Bangun “Jembatan” di Atas Perbedaan Iman: Kisah Tokoh Moderat Muhammadiyah

SEMARANG, muhammadiyahsemarangkota.orgPagi hari di Kampus Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus) biasanya dipenuhi gemerisik halaman buku, aroma kertas, dan diskusi serius tentang pasar. Dr. H. AM Jumai, SE, MM., Wakil Dekan di sana, adalah sosok yang mengerti struktur dan sistem. Namun, struktur yang paling penting baginya berada di luar kampus: struktur hati yang menjaga Semarang tetap utuh.

Sore harinya, saat kebanyakan orang mencari ketenangan, Jumai sebelumnya sering duduk di meja Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB), atau saat ini memimpin rapat Forum Komunikasi Ormas Semarang Bersatu (FKSB). Di sana, ia tidak lagi berbicara tentang kurva permintaan, melainkan tentang bahasa rasa.

Sebagai Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang yang menaungi Lembaga Dakwah Komunitas (LDK) dan juga Ketua LDK Pimpinan Wilayah Muhammadiyah (PWM) Jawa Tengah, ia membawa filosofi dakwah yang sederhana: kehangatan adalah bahasa universal.

Kehadirannya yang tenang, di tengah keragaman suara yang terkadang bersitegang, menjadi bukti paling nyata bahwa seorang tokoh Muhammadiyah dapat menjadi air yang meredakan, bukan api yang membakar.

Mengartikulasikan Welas Asih dan Kepercayaan

Prinsip yang dipegang teguh oleh Jumai adalah ‘Teologi Welas Asih’, sebuah konsep yang berakar dari ajaran KH Ahmad Dahlan. Ia melihat kasih sayang dan kepedulian sosial sebagai inti, yang ia terjemahkan menjadi aksi nyata di lapangan. Ia memilih jalur dakwah kultural; sebuah pilihan yang ia yakini dapat menjangkau hati tanpa memaksa.

“Dakwah itu soal hati. Kalau hati lembut, kata-kata pun menjadi rahmat,” kata pria kelahiran asli Semarang dengan senyum khasnya yang bersahaja.

Filosofi ini menjelaskan pendekatannya yang luwes, yang menjadikannya figur yang diterima di forum-forum lintas agama seperti WHDI, GAMKI, PIKI, MUKI, dan Matakin. Ia melihat kerukunan tidak datang dari keseragaman, melainkan dari kemauan untuk saling mendengar dan membangun fondasi yang lebih dalam.

“Dialog itu bukan sekadar bicara, tapi tentang membangun kepercayaan,” ujarnya dalam satu kesempatan, menekankan bahwa di atas meja FKUB, yang dibangun adalah jembatan emosional, bukan sekadar kesepakatan prosedural.

Perekat di Tengah Isu Sensitif

Kiprah Jumai di FKUB (periode 2020-2025) adalah panggung di mana teori kerukunan diuji. Ketika muncul isu-isu keagamaan yang berpotensi memicu perpecahan, pendekatan Jumai selalu konsisten: merangkul semua pihak untuk duduk bersama. Ia tidak terprovokasi oleh gejolak luar, memilih langkah tenang dan tutur lembut.

Ia sering menyampaikan pandangan konseptual tentang pentingnya toleransi aktif, yakni tidak hanya hidup berdampingan, tetapi juga bekerja sama untuk kemaslahatan bersama. Pandangannya ini memperkuat keyakinannya bahwa keberagaman di Kota Semarang adalah anugerah yang harus dija

Anggota tim pendiri FKUB Generasi Muda Jawa Tengah ini selalu mengingatkan bahwa ukhuwah wathaniyah, persaudaraan kebangsaan, adalah fondasi yang tak boleh retak, meski ada perbedaan keyakinan. Prinsip ini memastikan setiap persoalan yang ditangani oleh FKUB dapat diselesaikan dengan damai dan tanpa gejolak.

Jejak Sunyi di Kota Metropolis

Di FKSB, yang dipimpinnya sebagai perhimpunan ormas se-Kota Semarang, peran Jumai adalah mengarahkan energi kolektif yang beragam itu untuk program-program kemajuan kota. Ia gerakan potensi ormas untuk aktif membangun kota dan menampilkannya dalam ormas expo dan ormas award di kota atlas ini.

Ia membuktikan bahwa mencintai Indonesia adalah bagian dari keimanan, dan menjaga kerukunan berarti juga menjaga keutuhan bangsa.

Rekan-rekannya di FKUB menilai sosok Jumai mudah didekati dan tulus mendengarkan. Ia tidak menggurui, tapi mengayomi. Setiap kalimat yang keluar dari lisannya seakan mengandung pesan kebaikan dan ketulusan.

Dr. H. AM Jumai, SE, MM., bukan hanya seorang akademisi yang ahli dalam struktur bisnis, ia adalah seorang arsitek sosial yang memahami struktur hati. Ia adalah penjaga kesejukan hati, perekat kerukunan, dan peneguh kebangsaan. Di Semarang, kehadiran mantan tenaga ahli Wali Kota itu adalah bukti yang paling nyata bahwa toleransi dan cinta kasih adalah inti dari segala perbedaan.

Kontributor:

Tim MPI MPD

Editor:

Agung S Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top