Bayangkan suasana jazirah Arab di abad ke-7. Kekuasaan Islam berkembang pesat, meluas ke wilayah Syam, Mesir, hingga Persia. Di tengah kejayaan itu, muncul satu persoalan pelik yang cukup krusial: kekacauan administrasi akibat ketiadaan sistem penanggalan yang seragam.
Surat perintah tidak bertanggal, dokumen piutang membingungkan karena tak ada kejelasan tahunnya. Bahkan seorang gubernur, Abu Musa al-Asy’ari, sampai mengadu kepada Khalifah Umar bin Khattab tentang surat-surat resmi yang sulit dipahami waktunya.
Dari keresahan inilah, Umar bin Khattab—sahabat utama Nabi dan pemimpin dengan visi kenegaraan luar biasa—mengambil langkah monumental: menetapkan Kalender Hijriah. Sebuah sistem penanggalan Islam yang bukan hanya menjawab kebutuhan praktis saat itu, tetapi juga menjadi warisan peradaban yang relevansinya terasa hingga hari ini.
Kalender itu tidak dibuat dari nol. Masyarakat Arab pra-Islam memang telah lama menggunakan kalender bulan. Namun sistemnya kacau karena dicampur dengan praktik Nasi’—penambahan bulan untuk menyelaraskan waktu dengan musim. Praktik ini memungkinkan manipulasi, bahkan terhadap bulan-bulan suci.
Islam datang meluruskan kekacauan ini. Al-Qur’an menegaskan bahwa dalam setahun hanya ada dua belas bulan qamariyah. Nabi Muhammad SAW menegaskan kembali sistem ini dalam haji wada’ sebagai sistem waktu umat Islam yang murni dan tertata.
Namun, sistem saja tak cukup tanpa struktur. Maka Umar menginisiasi musyawarah besar bersama para sahabat—di antaranya Ali bin Abi Thalib, Utsman bin Affan, dan Sa’ad bin Abi Waqqas—untuk menentukan awal tahun Islam. Berbagai usulan muncul: tahun kelahiran Nabi, tahun kenabian, tahun wafat Nabi. Namun semua ditolak.
Awal Mula Kalender Hijriyah
Lalu muncul satu gagasan kuat: menjadikan tahun hijrah Nabi ke Madinah sebagai titik awal perhitungan waktu Islam. Bukan karena peristiwa itu paling dramatis, tetapi karena hijrah menandai titik balik sejarah Islam. Dari komunitas tertindas di Makkah menjadi negara berdaulat di Madinah. Hijrah adalah simbol perjuangan, komitmen, dan transformasi sosial yang selaras dengan semangat waktu yang terus bergerak ke depan.
Setelah tahun disepakati, bulan pertama pun dipilih. Meski Nabi hijrah secara fisik pada bulan Rabiul Awwal, bulan Muharram justru ditetapkan sebagai awal tahun. Alasannya mendalam. Muharram adalah salah satu dari empat bulan suci dalam Islam. Dan justru di bulan inilah tekad hijrah mulai dirancang—seusai Baiat Aqabah II pada akhir Dzulhijjah.
Penetapan ini mengandung pesan filosofis: bahwa niat dan azam untuk perubahan adalah awal dari segala gerak. Persis seperti sabda Nabi, “Sesungguhnya setiap amal tergantung pada niatnya.”
Kalender hijriah yang lahir dari semangat tersebut memiliki tiga fungsi penting: administratif, ritual, dan simbolik. Secara administratif, kalender ini menyelesaikan berbagai persoalan birokrasi negara Islam yang makin luas. Ia menjadi acuan pembayaran zakat, distribusi harta rampasan perang, dan masa tugas tentara.
Secara ritual, kalender ini menjadi penanda sah semua ibadah yang berkaitan dengan waktu: Ramadan, haji, puasa sunah, dan hari-hari raya.
Sementara secara simbolik, kalender ini menegaskan kemerdekaan budaya Islam dari sistem penanggalan Romawi maupun Persia. Kalender Hijriah menciptakan ritme spiritual yang unik, mempersatukan umat di seluruh dunia dalam siklus waktu yang sama—tanpa mengenal batas geografi.
Namun hari ini, kita menyaksikan fenomena yang ironis. Di tengah kemajuan teknologi dan komunikasi global, umat Islam masih sering berbeda dalam menentukan awal Ramadan, hari raya, dan waktu-waktu ibadah lainnya. Ketika negara A sudah berpuasa, negara B baru melihat hilal. Perbedaan ini tak hanya membingungkan umat, tetapi juga merusak semangat persatuan.
KHGT Lanjutkan Visi Kesatuan Waktu Khalifah Umar
Maka, muncul kembali gagasan penting: Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Sebuah sistem penanggalan Islam internasional yang disusun secara ilmiah, konsisten, dan disepakati bersama.
Ini bukan sekadar gagasan teknis astronomi, melainkan kelanjutan dari visi Umar bin Khattab. Yakni membangun ketertiban dan kesatuan melalui waktu.
Sebagaimana Umar dulu menyatukan sistem waktu kekhalifahan, hari ini umat Islam membutuhkan satu kalender hijriah yang menyatukan umat secara global.
KHGT dapat menghilangkan perbedaan penentuan awal bulan yang selama ini sering memicu kontroversi. Ia menjadi alat penyatuan umat, bukan sekadar penunjuk waktu. Kalender ini akan memungkinkan seluruh umat Islam berpuasa, berhaji, dan merayakan Idulfitri di hari yang sama, dimanapun mereka berada.
Inilah relevansi abadi dari warisan Umar bin Khattab. Ia bukan hanya menetapkan kalender sebagai alat birokrasi, tetapi sebagai simbol peradaban dan alat dakwah sosial. KHGT adalah bentuk adaptasi warisan itu di era modern, menunjukkan bahwa Islam mampu menjawab tantangan zaman tanpa kehilangan akarnya.
Pada akhirnya, kalender bukan sekadar soal hitungan hari. Ia adalah cermin dari cara sebuah peradaban mengatur hidup, membentuk ritme ibadah, dan membangun kesatuan. Jika Hijrah menjadi titik awal perubahan umat, maka KHGT bisa menjadi langkah baru menuju kematangan kolektif umat Islam.
Sama seperti Hijrah dimulai dengan niat, mari kita niatkan kembali untuk menyatukan waktu umat ini. Sebab menyusun kalender—dengan ilmu, iman, dan kebersamaan—adalah cara kita merawat warisan Islam dan menyambut masa depan dengan lebih teratur, adil, dan bersatu.