SEMARANG- Di tengah syukurnya umat Islam menyambut Tahun Baru 1447 Hijriah, ceramah Ustadz Drs. Nurbini, MSI, dalam pengajian Rabu malam di Masjid Al-Muqorrobin, Gayamsari, Semarang, Rabu (2/7/2025) menjadi pengingat tegas. Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) ini mengingatkan kembali jamaah agar menjauhi praktik kesyirikan yang kerap terjadi di bulan Muharram atau orang Jawa menyebutnya bulan Suro.
Berbagai amalan di bulan Muharram seringkali menyelisihi ajaran Rasulullah SAW. Padahal bulan ini adalah salah satu dari empat bulan haram yang agung, katanya.
“Sangat tidak pantas untuk kita menyia-nyiakan bulan yang agung ini dengan tanpa beribadah kepada Allah dengan Ibadah yang telah dituntunkan oleh Rasulullah,” tegasnya sambil mengutip firman Allah dalam Surah Al-Kahfi ayat 104 yang menyebutkan orang-orang yang sia-sia perbuatannya di dunia karena menyangka telah berbuat sebaik-baiknya.
Beberapa praktik kesyirikan yang disoroti Ustadz Nurbini mencakup tradisi Asyura Syiah dan kepercayaan Kejawen. Bagi Syiah, 10 Muharram adalah hari berkabung atas terbunuhnya Husain bin Ali bin Abi Thalib di Karbala. Mereka merayakannya dengan perbuatan tercela seperti menangis histeris, meratapi Husain, bahkan melukai diri dengan rantai besi atau pedang.
Sementara itu, tradisi Kejawen menganggap bulan Suro (Muharram) keramat dan pantang mengadakan hajatan, sebuah akulturasi dari Syiah, animisme, dinamisme, dan Arab Jahiliyah.
Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo ini juga menyebutkan praktik mengganti kelambu makam Sunan Kudus pada bulan Suro merupakan contoh yang mirip dengan kebiasaan Quraisy Jahiliyah mengganti Kiswah Ka’bah pada Asyura.
Kesyirikan lain yang sering terjadi adalah takut sial di bulan Muharram. Anggapan bahwa bulan ini membawa kesialan sehingga pernikahan atau hajatan tidak boleh dilakukan adalah syirik. Nabi Muhammad SAW bersabda, “Barangsiapa yang dihalangi oleh perasaan sial untuk melakukan hajatnya maka ia telah berbuat syirik”.
Kemudian, berharap berkah dari benda-benda yang dianggap keramat juga termasuk syirik. Ustadz Nurbini mengutip kisah saat para sahabat yang baru masuk Islam meminta Nabi Muhammad SAW untuk membuatkan “dzatu amwath” (pohon tempat menggantung senjata untuk mencari berkah) seperti yang dimiliki kaum musyrikin. Nabi SAW bersabda, “Perkataan kalian sama dengan perkataan kaumnya Musa kepada beliau: ‘Buatkanlah untuk kami sesembahan sebagaimana sesembahan-sesembahan mereka’ … kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan-kebiasaan kaum sebelum kalian”.
Terakhir, upacara sesajen yang merupakan praktik sarat kesyirikan. Ini melibatkan keyakinan pada setan yang dapat memberi keamanan atau melindungi dari bahaya, mendekatkan diri pada setan dengan persembahan, menyembelih untuk selain Allah, berharap dan bertawakal pada setan, serta takut pada setan karena meyakini mereka dapat menimpakan bahaya tanpa izin Allah.
Ustadz Nurbini menegaskan, “Pada dasarnya di dalam Islam, Asyura tidak diisi dengan kesedihan dan penyiksaan diri, tidak diisi dengan pesta dan berhias diri dan juga tidak diisi dengan ritual di tempat-tempat keramat atau yang dianggap suci untuk tolak bala.”
Bulan Muharram atau Suro bukan bulan yang membawa sial. Tetapi salah satu bulan haram, yang dimuliakan”. Karenanya, ia mengajak umat untuk mengisi Muharram dengan ketaatan murni, menjauhi segala bentuk syirik, dan mendekatkan diri pada keridaan Ilahi, demi meraih keberkahan sejati.