Distorsi Antara Tahlil dan Tahlilan Serta Solusinya

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, SEMARANG – Tahlil belum tentu tahlilan, tetapi dalam tahlilan pasti ada bacaan tahlil. Tahlil adalahnama lafal essensi tauhid laa ilaaha illa-llaah (tidak ada Tuhan selain Allah). Tahlilan adalah seperangkat formula yang terdiri atas sejumlah kalimah   thayyibah, surat-surat pendek, ayat-ayat, atau bahkan potongan-potongan ayat Alqur’an yang dibaca baik secara individual maupun komunal (sendiri-sendiri atau berjamaah/koor), didasari keyakinan bahwa membacanya memperoleh pahala dari Allah swt. Pahalanya dikirimkan untuk orang yang sudah mati atau masih hidup tetapi diperlakukan seperti orang yang sudah mati, umpama seorang yang sedang haji ditahlili sejak hari pemberangkatannya hingga hari ke tujuh setelah itu tiap malam Jumat hingga yang haji kembali ke rumah dengan selamat.

Yang dimaksud dengan kalimah thayyibah secara literal adalah kalimat-kalimat yang baik, berasal dari Alqur’an, seperti surat Ikhlas, al-muta’wwizatain, dan ayat kursi; al-Hadis seperti tahlil, tahmid, takbir, tasbih hauqalah, Shalawat, maupun rumusan ulama, seperti hadlrah, tawasul, hadiyyah, dan doa (bisa dari Rasulullah maupun dari ulama).

Tahlilan merupakan ritus keagamaan khas Islam santri baik secara legal atau kultural yang dilaksanakan pada hari pertama hingga hari ketujuh kematian seseorang, pada hari ke 40, hari ke 100, ulang tahun kematian pertama (mendhak pisan), ulang tahun kematian kedua (mendhak pindho), hari ke 1000 (nyewu), dan selanjutnya tiap tahun sekali (haul)  sejauh dikehendaki oleh keluarga si mayyit. Ulama atau kiyai besar biasanya selalu di-haul-i.

Ritus tahlilan biasa dilaksanakan pada malam Jumat (kamis sore) sesudah shalat ‘Ashar di makam-makam, atau sesudah shalat maghrib atau sesudah shalat ‘Isya’ di masjid atau di mushalla, atau di majlis-majlis taklim. Tahlilan bisa dilaksanakan di hari-hari lain atas dasar kesepakatan warga (partisipan) dan tempatnya bergantian di antara mereka. Ritus ini menjadi kelengkapan memeriahkan ‘Idul fitri, yakni setelah shalat id kemudian ramai-ramai ke makam leluhur untuk tahlil di sana, atau paruh terakhir bulan Sya’ban yang biasa disebut ruwahan atau nyadranan. Dalam nyadranan juga ada ritus yang disebut kirim arwah jamaah, yaitu masing-masing jamaah bisa mendaftar nama-nama orang yang sudah meninggal dari kerabatnya dan untuk masing-masing nama, ia  membayar sejumlah uang (katakanlah RP.5.000) kepada ulama atau kiyai atau kepanitiayaan yang menyelenggarakan upacara tahlilan. Uang ini bisa digunakan untuk membangun sarana ibadah, santunan kaum dlu’afa’, santunan anak yatim, atau tujuan-tujuan lain kepentingan umat. Akan tetapi tidak jarang penggunaannya untuk yang memimpin upacara arwah jamaah tersebut. Sesudah  upacara tahlilan selesai, biasanya diikuti dengan ramah tamah atau makan-makan, bisa saja hanya snack ala kadarnya, tetapi pada hari ke tujuh kematian seseorang dan peringatan-peringatan selanjutnya bisa cukup istimewa, bahkan sepulang tahlilan partisipan dibawai nasi dos, takir, atau berkat. Perkembangan selanjutnya berkat tidak berisi nasi, melainkan kue-kue dengan pertimbangan praktis bisa dikonsumsi lain hari dan kondisi makanan masih tetap baik dan tidak basi, atau berwujud bahan mentah yang belum dimasak seperti: me instan, gula pasir, teh bungkus, telur ayam, dan uang sekedarnya. Khususnya di dalam majlis taklim, tahlilan bisa menyatu dengan yasinan, pembacaan nazhaman al-asma’ al-husna, mujahadahan, atau istighasah-an.

Sebenarnya, tujuan final tahlilan adalah mengirim pahala kepada si mayyit. Kiriman ini dipohonkan kepada Allah. Manfaat pahala seterusnya bisa berbentuk ampunan, pembebasan dari siksa kubur, siksa neraka, dan akhirnya masuk surga penuh dengan kenikmatan, dan kedamaian abadi tanpa batas. Dengan begitu, tahlilan dihayati sebagai bentuk kesolehan yang  memfokus pada birr al-walidain (berbakti kepada orang tua atau meluas kepada leluhur dan sanak kerabat yang telah meninggal). Pengertian ini termasuk dalam konsep hasanah Jawa mikul dhuwur mendhem jero. Akan tetapi, forum tahlilan sering dimannfaatkan untuk tujuan lain, seperti penggalangan politik untuk mendukung calon presiden, gubernur, bupati/walikota, lurah/kepala desa,  calon anggota DPR (legislatif), atau kemenangan pemilu bagi partainya, atau untuk memecahkan problem umat atau bangsa.

Upacara tahlilan untuk masyarakat luas telah menjadi budaya yang mapan (devinitif) atau prevalensi (kelaziman/kemestian) sehingga berimplikasi klaim bahwa, jika ada orang mati dan tidak ditahlili diibaratkan seperti kematian binatang.”Wong mati yen ora ditahlili koyo matine kebo utowo kucing”, klaim seperti itu sering terdengar dari lisan pengamal dan penghayat tahlilan ketika mengomentari ada peristiwa kematian dari warga shahibul musibah yang tidak menyelenggarakan prevalensi perjamuan tahlilan. Implikasi selanjutnya, keluarga si mayyit yang tidak menyelenggarakan upacara tahlilan tidak disebut sebagai ‘ahlu sunnah waljamaah’ dan sering didiskriminasikan dalam berbagai kerukunan sosial, jika keluarga si mayyit tersebut merupakan warga minoritas di kampungnya.

Dilihat dari partisipan  pelaksanaan tahlilan, ritus ini dapat dibagi menjadi dua, tahlilan biasa, dan tahlil kubra. Dalam tahlilan kubra melibatkan massa yang banyak (kolosal) dan dihadiri oleh para pejabat, sejumlah kiyai besar dari berbagai kota,  dilaksanakan di alun-alun, atau di suatu kampus pondok pesantren besar di kota atau di desa. Tahlilan semacam inilah yang biasanya sarat dengan muatan-muatan lain:  atas nama kepentingan bangsa, keprihatinan nasib bangsa yang kurang menguntungkan, atau penggalangan politik praktis.

Dalam acara istighasahan, mujahadahan, pengajian akbar  atau yang sejenisnya, unsur tahlilan hampir tidak pernah tertinggal, dan biasanya malah didahulukan dari pada acara yang lain.

Dalam ziarah walisongo atau trend kotemporer disebut wisata religius, tahlilan adalah unsur yang hampir mesti ada, dan ini dikirimkan kepada wali yang sedang diziarahi, termasuk kerabat wali di makam itu, meluas kepada tokoh-tokoh agama setempat dan umumnya kaum muslimin laki-laki mauapun perempuan, baik yang masih hidup maupun yang sudah mati.


Analisis Tentang Tahlilan

Tahlil merupakan tuntunan dari dari Rasulullah, yaitu melafalkan: lâ ilâha illallâh, sementara tahlilan merupakan kreasi ulama, entah siapa namanya, telah menjadi upacara keagamaan dan telah menjadi standar ukuran sholeh dan tidak sholeh keberagamaan seseorang. Sudah barang pasti ukuran ini meleset. Ukuran sholeh dan tidak sholeh dalam hal ibadah yang bersifat ritual harus hanya yang berasal dari Allah dan Rasulullah atas dasar sabda beliau  dalam khutbah haji wada’ sebagai berikut:

َرَكْتُ فِيْكُمْ اَمْرَيْنِ لَنْ تَضِلُّوْا اَبَدًا مَا إِنْتَمَسَّكْتُمْ بِهِمَا, كِتَابَ اللهِ وَسُنَّتَ رَسُوْلِهِ.

Aku tinggalkan kepadamu semua dua perkara. Kamu tidak akan sesat selamanya selagi berpegang teguh keduanya, yaitu kitabullah (al-Qur’an) dan Sunnah Utusan-Nya (HR. at-Turmudzi: 3720)

Catatan :
Hadis yang berinti agar umat Islam berpegang teguh pada Alquran dan as-sunnah, sekaligus akan menjadi pertikaian, sesat, dan hancur diantara umat Islam ketika berpedoman selain keduanya. Dari 14 kitab hadis ada 20 hadis dengan rincian: Imam Bukhari: 2825, 4078, 5237, 6818; Muslim: 2137, 3090, 3091; at-Tumudzi: 3718, 3720 [teks hadis di atas]; Abu Dawud: 1628; Ahmad: 342, 2835, 2945, 11135; Malik: 1395; ad-Daruquthni: 4559: Ibnu Hibban: 122, 1457, Hakim: 318, 319). Imam Nasai, Imam Darimi, Imam Ibnu Majah, Imam Ibn Khuzaimah, dan Imam Syafi’i tidak meriwayat hadis ini meskipun hadis yang semaknanya dengan teks hadis ini.

Jika dalam hal urusan muamalah atau keduniawian, standar sholeh dan tidak sholeh bisa saja bersumber dari luar al-Qur’an dan as-Sunnah seperti bersumber dari moral, etika, adat-istiadat setempat sepanjang secara prinsip tidak bertentangan dengan tauhid dan kemaslahatan umum.

Jika dicermati dalam-dalam, tahlilan yang beredar di tengah-tengah masyarakat luas ini terdapat unsur-unsur yang sangat krusial, yaitu:

1. Mengirim pahala
Makna mengirim adalah memberikan ‘sesuatu’ kepada orang lain dengan menggunakan perantara, orang lain, teman, kurir, atau tukang pos. Jika ‘sesuatu’ itu berwujud pahala, Siapa yang menjadi perantara pengiriman? Tidak ada teks apapun dari Allah dan Rasululah yang menjelaskan tentang pengiriman pahala. Itulah sebabnya dalam naskah tahlilan yang beredar ini Allah lah yang menjadi kurir, dengan rumusan di awal-awal upacara itu menggunakan hadlrah: ilâ hadlarati . . .   dan di akhir upacara tersebut mengucapkan ‘doa’ Allahhumma taqabbal wa aushil tsawâba mâ qaraknâ . . .(Ya Allah terimalah dan sampaikan pahala apa yang aku baca . . .). Hakikatnya, perbuatan ini menghina Allah serendah-rendahnya, meskipun yang bersangkutan tidak merasa menghina-Nya, yaitu memposisikan Allah sebagai kurir, na’udzubillah min dzalik. Padahal Allah itu Maha Pemberi rezeki (ar-Razzâq), Maha Kuasa (al-Qadîr), Maha kuat (al-Matîn), Maha Pemberi (al-Wahhâb), Maha Kasih Sayang (ar-Raḩîm). Dengan kualitas Allah seperti itu, tindakan yang pantas kepada Allah adalah ‘memohon’ kepada-Nya. Bahasa Arab kata memohon adalah berdoa. Di tengah-tengah masyarakat terdapat istilah yang kabur atau barangkali sengaja dikaburkan oleh oknum-oknum tertentu dengan istilah ‘kirimdoa’. Esensi berdoa adalah meminta atau memohon. Kegiatan ini dilakukan karena yang bersangkutan tidak memiliki sesuatu, lalu kepingin memilikinya, sementara dia tidak mempunyai alat tukar atau membeli untuk memilikinya. Selanjutnya esensi mengirim mempunyai pengertian seperti yang baru saja dijelaskan terdahulu, yaitu memberi kepada lain pihak dengan menggunakan perantara. Jadi ungkapan ‘kirimdoa’ sebenarnya tidak bermakna (mystical language). Anehnya berkembang luas di tengah-tengah masyarakat luas. Akhirnya, kita segera tahu bahwa masyarakat itu perlu segera disadarkan mengenai esensi kirim, esensi berdoa, dzikir-tahlil, dan ritual tahlilan itu berbeda satu sama lainnya.

    Dasar hukum bahwa orang mati supaya didoakan adalah hadis berikut: Ketika Raja Najasyi  meninggal dunia, informasi sampai kepada beliau, selanjutnya Rasulullah bersabda:

    إِسْتَغْفِرُوْا  لِأَخِيْكُمْ . . . {رواه  البخارى  ومسلم عى  ابى  هريرة}

     Mohonkan ampunan untuk saudaramu (HR. al-Bukhari dan Muslim/Muttafaqun ‘alaih dari Abi Hurairah; Bukhari: 1242, 3591, Muslim: 1581).

    Syariat formal memohonkan ampunan terhadap orang mati adalah menshalatinya. Di dalam menshalati mayit ada permohonan khusus ampunan si mayit, yaitu antara lain “Alahummaghfir lahu . . . dan seterusnya” Selanjutya, berdoa semacam itu boleh diucapkan/dilakukan di luar shalat jenazah secara formal.

    Jika orang tidak bisa berdoa untuk orang mati dengan bahasa Arab yang secara redaksional dituntunkan oleh Rasulullah, boleh berdoa dengan menggunakan bahasa ibu atau bahasa nonArab. Secara fumgsional justru lebih utama berdoa dengan bahasanya sendiri daripada berdoa dengan bahasa Arab tetapi tidak mengetahui makna redaksinya. Mengapa? Hakikat berdo’a adalah meminta. Kalau meminta kok tidak tahu isi permintaannya, tentu perbuatan konyol dan sia-sia. Apa bedanya radio, televise, pesawat HP yang oleh telinga manusia tampak dan terdengar menyanyi sangat indah, sementara aneka pesawat komunikasi ini tidak menyadari bahwa dirinya menyanyi. Akan lebih runyam lagi ketika mengucapkan hadlrah, hadiah pahala, dan berdoa yang ada unsur redaksi Allahumma taqabbal wa aushil tsawaaba maa qara’na,  . . . dan tidak tahu arti ucapan doanya itu. Perbuatan ini salah bertumpuk-tumpuk. Doanya tidak menyambung kepada Allah secara fungsional karena tidak ada kesadaran bahwa dirinya meminta kepada-Nya, dan tidak ada tuntunannya dari Rasulullah. Untuk itu, mari sadarlah, , , mari beragama itu yang fungsional. Fungsionalisasi agama adalah pelaksanaan huda dari agama itu sendiri. Mari, para tokoh-tokoh agama, dewasakan umat! Berilah pengetahuan agama yang benar yang bersumber dari Allah dan Rasulullah. Kasihanilah mereka dengan memberi sesuluh yang autentik dari junjungan Nabi Besar Muhammad saw. Jangan menjadi pendusta agama dengan mencipta-cipta upacara-upacara keagamaan. Jangan berada di bawah praduga ‘bahwa mereka tidak tahu, kalau mereka tahu pasti mau melaksanakan tahlilan yang di dalamnya ada hadlrah, hadiah, dan tawasul’. Anggapan itu keliru besar! Di suatu madzhab keberagamaan, banyak orang yang sebenarnya telah mengetahui bahwa perbuatan itu salah karena tidak ada contohnya dari Rasulullah, para sahabat, para tabi’in, dan para tabi’ at-tabi’in. Artinya, mereka tahu bahwa pengiriman pahala itu bukan syariat Islam. Tidak ada keterangan apapun dari Allah dan Rasulullah bahwa Rasululah mengirim pahala untuk Khatijah istri tercinta beliau. Tidak ada keterangan apapun dari Allah dan Rasulullah bahwa ‘Aisyah mengirim pahala untuk Rasulullah. Tidak ada keterangan apapun dari Allah dan Rasulullah bahwa para sahabat mengirim pahala untuk Rasulullah. Tidak ada keterangan apapun dari Allah dan Rasulullah bahwa para tabi’in mengirim pahala untuk sahabat. Tidak ada keterangan apapun dari Allah dan Rasulullah bahwa tabi’ at-tabi’in menirimn pahala untuk tabi’in. Lebih dari itu, Sebelas madzhab: Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’i, Imam Hambali, Sufyan Sauri, Sufyan ‘Uyainah, Lais bin Rahawaih, Ibnu Jarir, Imam Zhahiri (Zhahiriyyah), dan al-Auza’i menolak tahlilan dalam arti mengirim pahala dan perjamuannya (al-‘Alawi, [t.th.]: 69). Banyak ulama Syafi’iyyah mengatakan bahwa tahlilan adalah bid’ah (as-Sarbani,[t.th.]: 368; al-Qulyubi, [t.th.],I: 353; an-Nawawi, 1417 H,V: l86; al-Haitami, [t.th.], I: 577; ad-Dimyati, [t.th.],II:146; al-Qirmani, no:18, 1933: 285; as-Sarbani, 1415 H, I: 210. Para Ulama ini menulis kitab kuning yang menjadi kurikulum di pondok pesantren. Sepuluh mazhab yang lainnya juga senada dengan syafi’iyyah, meskipun menggunakan term lain: Hanafiah mengatakannya bid’ah (al-Amin, 1386 H, II: 240), Malikiah mengatakannya bid’ah (ad-Dasuki, [t.th.], I: 419), Hambaliah mengatakannya makruh dan seperti jahiliyah (al-Muqaddasi, 1405 H, II: 215) sebagaiannya mengharamkan dan sebagainnya mengatakannya bid’ah (Ibnu Taimiyyah, [t.th.], I: 316). Sebenarnya, ulama Indonesia yang menulis kitab dan umumnya ulama kotemporer juga menolaknya. An-Nawawi Bantani mengatakan bahwa mengirim pahala kepada orang yang telah meninggal adalah haram. Arsyad al-Banjari dan al-Mawa’iz mengatakan bahwa mengirim pahala untuk orang yang telah mati adalah bid’ah. Dasar penolakan mereka adalah firman Allah sebagai berikut:

      اَلَّا تَزِرُ وَازِرَةٌ وِّزۡرَ اُخۡرٰىۙ‏ (٣٨) وَاَنۡ لَّيۡسَ لِلۡاِنۡسَانِ اِلَّا مَا سَعٰىۙ‏ (٣٩)

      Artinya: (yaitu) bahwasanya seorang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain, dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya (QS an-Najm:38-39).

      Kiyai Sholeh Darat, guru Ahmad Dahlan pendiri organisasi keagamaan Muhammadiyyah  dan guru Hasyim Asy’ari pendiri NU mengharamkan ritual yang disebut nyahur tanah (peringatan hari ke 1000 kematian seseorang, hari ketiga dan hari ketujuhnya, yang di dalamnya ada ritus tahlilan) adalah bid’ah mungkaroh. [https://www.pondokgas.com/2022/02/].

      Berikut ini saya nukilkan langsung komentar para ulama berkaliber mujtahid, antara lain:

      • Imam Syafi’i sebagaimana diintrodusir oleh Imam Nawawi:

      وَاَمَّا الْقِرَاَةُ  الْقُرْاَنَ  فَا الْمَشْهُوْرُ  مِنْ مَذْهَبِ  الشَافِعِى أَنَّهُ لَا يَصِلُ  ثَوَابُهَا  إِلَّا الْمَيِّتِ.وَدَلِيْلُ الشَافِعِى قَوْلُ اللهِ: وَاَنْ لَيْسَ لِلْإنْسَانِ إِلَى مَا سَعَى وَقَوْلُ النَّبِيِّ إِذَا مَاتَ إبْنُ اَدَمَ . . . . .

      Artinya:

      Mengenai bacaan al-Qur’an itu, yang popular dari mazhab Syafi’i, bahwasanya pahala itu tidak sampai kepada mayyit. Dalil Imam Syafi’i adalah firman Allah “Waan laisa lil insâni illâ mâ sa’a (Tidaklah bagi manusia itu memperoleh sesuatu (pahala) kecuali yang ia usahakan) dan sabda Nabi “Idzaa maat Ibnu Adama . . . (Apabila anak Adam mati . . .)

      • Ibnu Hajar al-Haitami

      اَلْمَيِّتُ لَا يُقْرَاءُ عَلَيْهِ مَبْنِيٌّ عَلَى مَا اَطْلَقَهُ  الْمُتَقَدِّمُوْنَ مِنْ أَنَّ الْقِرَاةَ لَا تَصِلُهُ اَيْ اَلْمَيِّتَ. لِأَنَّ ثَوَابُهَا  لِلْقَارِءِى . . . وَدَلِيْلُهُ وَاَنْ  لَيْسَ  لِلْإِنْسَانِ  إِلَّا  مَاسَعَى.   وَالْمَشْهُوْرُ  مِنْ  مَذْهَبِ الشَافِعِى أَنَّ قِرَائَةَ الْقُرْاَنِ لَا يَصِلُ لِلْمَيِّتِ  ثَوَابُهَا

      Artinya:

      Mayyit itu tidak dibacakan al-Quran untuknya. Para ulama Mutaqaddimun memutlakkan bahwa pahala membaca al-Qur’an itu tidak sampai ke mayyit. Pahala itu untuk yang membaca. Dalilnya adalah ‘Waan laisa lil insâni illâ mâ sa’a. Pendapat yang popular dari mazhab Syafi’i menyebutkan bahwa pahala pembacaan al-Qur’an itu tidak sampai kepada si mayyit.

      • Ibnu Katsir

      اَيْ كَمَالاً  لَا يَحْمِلُ عَلَيْهِ  وِزْرُ غَيْرِهِ وَ كَذَالِكَ لَا يَحْصِلُ مِنَ  الْاَجْرِ  إِلَّا  مَا  كَسَبَ  هُوَ  لِنَفْسِهِ.  وَمِنْ  هَذِهِ  الْاَيَةِ الْكَرِيْمَةِ إِسْتَنْبَطَ الشَافِعِى  وَمَنْ اِتَّبَعَهُ. أَنَّ الْقِرَاةَ لَا يَصِلُ إِهْدَائَهُ ثَوَابُهَا إَلَى الْمَوْتَى  لِأَنَّهُ  لَيْسَ مِنْ  عَمَلِهِمْ  وَلَا كَسْبِهِمْ. وَلِهَذَا لَا يُنْدَبُ  إِلَيْهِ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اُمَّتَهُ وَلَا حَثَّهُمْ عَلَيْهِ وَلَا اِرْشَدَهُمْ إَلَيْهِ بِنَصٍّ وَلَا اِيْمَاءَ وَلَمْ يُنْقَلُ ذَالِكَ عَنْ اَحَدٍ مِنَ الصَحَابَةِ. . .

      Jelasnya, seseorang itu tidak menanggung dosa dari orang lain, demikian juga pahala tidak sampai (kepada orang lain) kecuali apa yang telah dilakukannya oleh dirinya sendiri. Berkenaan dengan ayat yang mulya itu, Imam Syafi’i dan para pengikutnya beristinbat bahwa hadiah pahala dari bacaan itu tidak sampai kepada orang mati karena mereka (orang mati) itu bukanlah yang melakukannya. Rasulullah tidak menganjurkan dan tidak mendorong umatnya untuk melakukannya (hadiah pahala). Beliau tidak memberikan petunjuk dengan Nash, tidak pula dapat dinukilkan satu orang pun dari para sahabat.  

      Selain itu, Surat Yasin ayat 70 menyebutkan bahwa seluruh petunjuk al-Qur’an, termasuk ٍurat Yasin adalah untuk orang yang masih hidup (hidup akal sehatnya, hidup perasan keagamaannya, hidup nyawanya), bukan untuk orang mati.

      لِّيُنۡذِرَ مَنۡ كَانَ حَيًّا وَّيَحِقَّ الۡقَوۡلُ عَلَى الۡكٰفِرِيۡنَ‏

      Artinya : Supaya dia (Muhammad) memberi peringatan kepada orang-orang yang hidup (hatinya) dan supaya pastilah (ketetapan azab) terhadap orang-orang kafir (QS Yasin: 70).

      Sedikit harap dipahami bahwa kata ‘hayyan’ dalam ayat tersebut berbentuk nakirah, artinya bersifat umum, bisa bermakna yang mati itu hatinya sebagaimana terjemahan departemen Agama, bisa juga berarti mati jiwaraganya, dalam arti orang yang sudah tidak hidup di dunia ini.

      Para ulama di atas mengatakan bahwa pahala itu untuk orang yang membacanya (al-ajru li qâri’). Jadi pengiriman pahala itu takkan sampai kepada orang mati yang ditujunya karena tidak ada makhluk apapun yang diutus oleh Allah untuk menyampaikan pahala. Sementara itu, Allah telah menyatakan dengan tegas sebagaimana termaktub dalam surat an-Najm ayat 38-39 di atas, selain itu juga dalam surat al-Baqarah: 286, . . Lahâ mâ kasabat wa’alaihâ maktasabat . . . (. . .Ia memperoleh pahala dari kebajikan yang diusahakannya, dan ia mendapat siksa dari kejahatan yang dilakukannya. . .)

      Jika dengan peringatan dan dalil-dalil yang tegas dan jelas ini masih dilanggar, secara logis pahala yang dikirimkan itu muspro. Mengapa? Orang berbuat tergantung dengan niatnya. Jika niatnya dikirimkan, berarti sudah tidak ada pahala padanya. Akan tetapi, pahala itu tidak sampai kepada mayat yang dituju. Jadi, yang namanya pahala itu entah ke mana . . .? Perbuatan tahlilan yang pahalanya dikirimkan itu ternyata sia-sia. Pahala sudah tidak dimiliki, tetapi juga tidak sampai kepada yang dituju. Selain itu, kesia-siaan juga terjadi karena ada unsur baru dalam berdoa, yaitu wasilah.

      1. Wasilah (Perantara)

      Di dalam pelaksanaan tahlian itu biasanya juga mengangkat ruh-ruh tertentu yang disebut wali. Wali itu lah yang diyakini menyampaikan doa yang dipanjatkan kepada Allah. Diantara wali-wali perantara itu adalah antara lain: Rasulullah, syuhada’ perang Badar, pengarang kitab (mushannif) Syeikh Abdul Qadir al-Jaelani, Syeikh Junaid al-Baghdadi, Syeikh Naqshabandi, danwalisongo. Praktik ibadah semacam ini samasekali tidak diajarkan oleh Rasulullah. Selain itu, arti kata ‘wasilah’ yang termuat dalam doa yang dilafalkan setelah adzan itu bermakna kedudukan tinggi di surga. Demikian Sabda Rasul yang menunjukkan pernyataan ini:

      عَنْ عَبْدِ اللهِ ابْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ  رَضِيَ اللهُ عَنْهُ, أَنَّهُ  سَمِعَ  رَسُوْلِ اللهِ  صَلَّى اللهُ  عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  يَقُوْلُ: إِذَا سَمِعْتَ النِدَاءَ فَقُوْلُوْا مِثْلَ  مَا يَقُوْلُ, ثُمَّ  صَلُّوْا عَلَيَّ  فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَيَّ صَلَاةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ عَشْرًا ثُمَّ سَلُوْا اللهَ لِى الْوَسِيْلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةَ لَا تَنْبَغِى إِلَّا لِعَبْدٍ مِنْ عِبَاِد اللهِ, وَاَرْجُوْاَنْ اَكُوْنَ اَنَا هُوَ. فَمَنْ  سَئَلَ  اللهَ لِى  الْوَسِيْلَةَ حَلَّتْ  لَهُ  الشَّفَاعَةَ (رَوَاهُ مُسْلِمْ)

      Artinya:

      Hadis dari Abdullah bin Amr bin ‘Ash ra., bahwa ia mendengar Rasulullah bersabda: jika kamu mendengar panggilan adzan, maka berkatalah seperti apa yang telah ia mengatakan – maksudnya mengikuti lafal adzan itu – kemudian bershalawatlah untuk ku, karena sesungguhnya barang siapa bershalawat untuk ku sekali, maka Allah akan bershalawat (mengaruniai kasih sayang) 10 kali. Selanjutnya mohonlah kepada Allah untuk ku al-wasilah. Sesungguhnya, wasilah itu adalah suatu tempat di surga, yang tidak pantas kecuali untuk hamba Allah di antara para hamba-Nya. Aku berharap bahwa aku adalah dia, hamba yang dimaksud. Barang siapa memohon kepada Allah untuk ku al-wasilah kebolehan baginya sayafaat (HR. Muslim).   

       Al-Qur’an Surat al-Maidah ayat 35 yang menyebutkan kata wasilah itu diterjemahkan: jalan yang mendekatkan diri kepada-Nya. Kitab tafsir apa un, insya Allah menyebutkan bahwa jalan itu adalah amal sholeh, bukan ruh mediator. Dalam Bahasa sehari-hari dapat dikatakan: orang kepingin kaya, wasilahnya adalah kerja mencari rezeki. Orang kepingin punyak anak, wasilahnya menikah dan berhubungan bersebadan dengan pasangan sah hidupnya. Orang yakin kepingin memperoleh ganjaran shalat sebanyak 27 derajat, wasilahnya shalat berjamaah. Terkait dengan berdoa, Allah mengajarkan tatacaranya:

      • Khaufan wathama’a (harap-harap cemas kalau-kalau doanya tidak diterima, maka harus thama’ – dalam Bahasa Indonesia menjadi kata ‘tamak’). Allah berfirman:

      وَلَا تُفۡسِدُوۡا فِى الۡاَرۡضِ بَعۡدَ اِصۡلَاحِهَا وَادۡعُوۡهُ خَوۡفًا وَّطَمَعًا​ ؕ اِنَّ رَحۡمَتَ اللّٰهِ قَرِيۡبٌ مِّنَ الۡمُحۡسِنِيۡنَ‏

      Artinya : Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik (QS.al-A’raf/7: 56).

      • Penuh konsentrasi, tak perlu bersuara lantang. Allah berfirman:

      وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌؕ اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ‏

      Artinya : Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang berdoa apabila ia memohon kepada-Ku, maka hendaklah mereka itu memenuhi (segala perintah-Ku) dan hendaklah mereka beriman kepada-Ku, agar mereka selalu berada dalam kebenaran (QS al-Baqarah/2:186). 

      • Berdoa itu langsung kepada Allah. Berdasarkan naskah resmi dalam Islam, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah ash-shahihah al-muqbalah, Allah tidak pernah mengangkat ajudan apa atau siapa pun yang menghantar doa kepada-Nya. Berdoa hanya kepada-Nya, tidak pada yang lain. Demikian petunjuk-Nya:

      مٰلِكِ يَوۡمِ الدِّيۡنِؕ

      Artinya : Hanya Engkaulah yang kami sembah, dan hanya kepada Engkaulah kami meminta pertolongan (QS.al-Fatihah/1: 4).

      Dengan demikian, berdoa kepada Rasulullah pun tidak ada syariatnya. Apalagi selain beliau. Tugas Rasulullah kepada umat manusia hanya menyampaikan, basyiiran wanadziran (QS. A-Baqarah/2: 119, al-Maidah/5: 19, al-A’raf/7: 188, Hud/11: 2, as-Saba’/34:28, Fathir/35:24, dan Fushshilat/41: 4) dengan Al-Qur’an dan Sunnah beliau sendiri, tidak lebih dari itu. Ketika Beliau wafat, selesailah tugasnya. Umat manusia tinggal hanya mengikuti dan melaksanakan tinggalan beliau, yaitu al-Qur’an dan as-Sunnah itu. Dengan selesainya tugas karena wafat, beliau tidak lagi berurusan dengan kehidupan dunia. Beliau pernah cerita bahwa besok di hari kiyamat, beliau menggiring umatnya agar mereka, semuanya, meminum di telaga (al-haudl). Setelah sebagian meminumnya, tiba-tiba ada seruan, kepada beliau:

      إِنَّكَ لَا تَدْرِى مَا اَحْدَثُوْا بَعْدَكَ فَاَقُوْلُ: سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِى (متفق عليه عن ابى سعد الخدرى)

      Artinya : Sesungguhnya kamu (Muhammad) tidak tahu apa yang mereka perbuat sesudahmu. Maka aku berkata: Celaka! Celaka! Bagi orang yang mengubah-ubah sesudahku (HR Muttafaqun ‘alaih dari Abu Sa’id al-khudri);

      Catatan :
      Hadis ini juga diriwayatkan oleh Imam Bukhari: 6097, 6528, Iamam Ibnu Majah: 4296, Imam Malik: 53, Imam Muslim: 367, 3247, 5271, dan Imam Nasai: 894.

      Hadis ini menunjukkan bahwa Nabi Muhammad tidak mengetahui lagi terhadap apa yang kita perbuat sekarang ini. Untuk itu, kepercayaan bahwa jika membaca naskah kitab al-Barjanji lalu Rasulullah datang dan memberi berkah itu hanyalah kebohongan nyata. Orang yang mengatakan bahwa Nabi pernah berkata “Man a’dhama maulidi kuntu syafi’an lahu yaumal qiyamah” adalah kebohongan besar! Mengapa? Hadis ini palsu, tidak terdapat dalam kitab-kitab hadis induk. Peringatan maulid Nabi pertama diadakan untuk pertama kali terjadi setelah 300 tahun lebih pasca wafat beliau. Tidak ada ceritanya sahabat, tabi’in, tabi’ at-tabi’in melakukan pengingatan maulid Nabi. Jika hadis itu benar, pasti sahabat sudah terlebih dulu melakukannya.

      Harap disadari bahwa saya tidak mengatakan bahwa peringatan maulid Nabi itu bid’ah, melainkan boleh-boleh saja, tergantung bagaimana pelaksanaannya. Kalau pelaksanaannya ada unsur berjanjen yang di dalamnya ada kepercayaan bahwa Beliau datang dan memberi berkah, tentu terjatuh kepada kepercayaan khurafat dan perbuatannya termasuk bid’ah. Kalau dalam berjanjen itu sekedar dibaca, direfleksikan dalam seni suara yang indah, kemudian isinya untuk i’tibar, tentu sangat bagus. Tetapi harap diwaspadai terhadap bait-bait tertentu, umpama lembar pertama dari naskah kitab al-Barjanji terdapat Nabi Muhammad sebagai ‘mahiya adz-dzunûb (penghapus dosa), yaitu bait: “Assalaamu ‘alaik, ‘alaika yaa mahiya adz-dzunûbi”. Kepercayaan ini seperti orang Nasrani mempersepsi Yesus sang penebus dosa. Sebaiknya, menurut hemat penulis, bait itu diubah menjadi “as-Salâmu ‘alaik, ‘alaika yâ mâhiyal kufra’ (keselamatan untuk Tuan, untuk tuan si penghapus kekufuran). Aqidah ini pasti benar atas dasar pengakuan beliau sendiri bahwa Nama beliau adalah sebagaimana terungkap dalam sabdanya sebagai berikut:

      صحيح البخاري ٣٢٦٨: حدثني إبراهيم بن المنذر قال حدثني معن عن مالك عن ابن شهاب عن محمد بن جبير بن مطعم عن أبيه  رضي الله عنه  قال قَالَ رَسُوْلُ

      اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لِيْ خَمْسَةُ أَسٍمَاءَ أَنَا مُحَمَّدٌ وَأَحْمَدَ وَأَنَا اَلْمَاحِيَ الَّذِيْ يَمْحُو اللهُ بِيَ الْكُفْرَ وَأَنَا اَلْحَاشِرُ الَذِيْ يُحْشَرُ النَّاسُ عَلَى قَدَمِي وَأَنَا اَلْعَاقِبُ

      Artinya: Shahih Bukhari 3268: Telah bercerita kepadaku Ibrahim bin al- Mundzir. Dia berkata telah bercerita kepadaku Ma’an, dari Malik, dari Ibnu Syihab, dari Muhammad bin Jubair bin Muth’im, dari bapaknya radliyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: Aku memiliki lima nama, Aku adalah (1) Muhammad, (2) Ahmad, (3) aku juga al-Mahiy (penghapus), maksudnya Allah menghapuskan kekafiran melalui perantaraanku, (4) Aku juga al-Hasyir (penghimpun), maksudnya manusia akan berhimpun di bawah kakiku dan aku juga (5) al ‘Aqib, yang artinya tidak ada seorang nabipun sepeninggalku.

      Catatan

      Hadis yang menyatakan bahwa salah satu Nama Rasulullah adalah penghapus dosa, al-Mâiy, juga terdapat dalam riwayat Imam Bukhari: 4517, Imam Muslim: 4342, 4343, Imam at-Turmudzi: 2766, Imam ad-Darimi: 2656, Imam Ahmad 16134, 16148, 16179, 16170, Imam Malik: 1595.

      Tambahan, Dalam al-Qur’an disebutkan hingga 224 kali bahwa hanya Allah lah yang menghapus atau mengampuni dosa. Lha, kalau Allah sudah menginformasikan hingga sebanyak itu kok kita tetap mbrengkele berkeyakinan bahwa Rasulullah itu penebus dosa, kata apa lagi yang pantas diucapkan untuk mereka yang meyakini bahwa Rasulullah adalah iya adz-dzunûb?   

      Ada lagi jenis kesalahan, yaitu berdoa kepada Rasulullah, umpama berdoa dalam akhir ritual istighasah: Qad dlâqat îlatî adriknî yâ Rasûlallâh (Keadaanku benar-benar telah mentog, maka dapatkanlah untukku ya Rasulullah). Pada umumnya, yang berdoa seperti itu tidak dalam kesempitan, melainkan penyelenggaraan ritual yang mengandung doa tersebut diselenggarakan secara kolosal, sarana prasarananya amat lengkap, termasuk uborampe-nya, para partisipannya sehat-sehat, dan pasti bermurah rezeki, dan nyaris semua merokok. Hanya karena telah berdampak pada kesehatan saja, umpama batuk dan asma dari mereka yang kapok merokok. Bagaimana bisa berkata “Qad dlâqat îlatî, yang intinya sangat berkesulitan dalam menghadapi persoalan? Nabi Muhammad mengutuk orang-orang yang mengubah-ubah atau mengada-adakan sesuatu (peribadatan). Justru mereka itu, atas dasar pemahaman logis hadis tersebut, nantinya tidak memperoeh bagian minum telaga (al-Haudl) Nabi. Menurut pemahaman penulis, mengirim pahala itu juga termasuk mengubah-ubah ajaran pokok dalam Islam. Semula pahala hanya untuk yang berbuat, lalu diubah pahala bisa dikirimkan, kemudian mengirim pahala itu memperoleh pahala tersendiri atas dasar keyakinan birrul walidain atau amal sholeh. I’tibar yang diperoleh bahwa kalau sudah terlanjur berbuat salah maka akan menelorkan anak-cucu perbuatan-perbuatan lain yang juga pasti salah. Lebih runyam lagi kalau kesalahan itu tidak disadari dan malah dibungkus keyakinan ‘sebagai ijtihad’. Kesalahan pola semacam ini tentu akan menjadi laten dan permanen, tetapi tidak menyadari kesalahannya. Untuk itu, penulis mengajak pembaca untuk merenungkan dan selanjutnya menjadikannya pedoman pasti dalam beragama dari ayat berikut:

      وَاِنۡ تُطِعۡ اَكۡثَرَ مَنۡ فِى الۡاَرۡضِ يُضِلُّوۡكَ عَنۡ سَبِيۡلِ اللّٰهِ​ؕ اِنۡ يَّتَّبِعُوۡنَ اِلَّا الظَّنَّ وَاِنۡ هُمۡ اِلَّا يَخۡرُصُوۡنَ

      Artinya : Dan jika kamu menuruti kebanyakan orang-orang yang di muka bumi ini, niscaya mereka akan menyesatkanmu dari jalan Allah. Mereka tidak lain hanyalah mengikuti persangkaan belaka, dan mereka tidak lain hanyalah berdusta (terhadap Allah- Qs al-An’am/6 : 116).

      Banyak sekali pola ibadah ciptaan manusia yang dasarnya hanyalah mengikuti leluhur, mengikuti para tokoh-tokoh agama, iman buta, dalam kata lain dhan (sangkaan belaka), atau sengaja mencampur aduk unsur-unsur nonIslam ke dalam Islam. Tahlilan di dalamnya dicampur dengan upacara memperingati mayat pada hari ke 7, 40, 100, mendhak pisan, mendhak pindho, 1000, haul adalah campuran antara Islam dan Hindu. Mengirim pahala dalam tahlilan adalah campuran antara Islam, Hindu, dan impian orang-orang tertentu seperti al-Malibari. Tahlilan di dalamnya ada unsur hadiah pahala kepada si mayyit adalah campuran antara Islam dan ciptaan muslim tertentu, entah siapa yang memulainya. Pengiriman pahala dalam tahlilan dengan menggunakan perantara ruh-ruh  tertentu adalah campuran antara semangat Hindu, ciptaan umat Islam, dan ajaran Islam. Bertahlil,Tahlilan, merupakan perbuatan sholeh dan sangat utama, tetapi harus berpola yang 100% berdasar syariat.

      1. Makan-makan bersama setelah tahlilan dalam rangka memperingati orang mati

      Dalam dialog antara Umar bin Khatab dan Jarir disebutkan sebagai berikut:

      عُمَرْ  : هَلْ يُنَاحِ عَلَى مَيِّتِكُمْ؟

      جَرِيْر: لَا

      عُمَرْ  : فَهَلْ يَجْتَمِعُوْنَ عِنْدَ اَهْلِ الْمَيِّتِ وَيَجْعَلُوْنَ الطَعَامَ؟

      جَرِيْر : نَعَمْ

      عُمَرْ   : ذَاكَ النَّوْحُ

      Umar: Apakah kamu meratapi orangmu yang sudah mati?

      Jarir  : Tidak

                  Umar: Apakah mereka berkumpul di rumah keluarga si mayyit dan menyajikan makanan

      Jarir  : Ya

      Umar: Itulah namanya meratapi orang mati.

      Berkenaan dengan dialog antara Umar bin Khatab dan Jarir itu, Ibnu Katsir berkomentar ;Lau kâna khairan lasabaqûna ilaih” (Seandainya prefalensi itu baik, niscaya mereka (para sahabat Nabi) telah mendahuluinya (melakukan prefalensi). 

      Imam Syafi’i dalam kitabnya, al-Umm menulis bahwa:

      وَأَكْرَهُ الْمَأَتِمَ  وَهِيَ اَلْجَمَاعَةُ  وَإِنْ  لَمْ يَكُنْ  لَهُمْ  بُكَاءٌ  فَإِنَّ ذَالِكَ يُجَدَّدُ الْحُزْنِ.

      Aku memakruhkannya al-ma’tam (prefalensi), yaitu berkumpul, meskipun mereka itu tidak menangis karena yang demikian itu sebenarnya memperbaharui sungkawa (atas kematian seseorang (al-Umm,I: 318).

      Kesimpulan

      Ritus tahlilan yang di dalamnya menyatu unsur pengiriman pahala kepada orang yang sudah meninggal, biasanya leluhur  dan bertawasul kepada ruh orang yang sudah meninggal pula, biasanya diyakini ruh suci para wali adalah ritus keagamaan yang di ada-adakan jauh sesudah Rasulullah wafat. Oleh karena itu, ritual ini tidak memiliki akar dari Alquran maupun as-sunnah Rasulillah. Wallahu A’lam.