Bayi Tabung dan Aborsi dalam Bingkai Suci: Fikih Menjawab Tantangan Zaman

Oleh:

Redaksi

Saat ini teknologi telah menempatkan kita pada posisi yang tak pernah dibayangkan oleh ulama terdahulu. Pertanyaan-pertanyaan tentang bayi tabung, batas aborsi, hingga etika pendidikan seksual kini bukan lagi fiksi, melainkan realitas yang menuntut jawaban fikih yang tegas, namun lentur.

Bagaimana Islam, sebagai dien yang sempurna, merespons kerumitan reproduksi modern tanpa kehilangan martabat dan kesuciannya? Jawabannya telah dirumuskan secara mendalam oleh Majelis Tarjih dan Tajdid Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah.

Perlu dicatat, bahwa seluruh pandangan dan rujukan dalam artikel ini disarikan secara bebas dari Tanfidz Musyawarah Wilayah Tarjih II & III Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Jawa Tengah Tahun 2025, khususnya yang membahas mengenai Fikih Kesehatan Reproduksi.

Inilah tugas Fikih Kesehatan Reproduksi: menuntun kemajuan agar tetap berada dalam koridor Kesucian dan Martabat Kemanusiaan.

Majelis Tarjih menegaskan bahwa setiap persoalan baru, serumit apapun itu, harus diukur dengan timbangan yang adil. Pengukuran ini tidak hanya berdasarkan Al-Qur’an dan As-Sunnah semata, tetapi juga wajib mempertimbangkan manfaat dan mudaratnya, serta selalu menjaga nilai kehormatan manusia.

Pendekatan inilah yang membawa kita pada fondasi spiritual yang tak tergoyahkan: Maqashid al-Syari’ah (Tujuan Luhur Syariat Islam).

Dalam konteks reproduksi modern, fikih menancapkan tonggak yang kukuh, bersandar pada tiga pilar agung. Inilah yang menjadi penentu setiap langkah, memastikan kita tidak tersesat di tengah badai kemajuan.

  1. Hifz al-Nafs (Menjaga Nafas Kehidupan)

Pilar pertama adalah perintah sakral untuk melindungi setiap jiwa, mulai dari cikal bakalnya. Reproduksi adalah proses melahirkan khalifah di muka bumi. Oleh karena itu, ketika ilmu medis berhadapan dengan janin yang mulai berdetak, fikih berdiri sebagai penjaga gerbang.

Allah berfirman: “Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya), melainkan dengan suatu alasan yang benar.” (QS. Al-Isra’: 33).

Ayat ini adalah peringatan ilahiah; menjaga kehidupan, bahkan sebelum ia sempurna, adalah ibadah tertinggi.
Fikih dengan gigih berdiri di garda terdepan untuk membela hak hidup janin.

Hanya kondisi darurat medis yang sah dan terverifikasi, seperti ancaman nyata terhadap jiwa ibu, yang dapat menjadi pengecualian. Di luar itu, membunuh adalah menutup pintu karunia Allah.

  1. Hifz al-Nasl (Menjaga Kesucian Keturunan)

Keturunan (Nasl) adalah jaminan keberlangsungan dakwah dan peradaban Islam. Pilar ini menuntut fikih memastikan integritas biologis dan spiritual keluarga. Ketika teknologi menawarkan cara baru memiliki anak—seperti Bayi Tabung—Fikih memastikan satu hal: kesucian nasab tidak boleh ternodai.

Hubungan suami-istri yang dilandasi mawaddah wa rahmah harus menjadi satu-satunya sumber reproduksi. Ini berarti, penggunaan sperma, ovum, atau rahim dari pihak ketiga—di luar pasangan suami-istri yang sah—mutlak dilarang.

Ilmu boleh maju, tetapi nasab harus tetap murni dalam bingkai pernikahan. Inilah bentuk tanggung jawab moral yang melampaui urusan medis semata; ini adalah upaya spiritual untuk mempertahankan garis keturunan yang bersih, yang kelak akan menjadi generasi penerus tauhid.

  1. Hifzs al-‘Ird (Menjaga Martabat dan Kehormatan Diri

Pilar ketiga ini menuntut kita membangun perisai kehormatan sejak dini, yang berujung pada perlindungan diri dan masyarakat. Inilah mengapa Majelis Tarjih menekankan pentingnya keluarga sebagai tempat belajar pertama dalam pendidikan reproduksi.

Anak-anak kita tidak boleh mencari pengetahuan dari sumber yang kotor atau terlarang. Pendidikan ini wajib disampaikan dengan lembut, ilmiah, dan sesuai usia, agar mereka tumbuh menjadi generasi yang tahu batas, menghargai diri, dan mampu menjaga kehormatan.

Menjaga martabat diri adalah menjaga iman. Dengan cara ini, Fikih membimbing agar setiap kemajuan ilmu pengetahuan diarahkan untuk memuliakan manusia, bukan merendahkannya.

Pada akhirnya, Fikih Kesehatan Reproduksi yang dirumuskan Muhammadiyah ini bukanlah sekadar sekumpulan aturan medis, melainkan sebuah jalan tengah yang mencerahkan.

Ia adalah kesadaran spiritual bahwa kita, sebagai khalifah Allah, wajib menjaga setiap aspek kehidupan—termasuk reproduksi—agar tetap suci, adil, dan bermartabat, demi meraih ridha dan karunia-Nya.

Editor:

Rizqi Aulia

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top