Mencari Denyut Nadi yang Hilang di Rumah Tuhan

NGALIYAN, muhammadiyahsemarangkota.org- Hangat mentari Jumat pagi kemarin baru saja menembus rimbunnya dedaunan mangga dan kelengkeng di teras asri itu. Di sebuah komplek perumahan di kawasan barat Kota Semarang, Dr. Fachrur Rozi, M. Ag., atau yang akrab disapa Yai Rozi, duduk santai.

Namun, di balik suasananya yang teduh, Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang ini melontarkan sebuah kegelisahan mendasar.

“Kita lihat di masjid, terutama beberapa tempat ya, itu masjid yang orang dengar adzan datang. Selesai sholat lalu pulang,” ujarnya dengan nada reflektif.

Interaksi sosial itu, kata dia, menjadi barang langka. Sebuah pertanyaan sederhana namun krusial, nyaris tak pernah terdengar lagi di serambi. “Akibatnya ya hampir tidak ada pertanyaan, misalnya jamaah ini tidak hadir, kenapa? Beberapa kali tidak hadir, kenapa?”

Bagi Yai Rozi, hilangnya kehangatan sosial itu adalah sebuah gejala. Gejala bahwa fungsi masjid telah “tergerus” hebat, menyempit menjadi sebatas tempat imam, tempat salat, dan tempat wudu. Padahal, menurutnya, penyempitan fungsi ini bukanlah hal alami, melainkan sebuah desain sejarah.

“Seiring kalau kita sejenak melihat sejarah, itu kan memang dalam tanda petik ya, ‘pekerjaan’ penjajah yang menjadikan masjid hanya untuk salat saja,” ungkapnya.

Dari Sekadar Tempat Sujud Menuju Pusat Hidup

Kini, Muhammadiyah Kota Semarang berikhtiar mengembalikan ‘jiwa’ yang hilang itu. Upaya ini bukan sekadar renovasi fisik, melainkan revitalisasi fungsi untuk mengembalikan masjid sebagai pusat peradaban, persis seperti fungsinya di zaman Rasulullah atau dalam tata ruang kerajaan Jawa masa lampau.

Yai Rozi, yang juga dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo, memaparkan konsep ideal itu. Di keraton-keraton Jawa, tata ruangnya sudah jelas: alun-alun di tengah sebagai pusat interaksi sosial, masjid di sebelah barat (ibadah), pasar di timur (ekonomi), pusat pemerintahan di selatan (politik), dan penjara di utara (keamanan).

“Artinya itu menyatu. Ibadah, sosial, ekonomi, politik, keamanan itu menjadi satu kesatuan,” jelasnya.

Namun, di tengah himpitan lahan kota modern, membangun komplek seluas itu nyaris mustahil. Solusinya? “Peran-peran itu bisa disatukan dalam satu lokasi,” yakni di dalam komplek masjid itu sendiri.

Filosofi “Haji Sabar”: Makmur dan Memakmurkan

Di sinilah Muhammadiyah mengusung dua slogan utama. Pertama, “Masjid Makmur dan Memakmurkan.”
“Makmur,” jelas Yai Rozi, berarti masjid dipercaya masyarakat, finansialnya sehat, dan kegiatan ibadahnya berjalan baik.

Tapi itu belum cukup. Masjid juga harus “Memakmurkan,” artinya memberikan feedback langsung kepada jamaah.

Ia memberi contoh sebuah akronim jenaka yang populer di kalangan warga sekitar tempat tinggalnya: “Haji Sabar”—Habis Ngaji Sarapan Bareng.

“Itu sebenarnya bukan hanya soal makannya,” katanya, “tapi lebih kemudian ada interaksi sosial.”

Sembari sarapan di serambi, jamaah bisa saling bertanya kabar, berdiskusi, dan mempererat ikatan. Tak jarang, kegiatan “memakmurkan” ini berkembang.

Apapun Masalahnya, Masjid Solusinya

“Bisa aja misalnya sebulan sekali dengan mengadakan pemeriksaan gratis, apakah itu gula darah atau kolesterol atau asam urat.”

Visi kedua, yang menjadi puncak dari pemberdayaan, adalah “Apapun Masalahnya, Masjid Solusinya”.
Yai Rozi sadar, ini slogan besar yang masih terus diikhtiarkan. Namun, bibitnya mulai tumbuh.

Ia membayangkan masjid menjadi solusi bagi siapa saja. Bagi musafir atau pengemudi ojek online yang kelelahan, misalnya. Alih-alih memasang plang “Dilarang Tidur di Masjid” , masjid justru harus menyediakan sarana tempat mereka istirahat sejenak.

Bagi mahasiswa yang pusing mengerjakan tugas di kafe mahal, masjid menyediakan space dengan WiFi gratis.

Bagi warga yang sakit, masjid (bekerja sama dengan Lazismu) menyediakan ambulans untuk kontrol ke rumah sakit, dll.

Bagi keluarga yang goyah, masjid menyediakan layanan konsultasi keluarga sakinah.

Bahkan saat bencana banjir melanda, seperti di Genuk, masjid hadir sebagai pusat solusi dan logistik.

Upaya ini bukan sekadar teori. Di Masjid At-Taqwa Ngaliyan, Wates, salah satu masjid yang dikelola langsung PDM, denyut itu mulai terasa.

Meski baru berumur setahun, masjid ini tak pernah sepi. Roda pemberdayaan berputar lewat ruang UMKM untuk jamaah, kegiatan pemberdayaan pemuda sekitar masjid, pelayanan kesehatan dan bakti sosial, hingga program unik seperti pesantren lansia.

Hal serupa menggeliat di banyak titik. Seperti masjid di Banyumanik yang berbagi sayuran dan cek kesehatan, hingga kajian Ahad pagi plus sarapan di Mijen dan Pedurungan.

Yai Rozi mengakui, tantangan terbesar mengubah masjid adalah mengubah mindset para pengurus atau takmirnya. Untuk itulah, PDM melalui Lembaga Pengembangan Masjid Mushola (LPMM) terus memberikan edukasi dan pelatihan.

Baginya, era takmir masjid yang tugasnya hanya “bicara tentang jadwal khutbah Jumat” sudah harus berakhir.

Di bawah langit Semarang yang mulai meninggi, Yai Rozi menutup perbincangan dengan sebuah visi sederhana namun kuat. “Sehingga masjid bukan lagi hanya sekedar tempat salat, tapi jadi pusat peradaban,” pungkasnya

Kontributor:

Tim MPI PDM Kota Semarang

Editor:

Agung S Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top