http://rsroemani.com
Sejarah Ahmad Roemani
Pengusaha yang Dermawan
Oleh Rukardi, Suara Merdeka, 26-09-2007.
SIAPA Ahmad Roemani? Tak banyak yang tahu. Orang baru mengerti nama tersebut saat dikaitkan dengan sebuah rumah sakit swasta di Jalan Wonodri, Semarang. Memang, sosok Ahmad Roemani tak sepopuler rumah sakit yang dibangun dari dana wakafnya itu. Semasa hidup, ia dikenal sebagai pengusaha yang dermawan, membantu siapa saja yang membutuhkan uluran tangan, tanpa mempedulikan asal-usul dan latar belakang.
Rumah Sakit Roemani adalah contoh tipikalnya. Meski berasal dari keluarga Nahdliyin, dia ikhlas mewakafkan sebagian hartanya untuk membangun sarana kesehatan milik PKU Muhammadiyah Semarang. Buku ”Sejarah dan Perkembangan Rumah Sakit Roemani Muhammadiyah Kota Semarang” yang diterbitkan PD Muhammadiyah ini memuat kisah hidup Ahmad Roemani.
Dia lahir di Desa Ngelowetan, Kecamatan Mijen, Demak pada tahun 1927. Sejak kecil dia hidup miskin. Sang ayah Djamrodji adalah buruh tani. Untuk meringankan beban keluarga, Roemani kecil mengembalakan kerbau milik Samidi, pamannya.
Akibat kurang biaya, pendidikannya di Volkschool (sekolah Belanda untuk warga pribumi) berhenti di kelas dua. Kendati demikian Roemani tak patah arang. Gagal sekolah ia berikhtiar mencari pekerjaan.
Sebentar menjadi buruh di sebuah perusahaan di desa tetangga, remaja tangguh itu merantau ke Godong, Grobogan. Namun nasib baik belum berpihak kepadanya. Empat puluh hari Roemani luntang-lantung tak keruan. Di tengah rasa putus asa di sebuah serambi masjid ia bernazar. Jika beroleh rezeki melimpah, ia tak akan lupa dengan orang-orang yang bernasib serupa dengannya.
Pada masa kemudian, nazar itu betul-betul dilaksanakan. Dia hampir tak pernah menolak orang yang meminta sumbangan. Konon tiap hari Jumat rumahnya banyak didatangi pemohon sumbangan untuk berbagai keperluan, dari pembangunan masjid, madrasah, maupun pondok pesantren.
Hijrah ke Semarang
Selama beberapa tahun dia terus mengembara, dari Kayen Pati pindah Godong. Di tempat itu Roemani menjadi pembantu rumah tangga, sambil sesekali mburuh bangunan di proyek DPU. Punya sedikit modal, medio 1940-an ia hijrah ke Semarang. Roemani menjalani hidup sebagai pengepul besi rosok. Dia kumpulkan benda-benda rosok di desanya sampai ke Pati, lalu dijual kepada juragan di daerah Sleko.
Tak beroleh kemajuan lelaki ulet itu kembali terjun menjadi kuli. Kebetulan saat itu tengah dibangun proyek lapangan terbang di Kalibanteng. Setelah itu ia bekerja di pelabuhan Semarang. Namun Jepang keburu menduduki daerah ini, dan Roemani pun kembali ke desa.
Di tanah kelahiran, ia menekuni usaha dagang kapas. Karena kapas saat itu komoditas yang tak boleh diperjualbelikan, usaha dijalankan secara sembunyi-sembunyi. Keuntungan dari bisnis itu lumayan, ia mampu membeli rumah, sawah, hewan ternak, dan sepeda releigh, yang saat itu merupakan barang mewah.
Pascaproklamasi kemerdekaan, Roemani meningalkan usahanya. Ia bergabung dengan Angkatan Muda Republik Indonesia dan turut bertempur melawan tentara Jepang di Semarang. Tak cukup dengan itu ia sempat menjadi anggota Barisan Banteng RI dengan pangkat kopral.
Usai perang, dia menjadi polisi dan ditugaskan di sektor Gajah, lalu Morodemak. Saat pengakuan kedaulatan RI tahun 1950, militer dan kepolisian direstrukturisasi. Ia memilih keluar dan kembali menekuni dunia bisnis.
Pelbagai bidang usaha ia jalani, mulai dari levelansir bahan bangunan, pemborong proyek-proyek DPU, penyalur pupuk, jual beli kayu jati, berdagang beras dan hasil bumi, serta usaha angkutan. Dari bisnis itu ia beroleh keuntungan besar. Sepulang menunaikan ibadah haji pada 1966, Roemani memusatkan kegiatan bisnisnya di Jalan Singosari, yang berdekatan dengan Panti Asuhan Yatim (PAY) Muhammadiyah. Suatu ketika dalam keadaan sakit ia bermimpi diminta memberi makan anak yatim.
Semula ia berpikir menyumbangkan empat mobil bak terbuka untuk membantu pendanaan PAY. Namun setelah mempertimbangkan pendapat seorang rekan, dia memutuskan membangun rumah sakit. Keuntungan dari rumah sakit itu untuk membiayai PAY.
Yang menarik, Roemani tak pernah menghitung uang yang dikeluarkan untuk membangun rumah sakit itu. Ia selalu merobek nota pembelian material atau kuitansi pembayaran upah tenaga bangunan. ”Ben aku ora ngerti pira enteke pembangunan iki. Mengko nek ngerti, aku kuwatir dadi owel. Nek ana wong arep ngapusi tak pasrahke Gusti Allah. Allah maha pirsa. (Biar saya tidak tahu besarnya biaya pembangunan ini. Jika tahu, saya khawatir jadi tidak ikhlas. Kalau ada orang bertindak curang, saya pasrahkan kepada Allah. Allah maha mengetahui)”, katanya.
Pengusaha dan pejuang yang dermawan itu meninggal akibat sakit lever di RS Dr Kariadi pada 21 Desember 1975. Jenazahnya dikebumikan di Taman Makam Pahlawan Giri Tunggal Semarang.(18)