Hadis Ibnu Mas’ud: Mengukur Kualitas Keberagamaan Kita

Oleh:

Drs. H. Danusiri, M.Ag.

Wakil Ketua PDM Kota Semarang

Kehidupan beragama dalam masyarakat ibarat pasang surut air laut; terkadang subur dan penuh semangat, di lain waktu terasa surut dan lesu. Namun, sering kali pula ada kondisi yang tampak subur di permukaan, padahal sejatinya kering di dalam. Kondisi ini menjadi tantangan besar bagi umat Islam.

Ibnu Mas’ud, salah seorang sahabat Nabi, pernah memberikan perbandingan yang tajam mengenai dua era berbeda. Beliau menggambarkan zaman yang baik dan zaman yang buruk dengan indikator-indikator yang jelas. Perbandingan ini relevan untuk kita renungkan saat ini:

أَنَّ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ مَسْعُودٍ قَالَ لِإِنْسَانٍ إِنَّكَ فِي زَمَانٍ كَثِيرٌ فُقَهَاؤُهُ قَلِيلٌ قُرَّاؤُهُ تُحْفَظُ فِيهِ حُدُودُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُرُوفُهُ قَلِيلٌ مَنْ يَسْأَلُ كَثِيرٌ مَنْ يُعْطِي يُطِيلُونَ فِيهِ الصَّلَاةَ وَيُقْصِرُونَ الْخُطْبَةَ يُبَدُّونَ أَعْمَالَهُمْ قَبْلَ أَهْوَائِهِمْ وَسَيَأْتِي عَلَى النَّاسِ زَمَانٌ قَلِيلٌ فُقَهَاؤُهُ كَثِيرٌ قُرَّاؤُهُ يُحْفَظُ فِيهِ حُرُوفُ الْقُرْآنِ وَتُضَيَّعُ حُدُودُهُ كَثِيرٌ مَنْ يَسْأَلُ قَلِيلٌ مَنْ يُعْطِي يُطِيلُونَ فِيهِ الْخُطْبَةَ وَيُقْصِرُونَ الصَّلَاةَ يُبَدُّونَ فِيهِ أَهْوَاءَهُمْ قَبْلَ أَعْمَالِهِمْ
Artinya:

“Sesungguhnya engkau hidup di zaman yang ahli fikihnya banyak, sementara para qari’nya sedikit. Hukum-hukum Al-Qur’an dijaga, sedangkan huruf-hurufnya disia-siakan. Sedikit yang bertanya, tetapi banyak yang mampu memberi (fatwa). Mereka memanjangkan salat dan memendekkan khotbah, serta mendahulukan amal daripada hawa nafsu.Lalu, akan datang kepada manusia suatu zaman yang ahli fikihnya sedikit, tetapi banyak qari’nya. Huruf-huruf Al-Qur’an dijaga, sedangkan hukum-hukumnya disia-siakan. Banyak yang bertanya, tetapi sedikit yang mampu memberi (fatwa). Mereka memanjangkan khotbah dan memendekkan salat, dan mereka mendahulukan hawa nafsu sebelum amal mereka.” (HR. Malik, 379)

Hadis di atas memberikan kita kriteria yang jelas untuk membedah kondisi keberagamaan umat. Di era yang baik, ulama yang mumpuni jumlahnya banyak dan hukum-hukum Al-Qur’an dipraktikkan dalam kehidupan sehari-hari, tidak hanya dihafal huruf-hurufnya. Ibadah salat dilaksanakan dengan tenang dan khusyuk, sementara khotbah disampaikan dengan ringkas, padat, dan mencerahkan. Masyarakatnya gemar bersedekah, beramal dengan ikhlas, serta tidak butuh publikasi.

Sebaliknya, di era yang buruk, ulama yang berilmu langka dan nilai-nilai Al-Qur’an diabaikan, meskipun banyak penghafalnya. Diskusi dan seminar keislaman ramai, tetapi minim implementasi. Salat dilaksanakan dengan tergesa-gesa, sementara khotbah disampaikan panjang lebar namun kurang substantif. Pada zaman ini, orang-orang cenderung mendahulukan popularitas dan pencitraan daripada amal nyata.

Fenomena ini mengingatkan kita pada kondisi saat ini. Di satu sisi, kita melihat maraknya pondok pesantren tahfiz dan musabaqah tilawatil Qur’an, namun di sisi lain, nilai-nilai Al-Qur’an sering kali tidak menjadi pedoman dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini terlihat dari masih maraknya ketidakjujuran, korupsi, serta sikap mementingkan pencitraan yang seolah-olah menjadi hal lumrah. Kita patut bertanya, apakah keberagamaan kita saat ini lebih condong ke zaman yang baik atau justru sebaliknya?

Jalan Keluar: Kembali pada Al-Qur’an dan Sunah

Lantas, bagaimana cara kita keluar dari kondisi yang memprihatinkan ini? Jawabannya hanya satu: kembali pada Al-Qur’an dan Sunah yang sahih. Al-Qur’an harus menjadi neraca dan pedoman hidup yang aplikatif, bukan sekadar bacaan atau hafalan. Jika umat berpegang teguh pada fondasi Al-Qur’an, jalannya pasti lurus dan benar. Sebaliknya, jika berpaling darinya, maka kesesatanlah yang akan didapat.

Khudzaifah pernah berpesan kepada para ahli Al-Qur’an untuk bersikap istikamah, karena dengan itu mereka akan menjadi pemenang. Sebaliknya, jika mereka berpaling, maka kesesatan yang jauh akan menanti.

Pesan ini selaras dengan sabda Nabi Muhammad SAW bahwa Allah akan mengangkat derajat suatu kaum melalui kitab ini dan merendahkan kaum yang lain. Semoga kita termasuk golongan yang diangkat derajatnya oleh Allah SWT karena menjadikan Al-Qur’an sebagai pedoman hidup.

Berikut adalah hadis-hadis yang menjadi penegasan dari pesan tersebut:

قَال يَا مَعْشَرَ الْقُرَّاءِ اسْتَقِيمُوا فَقَدْ سَبَقْتُمْ سَبْقًا بَعِيدًا فَإِنْ أَخَذْتُمْ يَمِينًا وَشِمَالًا لَقَدْ ضَلَلْتُمْ ضَلَالًا بَعِيد
Artinya:

“Wahai para ahli Al-Qur’an, bersikaplah istikamah. Dengan begitu, kalian telah menjadi pemenang yang jauh. Sebaliknya, jika kalian berpaling ke kanan dan ke kiri, kalian pasti tersesat sejauh-jauhnya.” (HR. Bukhari, 6739)

إِنَّ اللَّهَ يَرْفَعُ بِهَذَا الْكِتَابِ أَقْوَامًا وَيَضَعُ بِهِ آخَرِينَ
Artinya:

“Sungguh, dengan kitab ini (Al-Qur’an), Allah akan mengangkat derajat suatu kaum, dan dengan kitab ini pula, Dia akan merendahkan kaum yang lain.” (HR. Ibnu Majah, 214)

Wallahu a’lam bish-shawab.

Editor:

Agung S Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top