Kota Semarang, ibukota Jawa Tengah, adalah cerminan Indonesia mini: plural, dinamis, dan penuh warna. Di sinilah tantangan sekaligus peluang dakwah Islam hadir, bukan sebagai ajakan dominasi, melainkan upaya menebar kasih sayang dan kebaikan. Dakwah bukan sekadar ceramah di mimbar, tapi gerakan nyata yang membumikan nilai-nilai Islam dalam kehidupan sehari-hari, khususnya di tengah komunitas minoritas.
Lantas, bagaimana caranya agar dakwah bisa merangkul, bukan memukul?
Dakwah itu ibarat seni berkomunikasi. Al-Qur’an sendiri menyuruh kita berdakwah dengan hikmah dan nasihat yang baik, bahkan berdebat pun harus dengan cara yang paling santun. Apa artinya?
Dakwah harus disampaikan dengan cerdas, bukan kasar. Di Semarang, kota yang dihuni berbagai suku, agama, dan budaya, pendekatan ini sangat relevan untuk memperkuat persaudaraan.
Para ahli juga sepakat, dakwah itu lebih dari sekadar urusan agama. Ia adalah upaya membangun sistem sosial yang adil dan bermartabat. Bayangkan, Islam hadir sebagai solusi untuk persoalan kota, bukan malah memicu konflik.
Tantangan Dakwah di Tengah Hiruk Pikuk Kota
Berdakwah di kota besar seperti Semarang punya tantangan tersendiri. Apa saja?
Hidup Serba Cepat, Agama Terpinggirkan: Modernisasi dan kehidupan urban seringkali membuat orang cenderung lebih individualis dan kurang peduli dengan identitas keagamaan. Da’i perlu memahami “bahasa” kota agar pesannya sampai.
Minimnya Da’i yang Peka: Tidak semua da’i paham betul bagaimana berinteraksi dengan masyarakat lintas iman atau komunitas minoritas. Butuh da’i yang punya “kecerdasan sosial” tinggi.
Politik Identitas Merusak Persaudaraan: Fenomena polarisasi sosial akibat politik identitas bisa merusak kerukunan. Ini jelas mempersempit ruang dakwah yang damai.
Meski tantangannya besar, selalu ada harapan dan solusi. Dakwah harus jadi lentera, bukan api yang membakar.
Dakwah itu Rahmat untuk Semua: Ingatlah firman Allah, Nabi Muhammad diutus untuk jadi rahmat bagi seluruh alam. Artinya, dakwah tidak boleh diskriminatif. Ia harus membangun solidaritas kemanusiaan tanpa memandang sekat suku atau agama.
Berkolaborasi, Bukan Berseteru: Di Semarang, ada contoh bagus seperti peran Muhammadiyah dalam Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB). Ini menunjukkan bahwa dakwah bisa berjalan efektif melalui kolaborasi dan kepedulian terhadap kerukunan antaragama.
Dakwah Lewat Kesejahteraan Sosial: Dakwah zaman sekarang tidak cukup hanya bicara soal surga dan neraka. Penting juga untuk terlibat dalam pemberdayaan masyarakat di bidang pendidikan, kesehatan, atau ekonomi. Ketika kebutuhan dasar terpenuhi, dakwah akan lebih mudah diterima.
Semarang: Lentera Peradaban yang Tak Pernah Padam
Untuk menghadapi kompleksitas masyarakat urban dan plural, seorang da’i perlu punya bekal khusus:
Berintegritas: Jujur, sabar, dan konsisten dalam berbuat baik. Kata-kata harus sejalan dengan perbuatan.
Berilmu dan Paham Masyarakat: Mampu menjawab tantangan zaman dengan argumen ilmiah sekaligus spiritual. Da’i harus “melek” isu sosial.
Terbuka: Bersikap inklusif tanpa mengorbankan prinsip Islam. Ini penting agar bisa diterima di berbagai kalangan.
Bahasa yang Relevan: Menyesuaikan cara bicara dan narasi dengan siapa diajak bicara. Dakwah untuk anak muda tentu beda dengan dakwah untuk orang tua.
Hindari Perdebatan Simbolik: Fokus pada esensi dakwah, bukan sekadar simbol atau penampilan luar.
Membangun peradaban dakwah di komunitas minoritas seperti di Semarang memang tidak mudah, tapi bukan berarti mustahil. Dakwah harus menjadi lentera yang menerangi, bukan api yang membakar.
Ia harus menjadi kekuatan inspiratif dalam kehidupan sosial masyarakat. Dengan mengedepankan kasih sayang, inklusi, dan kolaborasi, peradaban Islam akan terus tumbuh dan mewarnai kebhinekaan.
Mari kita jadikan Semarang sebagai model, bahwa perbedaan itu indah, dan dakwah adalah jembatan yang menghubungkan hati, bukan tembok yang memisahkan. Bukankah hidup damai dalam harmoni itu dambaan kita semua?


