Sejarah

Sejarah PDM Kota Semarang

logo-hijauSecara tepat berdirinya Muhammadiyah Kota Semarang tidak diketahui, tetapi awal mula berkembang dan berdirinya Muhammadiyah Kota Semarang bisa dilihat dan dimulai sekitar tahun 1926. Para perintis berdirinya Muhammadiyah Semarang antara lain :

  1. K.H. Dzulkarnain  (Kudus)
  2. Abdul Rahman Machrus (Semarang)
  3. Ahmad Machrus (Solo)
  4. Ust. Bastam Muslie (Semarang)
  5. Ali Barkan (Semarang)

Menurut K.H. Ali Cholil (cucu Kyai Sholeh Darat, sekaligus pelaku sejarah) Gedung yang dipakai untuk kantor Muhammadiyah mula-mula menempati rumah K.H. Mashud Ilyas di Kampung Petrus dan Mijen Jl. Gendingan (sekarang komplek Mall Sri Ratu), yang kemudian pindah di Jl. Kakap 72 Kelurahan Mlayu Darat (Sekarang Kel. Dadapsari Semarang Utara). Gedung ini merupakan wakaf dari H Ahmad Said Makarim dari Solo.

Tahun 1928 dibentuk Konsulat Muhammadiyah Semarang, yang diresmikan oleh K.H. Dzazuli dari Yogyakarta. Sebagai ketua pertama adalah K.H. Dzulkarnain. Kantor secretariat konsulat Muhammadiyah pertama di kampung Krendo Kauman. Kegiatannya sementara hanya pengajian-pengajian.

Tahun 1933 diselenggarakan Konggres Muhammadiyah ke 22 (sekarang Muktamar) di Semarang bertempat di kampung Bon Cino Jl. Mataram. Salah satu hasil Konggres adalah memutuskan untuk membeli tanah di Jl. Sadewa Nomor 45 (sekarang Jl. Indraprasta nomor 37). Di Jalan Sadewa ini kemudian dijadikan sebagai Kantor Konsulat Muhammdiyah Semarang. Selain kegiatan rutin mengadakan pengajian-pengajian, kemudian berkembang ke dunia pendidikan, yaitu dengan mendirikan HIS. (Sumber: H. Soewito, sesepuh Muhammadiyah dan pelaku sejarah).

Pada tahun 1950 terjadi serah terima pengelolaan yatim piatu dari Majelis Umat Islam (MUI) sekarang Majelis Ulama Indonesia, dan ditampung di Jl. Sadewa 45 (Indraprasta 37). Kemudian pada tahun 1960 Yatim Piatu pindah ke Singosari (sekarang kompleks Rumah Sakit Roemani)[1]. Di tempat ini selain sebagai Gedung Yatim Piatu dan Kantor Muhammadiyah Semarang, juga terdapat Gedung SD Muhammadiyah 08 dan Kantor Pimpinan Muhammadiyah Wilayah Jawa Tengah. Sebagian tanah dimanfaatkan juga sebagai pertanian tanaman sayur-sayuran, kolam ikan, peternakan ayam dan kambing yang bermanfaat bagi ketrampilan dan kegiatan sehari-hari anak Panti Asuhan, disamping juga sebagai upaya menambah dana untuk kepentingan Panti.

Tahun 1960 Muhammadiyah dipecah menjadi 5 Cabang, yaitu :

  1. Semarang Barat
  2. Semarang Utara
  3. Semarang Timur
  4. Semarang Selatan, dan
  5. Semarang Tengah

Setelah Pimpinan Cabang ada 5 buah barulah kemudian dibentuk Pimpinan Muhammadiyah Daerah (PMD) yang sekarang menjadi Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang dan menempati kantor di Singosari (kompleks RS. Roemani).

Tahun 1965, Cabang Semarang Barat dipecah menjadi  3 cabang, yaitu :

  1. Semarang Barat I yang berkantor di Jl. Indraprasta.
  2. Semarang Barat II, berkantor di Mlayudarat
  3. Semarang Barat III, berkantor di Puspowarno.

Selanjutnya dengan adanya perkembangan atau pemekaran dan setelah  Kota Semarang terbagi menjadi 16 Kecamatan, sekarang ini Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang memiliki 18 Pimpinan Cabang  Muhammadiyah (PCM), dan menurut data pada tahun 2002 telah memiliki 89 pengurus tingkat ranting. Pimpinan Cabang Muhammadiyah tersebut yaitu :

  1. PCM Semarang Timur
  2. PCM Semarang Tengah
  3. PCM Semarang Barat
  4. PCM Semarang Utara
  5. PCM Semarang Selatan
  6. PCM Banyumanik
  7. PCM Gajah Mungkur
  8. PCM Mijen
  9. PCM Ngaliyan
  10. PCM Tugu
  11. PCM Pedurungan
  12. PCM Gunungpati II
  13. PCM Gunungpati I
  14. PCM Candisari I
  15. PCM Candisari II
  16. PCM Genuk
  17. PCM Gayamsari
  18. PCM Tembalang

[1]Roemani adalah seorang yang telah mewakafkan gedung/bangunan Rumah Sakit beserta isi/perlengkapannya kepada Muhammadiyah, sedangkan tanahnya adalah milik Muhammadiyah dari hasil pembelian. RS. Roemani didirikan pada tahun 1974.


Sejarah Ahmad Roemani

Pengusaha yang Dermawan

Oleh Rukardi, Suara Merdeka, 26-09-2007.

SIAPA Ahmad Roemani? Tak banyak yang tahu. Orang baru mengerti nama tersebut saat dikaitkan dengan sebuah rumah sakit swasta di Jalan Wonodri, Semarang. Memang, sosok Ahmad Roemani tak sepopuler rumah sakit yang dibangun dari dana wakafnya itu. Semasa hidup, ia dikenal sebagai pengusaha yang dermawan, membantu siapa saja yang membutuhkan uluran tangan, tanpa mempedulikan asal-usul dan latar belakang.

Rumah Sakit Roemani adalah contoh tipikalnya. Meski berasal dari keluarga Nahdliyin, dia ikhlas mewakafkan sebagian hartanya untuk membangun sarana kesehatan milik PKU Muhammadiyah Semarang. Buku ”Sejarah dan Perkembangan Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Kota Semarang” yang diterbitkan PD Muhammadiyah ini memuat kisah hidup Ahmad Roemani.

Dia lahir di Desa Ngelowetan, Kecamatan Mijen, Demak pada tahun 1927. Sejak kecil dia hidup miskin. Sang ayah Djamrodji adalah buruh tani. Untuk meringankan beban keluarga, Roemani kecil mengembalakan kerbau milik Samidi, pamannya.

Akibat kurang biaya, pendidikannya di Volkschool (sekolah Belanda untuk warga pribumi) berhenti di kelas dua. Kendati demikian Roemani tak patah arang. Gagal sekolah ia berikhtiar mencari pekerjaan.

Sebentar menjadi buruh di sebuah perusahaan di desa tetangga, remaja tangguh itu merantau ke Godong, Grobogan. Namun nasib baik belum berpihak kepadanya. Empat puluh hari Roemani luntang-lantung tak keruan. Di tengah rasa putus asa di sebuah serambi masjid ia bernazar. Jika beroleh rezeki melimpah, ia tak akan lupa dengan orang-orang yang bernasib serupa dengannya.

Pada masa kemudian, nazar itu betul-betul dilaksanakan. Dia hampir tak pernah menolak orang yang meminta sumbangan. Konon tiap hari Jumat rumahnya banyak didatangi pemohon sumbangan untuk berbagai keperluan, dari pembangunan masjid, madrasah, maupun pondok pesantren.

Hijrah ke Semarang

Selama beberapa tahun dia terus mengembara, dari Kayen Pati pindah Godong. Di tempat itu Roemani menjadi pembantu rumah tangga, sambil sesekali mburuh bangunan di proyek DPU. Punya sedikit modal, medio 1940-an ia hijrah ke Semarang. Roemani menjalani hidup sebagai pengepul besi rosok. Dia kumpulkan benda-benda rosok di desanya sampai ke Pati, lalu dijual kepada juragan di daerah Sleko.

Tak beroleh kemajuan lelaki ulet itu kembali terjun menjadi kuli. Kebetulan saat itu tengah dibangun proyek lapangan terbang di Kalibanteng. Setelah itu ia bekerja di pelabuhan Semarang. Namun Jepang keburu menduduki daerah ini, dan Roemani pun kembali ke desa.

Di tanah kelahiran, ia menekuni usaha dagang kapas. Karena kapas saat itu komoditas yang tak boleh diperjualbelikan, usaha dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Keuntungan dari bisnis itu lumayan, ia mampu membeli rumah, sawah, hewan ternak, dan sepeda releigh, yang saat itu merupakan barang mewah.

Pascaproklamasi kemerdekaan, Roemani meningalkan usahanya. Ia bergabung dengan Angkatan Muda Republik Indonesia dan turut bertempur melawan tentara Jepang di Semarang. Tak cukup dengan itu ia sempat menjadi anggota Barisan Banteng RI dengan pangkat kopral.

Usai perang, dia menjadi polisi dan ditugaskan di sektor Gajah, lalu Morodemak. Saat pengakuan kedaulatan RI tahun 1950, militer dan kepolisian direstrukturisasi. Ia memilih keluar dan kembali menekuni dunia bisnis.

Pelbagai bidang usaha ia jalani, mulai dari levelansir bahan bangunan, pemborong proyek-proyek DPU, penyalur pupuk, jual beli kayu jati, berdagang beras dan hasil bumi, serta usaha angkutan. Dari bisnis itu ia beroleh keuntungan besar. Sepulang menunaikan ibadah haji pada 1966, Roemani memusatkan kegiatan bisnisnya di Jalan Singosari, yang berdekatan dengan Panti Asuhan Yatim (PAY) Muhammadiyah. Suatu ketika dalam keadaan sakit ia bermimpi diminta memberi makan anak yatim.

Semula ia berpikir menyumbangkan empat mobil bak terbuka untuk membantu pendanaan PAY. Namun setelah mempertimbangkan pendapat seorang rekan, dia memutuskan membangun rumah sakit. Keuntungan dari rumah sakit itu untuk membiayai PAY.

Yang menarik, Roemani tak pernah menghitung uang yang dikeluarkan untuk membangun rumah sakit itu. Ia selalu merobek nota pembelian material atau kuitansi pembayaran upah tenaga bangunan. ”Ben aku ora ngerti pira enteke pembangunan iki. Mengko nek ngerti, aku kuwatir dadi owel. Nek ana wong arep ngapusi tak pasrahke Gusti Allah. Allah maha pirsa. (Biar saya tidak tahu besarnya biaya pembangunan ini. Jika tahu, saya khawatir jadi tidak ikhlas. Kalau ada orang bertindak curang, saya pasrahkan kepada Allah. Allah maha mengetahui)”, katanya.

Pengusaha dan pejuang yang dermawan itu meninggal akibat sakit lever di RS Dr Kariadi pada 21 Desember 1975. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.(18)