Ketua LBH Muhammadiyah Semarang: Kebebasan Menyampaikan Pendapat Adalah Hak yang Fundamental

SEMARANG – Perlindungan hukum terhadap hak kebebasan menyampaikan pendapat, khususnya dalam konteks demonstrasi, menjadi isu krusial yang diangkat dalam Seminar Retrovokasi yang diselenggarakan oleh BEM FEB Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) pada Sabtu (4/7/2025). Seminar ini menjadi sangat relevan di tengah mencuatnya kasus penahanan sejumlah mahasiswa dalam beberapa kali kesempatan demo terakhir, termasuk di Semarang.

Kasus yang membuat para mahasiswa berstatus sebagai tersangka ini, memunculkan urgensi perlindungan hukum bagi aktivis, sebuah topik yang menjadi fokus utama paparan Ketua LBH Muhammadiyah Kota Semarang, Dr. Aris Septiono, S.H., M.H., LL.M, salah satu narasumber seminar tersebut.

Selain Dr Aris, tampil pula sebagai narasumber seminar Dekan FISIP Undip Dr. Teguh Yuwono, M.Pol. Admin, anggota DPRD Jateng Dipa Yustisia Pasa, S.H., M.Kn dan Satbinmas Polrestabes Semarang Iptu R Bina Ciptayanto, S.H. Sementara Wakil Wali Kota Semarang Ir. H. Iswar Aminuddin, M.T memberikan keynote speech seminar dengan Wakil Dekan FEB Unimus Dr. AM. Jumai sebagai moderator.

Dalam paparannya, Dr. Aris Septiono menyoroti landasan hukum kebebasan berpendapat di Indonesia serta hak dan kewajiban yang melekat pada pelaksanaannya.

Ia menekankan bahwa hak kebebasan menyampaikan pendapat adalah hak yang fundamental dan dijamin oleh konstitusi. “Konstitusi menjamin hak untuk menyatakan gagasan, pendapat, dan ekspresi, yang merupakan hak yang dijamin oleh Konstitusi,” ujarnya.

Landasan hukum ini tertuang jelas dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 Pasal 28E ayat (3) yang menyatakan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat”.

Lebih lanjut, Dr. Aris juga merujuk pada Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Pasal 23 ayat (2) UU tersebut menegaskan bahwa “Setiap orang bebas untuk mempunyai, mengeluarkan dan menyebarluaskan pendapat sesuai hati nuraninya, secara lisan dan atau tulisan melalui media cetak meupun elektronik dengan memperhatikan nilai-nilai agama, kesusilaan, ketertiban, kepentingan umum, dan keutuhan bangsa”. Selain itu, Pasal 25 menjamin “Setiap orang berhak untuk menyampaikan pendapat di muka umum, termasuk hak untuk mogok sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan”.

Namun, Dr. Aris Septiono juga mengingatkan bahwa kebebasan ini tidaklah tanpa batas. Ia menegaskan bahwa “Hak ini berlaku bagi semua orang dan harus dilaksanakan secara bertanggung jawab sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku”.

“Untuk menjaga ketertiban, menghormati hak orang lain, dan melindungi keamanan dan kepentingan masyarakat, dilakukan pembatasan kebebasan berekspresi,” jelasnya.

Ini sejalan dengan prinsip bahwa “Kebebasan berpendapat disertai dengan kewajiban dan pembatasan untuk mencegah kerugian terhadap orang lain atau pelanggaran hukum”.

Kewajiban Pemberitahuan dan Jenis Demo yang Dilarang

Dalam konteks penyampaian pendapat di muka umum, Dr. Aris Septiono menggarisbawahi kewajiban untuk menyampaikan pemberitahuan tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”). Menurut UU No. 9 Tahun 1998, Pasal 10, pemberitahuan ini “wajib diberitahukan secara tertulis kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia (“Polri”) yang disampaikan oleh yang bersangkutan, pemimpin, atau penanggung jawab kelompok selambat-lambatnya 3 x 24 jam sebelum kegiatan dimulai telah diterima oleh Polri setempat”.

Surat pemberitahuan tersebut harus memuat “maksud dan tujuan; tempat, lokasi, dan rute; waktu dan lama; bentuk; penanggung jawab; nama dan alamat organisasi, kelompok atau perorangan; alat peraga yang dipergunakan; dan/atau jumlah peserta”. Pengecualian pemberitahuan tertulis ini berlaku “bagi kegiatan ilmiah di dalam kampus dan kegiatan keagamaan”.

Dr. Aris juga menyoroti jenis-jenis demonstrasi yang dilarang berdasarkan Perkapolri 7/2012. Ia menyebutkan “Demo yang Menyatakan Permusuhan, Kebencian atau Penghinaan”; “Demo di Lingkungan Istana Kepresidenan”; “Demo di Luar Waktu yang Ditentukan”; “Demo Tanpa Pemberitahuan Tertulis Kepada Polri”; dan “Demo yang Melibatkan Benda-Benda yang Membahayakan” sebagai hal-hal yang tidak diperbolehkan.

Advokasi dan Perlindungan Hukum Terhadap Kriminalisasi

Materi Dr. Aris Septiono menjadi sangat relevan dengan mencuatnya kasus penahanan mahasiswa Semarang yang merupakan buntut dari aksi demonstrasi saat Hari Buruh (May Day) bulan lalu. Ia memaparkan bahwa “Setiap orang yang ditangkap, ditahan, dan dituntut karena disangka melakukan sesuatu tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah, sampai dibuktikan kesalahannya secara sah dalam suatu sidang pengadilan dan diberikan segala jaminan hukum yang diperlukan untuk pembelaannya, sesuai dengan ketentuan perundang-undangan”.

Selain itu, “Setiap orang yang diperiksa berhak mendapatkan bantuan hukum sejak saat penyidikan sampai adanya putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap”. Ini menjadi poin penting bagi mahasiswa yang menghadapi proses hukum.

Menyikapi fenomena kriminalisasi dan kekerasan kepolisian terhadap aktivis, Dr. Aris Septiono mengutip laporan Kontras yang mencatat “sekitar 136 kekerasan yang dilakukan oleh aparat” dalam 100 hari pemerintahan Prabowo Gibran. Ia juga merujuk data Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) yang mencatat “154 kasus kriminalisasi yang dilakukan oleh polisi” terhadap petani, mahasiswa, buruh, akademisi, dan jurnalis antara tahun 2019-2025.

Dr. Aris membeberkan beberapa pola kriminalisasi yang kerap terjadi, meliputi “Praktik kekerasan dan penyiksaan, baik secara fisik maupun psikis”; “Penggunaan kekuatan yang berlebihan dan tidak proporsional oleh polisi”; “Penghalang-halangan akses bantuan hukum”; “Pelaksanaan tes urine secara ilegal”; serta “Kampanye negatif: pelabelan penyusup, anarko, dan perusuh”.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 50/PUU-VI/2008 yang “Menegaskan bahwa kritik terhadap kebijakan publik tidak boleh dikategorikan sebagai pencemaran nama baik” juga menjadi sorotan penting dalam diskusi ini. Hal ini memberikan dasar kuat bagi advokasi perlindungan hukum bagi mereka yang menyuarakan kritik terhadap pemerintah.

Dengan paparan ini, Dr. Aris Septiono tidak hanya menjelaskan kerangka hukum perlindungan kebebasan berpendapat, tetapi juga menyoroti tantangan-tantangan yang dihadapi oleh para demonstran di Indonesia, khususnya dalam konteks kasus-kasus yang sedang berjalan.

Seminar ini diharapkan dapat meningkatkan pemahaman masyarakat, terutama mahasiswa, mengenai hak dan kewajiban mereka dalam menyampaikan pendapat secara bertanggung jawab dan dalam koridor hukum.

Editor: Agung S Bakti

Kontributor:

Editor:

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top