, maka hadits ini berhukum marfu’, karena perkataan shahabat “Dihalalkan bagi kami” dan “Diharamkan bagi kami”, ini seperti perkataan, “kami diperintah” dan “kami dilarang”, maka sudah bisa dijadikan hujjah. Inilah yang dinyatakan oleh Al Hafidz Ibnu Hajar sebelumnya di At Talkhisul Khobir.

Faedah Hadits :

  1. Haramnya darah yang mengalir, diambil dari kebolehan dua darah yang disebutkan di dalam hadits tersebut.
    Pengecualian halalnya sebagian tertentu menjadi dalil tentang keharaman selainnya.
  2. Haramnya bangkai, yaitu hewan yang mati begitu saja atau disembelih tidak dengan cara yang sesuai dengan syari’at
  3. Ati dan limpa itu halal dan suci
  4. Bangkai belalang dan ikan juga halal dan suci. Makna bangkai belalang adalah belalang yang mati bukan akibat ulah manusia, melainkan mati begitu saja dengan sebab-sebab kematian seperti kedinginan, hanyut, atau yang lainnya. Adapun yang mati dengan sebab racun maka bangkai tersebut diharamkan karena di dalamnya terkandung racun yang mematikan yang diharamkan.

Kesimpulan :

Hadits ini menjadi dalil bahwa jika ikan dan belalang mati di air, maka air tersebut tidak ternajisi, baik air tersebut banyak maupun sedikit, sekalipun rasanya, warnanya, dan baunya berubah, maka perubahan tersebut bukan dengan sesuatu yang najis, akan tetapi perubahan itu dengan sesuatu yang suci.

Lalat Tidaklah Menajiskan Air Atau Selainnya Ketika Terjatuh Didalamnya

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذَا وَقَعَ الذُّبَابُ فِي شَرَابِ أَحَدِكُمْ فَلْيَغْمِسْهُ ثُمَّ لِيَنْزِعْهُ فَإِنَّ فِي أَحَدِ جَنَاحَيْهِ دَاءً وَفِي الْآخَرِ شِفَاءً أَخْرَجَهُ الْبُخَارِيُّ وَأَبُو دَاوُد . وَزَادَ وَإِنَّهُ يَتَّقِي بِجَنَاحِهِ الَّذِي فِيهِ الدَّاءُ

Terjemahan : Dari Abu Hurairah Radliyallaahu ‘anhu bahwa Rasulullah Shallallaahu ‘alaihi wa Sallam bersabda: “Apabila ada lalat jatuh ke dalam minuman seseorang di antara kamu maka benamkanlah lalat itu kemudian keluarkanlah, sebab ada salah satu sayapnya ada penyakit dan pada sayap lainnya ada obat penawar.” Dikeluarkan oleh Bukhari dan Abu Dawud dengan tambahan: “Dan hendaknya ia waspada dengan sayap yang ada penyakitnya.” 

Kosakata Hadits:

Kata الذُّبَابُ, yang berarti lalat, yakni semua jenis lalat, karena isim + ال bermakna umum, sehingga kata الذُّبَابُ dalam hadits ini bermakna umum semua jenis lalat.

Penjelasan Hadits Secara Umum:

Ketika itu kaum muslimin, yakni para sahabat radhiyallahu’anhum belum mengenal teknologi yang dapat mengetahui bahwa pada satu sisi saya terdapat racun/penyakit dan di sayap yang lain terdapat obat penawarnya. Mereka cukup meyakini bahwa apa yang dibawa oleh Allah dan Rasul-Nya merupakan suatu kebenaran yang harus diimani dan diamalkan.
Hadits ini menunjukkan bahwa Islam tidak hanya mengajarkan hal ‘ubudiyyah (ibadah) saja, melainkan juga tentang teknologi/ilmu sains. Dan yang lebih utama, terlepas dari apakah itu terbukti oleh teknologi/ilmu sains yaitu kita harus meyakini apa-apa yang datang dari Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam adalah suatu kebenaran, meskipun itu tidak masuk akal.

Faidah Hadits:

  1. Hadits ini menunjukkan sucinya lalat, baik tatkala hidup maupun sudah mati. Sesungguhnya lalat ini ketika jatuh ke benda cair maupun padat, tidak membuat benda tersebut menjadi najis. Namun meskipun suci, lalat tidak boleh dimakan, karena Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memerintahkan untuk mengeluarkan lalat itu seteleh ditenggelamkan ke dalam minuman/makanan.
  2. Disunnahkan untuk menenggelamkan lalat atau anggota tubuh lalat ke dalam minuman/makanan yang kejatuhan lalat tersebut, kemudian mengeluarkannya dan memanfaatkan minuman/makanan yang kejatuhan lalat tersebut. Dan hal itu tidak mengubah status kesucian dan kehalalan minuman/makanan tersebut.
  3. Di dalam tubuh lalat/sayap lalat terdapat penyakit dan di sayap lainnya terdapat obat penawar. Menurut para ulama’, biasanya sayap yang berada di atas air (minuman) merupakan sayap yang terdapat obat penawar, sedangkan sayap yang tenggelam lebih dulu ke dalam minuman merupakan sayap yang terdapat racun/penyakit. Oleh karena itu Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi Wa sallam memerintahkan untuk menenggelamkan seluruh bagian tubuh lalat untuk menetralkan racun/penyakit yang sudah masuk terlebih dahulu ke dalam minuman/makanan.
  4. Dalam hadits ini terdapat mukjizat ‘ilmiyyah. Telah ditemukan pada ilmu modern melalui penelitian, bahwa ada pembuktian secara ilmiah tentang kebenaran hadits ini, yakni terdapat penyakit/racun di salah satu sisi sayap lalat, dan di sisi lainnya terdapat obat penawarnya.
  5. Para ulama’ mengqiyaskan semua hewan yang tidak ada darah yang mengalir dalam tubuhnya dengan hewan lalat. Artinya, apabila hewan tersebut mati, maka bangkainya tidak dihukumi najis. Contoh: lebah, laron, nyamuk.

Segala Sesuatu Yang Terpotong Dari Hewan Ketika Hidup Dihukumi Bangkai

Sebagaimana diriwayatkan dalam hadits berikut ini :

وَعَنْ أَبِي وَاقِدٍ اَللَّيْثِيِّ – رضي الله عنه – قَالَ: قَالَ اَلنَّبِيُّ – صلى الله عليه وسلم – – مَا قُطِعَ مِنْ اَلْبَهِيمَةِ -وَهِيَ حَيَّةٌ- فَهُوَ مَيِّتٌ – أَخْرَجَهُ أَبُو دَاوُدَ, وَاَلتِّرْمِذِيُّ وَحَسَّنَهُ, وَاللَّفْظُ لَهُ

Terjemahan : Dari Abu Waqid Al-Laitsi radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Anggota yang terputus dari hewan yang masih hidup termasuk bangkai.” (Dikeluarkan oleh Abu Daud dan Tirmidzi, beliau menyatakannya sahih. Lafaz hadits ini menurut Tirmidzi). [HR. Abu Daud, no. 2858; Tirmidzi, no. 1480. Hadits ini hasan. Lihat Minhah Al-‘Allam fii Syarh Bulugh Al-Maram, 1:76].

Faedah hadits :

  1. Jika bangkai yang dimaksudkan dalam hadits masuk dalam air, bangkai tersebut akan menajiskannya. Ini berlaku pada hewan yang bangkainya itu najis. Hal ini tentu berbeda untuk bangkai yang suci seperti pada ikan dan belalang.
  2. Yang terpotong dari hewan yang masih hidup dihukumi najis.
  3. Dikecualikan yang terpotong di sini adalah rambut dan bulu yang terpotong (lepas) dari pokoknya, dihukumi suci.

Kantor Lazismu Daerah dikompleks Masjid At-Taqwa RS Roemani Semarang

Salurkan donasi terbaik anda melalui:

Lazismu PDM Kota Semarang
Memberi Untuk Negeri

Zakat
Bank Syariah Indonesia
777 888 1785

Infaq
Bank Syariah Indonesia
777 888 1785

Konfirmasi :
0856 4087 3531 (call center Lazismu Kota Semarang)
0813 2755 1238 (Abdullah Hasan)

Penulis : M. Danusiri
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara