Ketika memanjatkan permohonan kepada Sang Pencipta, seringkali kita berzikir dengan menyebut seluruh Asmaul Husna yang berjumlah 99, melantunkannya sebelum berdoa.
Namun, tahukah Anda bahwa etika terbaik dalam memohon kepada Allah sejatinya adalah dengan menyeru nama-Nya yang paling sesuai (relevan) dengan isi permohonan tersebut? Inilah kunci efektivitas dan rasionalitas dalam berdoa.
Memohon Sesuai Nama-Nya
Karena Allah memiliki banyak nama, maka sebelum memohon sesuatu, hendaklah menyeru Asma Allah yang relevan dengan isi permohonannya.
Contohnya, jika memohon rezeki, seruannya adalah yâ Allâh yâ Razzâq. Memohon keberhasilan dalam studi, seruannya yâ Allâh yâ ‘alîm.
Jika memohon kekuatan, seruannya yâ Allâh yâ Qawiyyu yâ Matîn. Memohon ampunan, seruannya yâ Allâh yâ Ghaffâr.
Sementara itu, untuk memohon kesembuhan, seruannya adalah yâ Allâh yâ Syâfîî, dan seterusnya.
Dasar Hukum Etika Permohonan
Etika permohonan ini mengacu pada ayat Al-Qur’an berikut:
وَلِلّٰهِ الۡاَسۡمَآءُ الۡحُسۡنٰى فَادۡعُوۡهُ بِهَا ۖ وَذَرُوا الَّذِيۡنَ يُلۡحِدُوۡنَ فِىۡۤ اَسۡمَآٮٮِٕهٖ ؕ سَيۡجۡزَوۡنَ مَا كَانُوۡا يَعۡمَلُوۡنَ
Artinya: Dan Allah memiliki Asma’ul-Husna (nama-nama yang terbaik), maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebutnya Asma’ul-Husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyalahartikan nama-nama-Nya. Mereka kelak akan mendapat balasan terhadap apa yang telah mereka kerjakan (QS al-A’raf: 180).
Bisa juga seseorang menyeru yâ Allâh atau yâ Raḩmân yang kemudian ditambah dengan seruan nama Allah yang relevan dengan isi permohonannya.
Misalnya, memohon keselamatan, lafalnya: yâ Allâh, yâ Raḩmân, yâ Salâm, sallimni.
Untuk memohon agar menjadi kaya melalui bisnis, lafalnya: yâ Allâh, yâ Raḩmân, yâ Ghaniyyu, yâ Wahhâb, yâ Razzâq urzuqnî rizqan wâsi’an (Ya Allah, Wahai Yang Maha Rahman, wahai Yang Maha Kaya, wahai Yang Maha Pemberi, wahai Pemberi Rezeki, berilah rezeki aku yang luas).
Dasar pernyataan ini mengacu pada ayat berikut:
قُلِ ٱدْعُوا۟ ٱللَّهَ أَوِ ٱدْعُوا۟ ٱلرَّحْمَٰنَ ۖ أَيًّا مَّا تَدْعُووا۟ فَلَهُ ٱلْأَسْمَآءُ ٱلْحُسْنَىٰ ۚ وَلَا تَجْهَرْ بِصَلَاتِكَ وَلَا تُخَافِتْ بِهَا وَٱبْتَغِ بَيْنَ ذَٰلِكَ سَبِيلًا
Artinya: Katakanlah: Serulah Allah atau serulah Ar-Rahman. Dengan nama yang mana saja kamu seru, Dia mempunyai al asmaaul husna (nama-nama yang terbaik) dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam salatmu dan janganlah pula merendahkannya dan carilah jalan tengah di antara kedua itu (QS al-Isra: 110).
Disfungsi dalam Ritual 99 Nama
Pemahaman model ini terasa lebih rasional dan fungsional dibandingkan ritual pembacaan seluruh Asmaul Husna yang berjumlah 99 dan dilagukan baru kemudian berdoa.
Mengapa? Di antara 99 nama Allah itu terdapat nama-nama seperti: al-Muẕillu (Yang Menghinakan), al-Mumît (Yang Mematikan), al-Mutakabbir (Yang Maha Sombong), al-Qâbiḍ (Yang Menyempitkan), dan al-Mâni’ (Yang Mencegah).
Sebagai ilustrasi, akan terjadi disfungsi antara isi permohonan dan seruan nama Allah jika seluruh Asmaul Husna disebutkan.
Umpama, saat memohon keluasan rezeki, dalam seruan itu pasti ada yâ Allâh yâ Qâbiḍ (Wahai Yang Menyempitkan).
Saat memohon kesehatan, seruannya pasti ada yâ Mumît (Wahai Yang Mematikan).
Saat memohon ketinggian derajat, seruannya pasti ada yâ Muzillu (Wahai Yang Menghinakan).
Saat memohon keberhasilan suatu usaha, seruannya pasti ada yâ Allâh yâ Mâni’ (Wahai Yang Mencegah). Nama-nama ini pasti disebut karena dalam berdoa didahului ritual Asmaul Husnaan.
Memahami Makna Kata Aḩṣâhâ
Proporsionalisasi tentang Asmaul Husna yang 99 berdasar teks hadisnya sebagai berikut:
إِنَّ لِلَّهِ تِسْعَةً وَتِسْعِينَ اسْمًا، مِائَةً إِلا وَاحِدَةً، مَنْ أَحْصَاهَا دَخَلَ الْجَنَّةَ
(Sesungguhnya Allah mempunyai sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, barangsiapa yang menghafalkannya, maka ia akan masuk surga (HR Bukhari: 6843, Muslim: 4836, Turmuzi: 3428, 3429, 3430, Ibnu Majah: 2612, 3850, 3851, Ahmad: 7189, 7304, 10076, 10128, 10268, Ibnu Hibban: 807, 808 (perbedaan lafal tetapi semakna), Hakim: 41, 42, 2531).
Lafal lain sedikit berbeda, yaitu lafal aḩṣâhâ yang sinonim dengan hafiẕaha dalam teks berikut:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رِوَايَةً قَالَ لِلَّهِ تِسْعَةٌ وَتِسْعُوْنَ اِسْمًا مِائَةٌ إِلَّا وَاحِدًا لَا يَحْفَظَهَا أَحَدُ إِلَّا دَخَلَ الْجَنَّةَ
(Dari Abu Hurairah secara periwayatan, dia berkata: Allah memiliki sembilan puluh sembilan nama, seratus kurang satu, tidaklah seseorang menghafalnya melainkan ia akan masuk surga, (HR Bukhari: 5931).
Pemahaman umum dari kedua hadis ini adalah menghafal Asmaul Husna. Kata “hafal” merupakan serapan dari ḩafazha.
Ketika di-waqaf-kan, ia menjadi ḩafazh. Ketika lidah Jawa mengucapkan bahasa aslinya, sulit menjadi hafal, lebih sulit lagi menjadi apal.
Selanjutnya, ke-99 nama tersebut dihafalkan dan menjadi ritual Asmaul Husnaan. Pemahaman inilah yang sering dianggap salah kaprah.
Esensi: Menghitung, Menjaga, dan Menghayati
Secara literal, kata aḩṣâhâ berarti mencegah atau menghitung.
Selanjutnya, kata ḩafazha berasal dari kata ḩafazha, yang artinya menjaga jangan sampai rusak (Kamus Munjid).
Dari arti dua kata ini, bisa diilustrasikan kinerja seorang petugas keamanan (security). Dia harus mengetahui secara terperinci, satu per satu, apa saja yang menjadi tanggung jawabnya.
Semua tanggungannya harus aman, tidak ada yang hilang, dan tidak ada yang merusaknya.
Jadi, dengan mengambil pola pikir analogi aḩṣâhâ atau ḩafazha tentang Asmaul Husna, sebenarnya bukan hanya menghafal luar kepala tanpa membaca huruf.
Melainkan, lebih dari itu, yaitu penghayatan mendalam tentang satu demi satu makna hakiki Asmaul Husna, selanjutnya diinternalisasi hingga menjadi karakter bagi dirinya.
Internalitas Asmaul Husna dalam Kehidupan
Menghayati Allah sebagai al-Mumît, secara praktis manusia tidak boleh bunuh diri apa pun berat rasa deritanya atau memohon mati.
Menghayati Allah sebagai ar-Razzâq, berarti hanya kepada Allah memohon rezeki dan tidak menggunakan metode pesugihan yang berbasis setan, korupsi, atau mencuri.
Memohon kelulusan dalam ujian atau tes kepegawaian tidak meminta kepada orang tua melalui magical power atau meminta berkah ke kuburan.
Melainkan, harus belajar sungguh-sungguh dan menghayati Allah sebagai al-‘Alîm.
Maka, seruannya adalah yâ Fattâḩu yâ ‘Alîm ‘allimnî mâ yanfa’unî (Wahai Yang Maha Membuka, Wahai Yang Maha Tahu, anugerahilah aku ilmu yang bermanfaat untukku).
Jika merasa dihinakan dan terzalimi orang lain di muka umum, lalu tidak kuat menanggung derita, bisa menyeru Allah yâ Muzillu.
Seruannya: iẕlil fulânan ẕulâlan syadîda (Wahai Yang Maha Menghinakan, hinakanlah si anu dengan kehinaan sehia-hinanya).
Jika masih kuat menanggung derita, bisa menyeru kepada Allah sebagai al-Mâni’.
Seruannya: yâ Allâh yâ Mâni’u, imna’ fulânan lizhulmihî (Ya Allah Yang Maha Mencegah, cegahlah si anu dari menghinakan aku).
Wallâhu A’lamu biṣawâb
Baca juga: