Suwung, Ketika Segala Ada Menjadi Tiada

Oleh:

Prof. Dr. Ahwan Fanani

Pakar Budaya dan Kajian Islam UIN Walisongo Semarang

Di tengah riuhnya hidup, sesekali kita mendapati diri dalam kepungan tanya. Hiruk pikuk kerja, tuntutan hidup, deret panjang keinginan yang tak berujung—semua merenggut perhatian, menguras tenaga. Lalu, di antara desakan itu, pernahkah terbersit, apa sebenarnya yang paling hakiki? Apa yang tersisa ketika segala yang tampak begitu penting, tak lagi memiliki arti?

Pertanyaan ini, rupanya, telah lama diselami dalam khasanah kebijaksanaan Jawa, terangkum dalam sebuah kata sederhana namun kaya makna: suwung.

Seringkali, “suwung” diartikan sebagai kosong atau sepi. Namun, ia bukan sekadar ketiadaan. Bukan pula hampa tak bermakna. “Suwung” adalah sebuah kondisi, sebuah proses, bahkan sebuah laku untuk mencapai hakikat tertinggi dari keberadaan diri. Ia adalah upaya untuk mengheningkan cipta, menyingkirkan segala “yang lain” agar hanya Yang Esa yang mendominasi.

Dalam terminologi agama, kita mengenal istilah takhalli, membersihkan diri, mengosongkan batin dari segala sesuatu selain Tuhan. Ini bukan berarti meniadakan diri, melainkan memurnikan. Ibarat wadah, kita mengosongkannya bukan untuk membiarkannya kosong, tapi agar siap diisi dengan yang paling murni, yang paling benar.

Pikiran kita, indra kita, acapkali menjadi filter yang membatasi. Ia menangkap serpihan, bukan keseluruhan. Untuk mencapai pengertian tertinggi, pikiran dan indra harus “ditiadakan” sementara.

Dulu, leluhur kita mungkin mengenalinya sebagai semedi, sebuah praktik konsentrasi mendalam. Dalam Islam, esensi semedi ini menemukan puncaknya dalam salat yang khusyuk.

Khusyuk, pada intinya, adalah penyerahan total, pengakuan akan keesaan. “La ilaha illallah,” tiada Tuhan selain Allah. “La ma’buda illallah,” tiada yang disembah selain Allah.

Suwung adalah langkah awal untuk mencapai ini: membuang “la” itu, meniadakan segala “ilah” lain yang memenuhi benak. Tanpa proses “menyuwungkan” segala berhala kecil dalam diri—ego, keinginan sesaat, keterikatan duniawi—kita tak akan pernah sampai pada hakikat sejati.

Kembali ke Titik Nol

Manusia pun demikian. Saat hidup terasa penuh beban, saat tuntutan mengimpit, kita perlu sesekali “meng-nol-kan” diri, “menyuwungkan” diri. Bukan untuk meniadakan eksistensi, melainkan untuk membersihkan pikiran, mengembalikan diri pada fitrahnya.

Ingatlah makna puasa, salah satu bentuk kesabaran. Puncaknya adalah Idulfitri, kembali kepada fitrah. Lahir kita tanpa apa-apa, telanjang dan bersih. Ketika kita “menyuwungkan” diri, kita menyadari bahwa segala yang kita miliki—kekayaan, keindahan, kehebatan—pada akhirnya akan sirna. Semua akan musnah, menyisakan hanya satu: “La ilaha illallah.”

Maka benarlah sabda Rasulullah, “Barang siapa akhir perkataannya ketika akan meninggal adalah La ilaha illallah, dia akan masuk surga, masuk keabadian.” Ini bukan sekadar ucapan di akhir hayat, melainkan cerminan dari kesiapan batin.

Kesanggupan untuk mengosongkan diri dari segala pernik duniawi, pasrah, sumeleh, dan kembali kepada Yang Esa. “Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un,” semuanya milik Allah dan akan kembali kepada-Nya.

Pada saat itulah, di titik suwung itu, kita akan sampai pada hakikat kemurnian diri, dan mampu menjangkau Sang Esa. Ilmu suwung, ilmu tua ini, adalah gerbang untuk menemukan makna sejati hidup kita.

Maka, mari sejenak merenung. Di tengah deru langkah mengejar ini dan itu, tak ada salahnya berhenti, mengheningkan cipta, dan memberi ruang pada “suwung” itu. Sebab, mungkin di sanalah, di dalam kekosongan yang bermakna, kita akan menemukan segala ada.

Editor:

Agung S. Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top