Seperti halnya meminta sesuatu kepada orang tua harus dengan tutur bahasa dan sikap yang sopan, demikian pula dalam berdoa kepada Allah Swt. . Jika permintaan kepada orang tua disampaikan dengan membentak, mereka pasti tersinggung, dan akibatnya bisa jadi permintaan itu tak dipenuhi, atau dikabulkan tanpa keikhlasan.
Analogi ini berlaku saat kita memohon kepada Allah; seluruh aturan dan adab berdoa harus dipenuhi. Jika aturan-aturan itu dilanggar, besar kemungkinan doa kita akan tertolak atau mardud.
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad saw., ada beberapa jenis doa yang berisiko tertolak. Berikut adalah rinciannya.
1. Tergesa-gesa Meminta Dikabulkan
Salah satu penghalang terkabulnya doa adalah sikap terburu-buru ingin melihat hasilnya. Nabi saw. bersabda:
يُسْتَجَابُ لأَحَدِكُمْ مَا لَمْ يَعْجَلْ يَقُوْلُ دَعَوْتُ فَلَمْ يُسْتَجَبْ لِيْ
(Dikabulkan doa seseorang dari kalian selama ia tidak buru-buru, (di mana) ia berkata: Aku sudah berdoa namun belum dikabulkan doaku). (HR Bukhari: 5981, Muslim: 2735).
Mengatur hati antara raja’ (penuh harap), ‘ajul (tergesa-gesa ingin diijabahi), dan khusyu’ dalam berdoa memang memerlukan perjuangan. Khusyu’ di sini mencakup ketenangan, fokus kesadaran hanya pada Allah, dan perasaan takut jika doa tidak dikabulkan.
Saat berdoa, hati harus hadir dengan kesadaran penuh harap hingga muncul keyakinan akan diijabah. Namun, antara kumulasi khusyu’ dan raja’ (penuh harap), kita harus tetap sabar manakala ternyata ijabah belum datang atau tidak dikabulkan di kehidupan dunia ini.
2. Berdoa untuk Dosa atau Memutus Silaturahmi
Seorang hamba tidak boleh berputus asa jika permohonannya belum terkabul, dan harus senantiasa husnuzan (berprasangka baik) kepada Allah. Namun, ada larangan keras terkait isi doanya. Nabi saw. memperingatkan:
لا يَزَالُ يُسْتَجَابُ لِلْعَبْدِ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيْعَةِ رَحِمٍ
(Senantiasa doa seorang hamba akan dikabulkan selama ia tidak berdoa untuk meminta berbuat dosa atau memutuskan silaturahmi). (HR Muslim: 2735).
Hadis ini mengajarkan bahwa dalam keseharian, selain berdoa, kita harus menjaga diri tidak berbuat dosa dan tidak memutus persaudaraan antar sesama. Hadis lain memperkuat hal ini:
مَا مِنْ أَحَدٍ يَدْعُو بِدُعَاءٍ إِلَّا آتَاهُ اللَّهُ مَا سَأَلَ أَوْ كَفَّ عَنْهُ مِنْ السُّوءِ مِثْلَهُ مَا لَمْ يَدْعُ بِإِثْمٍ أَوْ قَطِيعَةِ رَحِمٍ
(Tidaklah seseorang berdoa dengan sebuah doa melainkan Allah memberikan kepadanya apa yang dia minta atau menolak keburukan darinya yang semisalnya, selama dia tidak berdoa untuk perbuatan dosa atau pemutusan hubungan kekerabatan). (HR. Turmizi: 3573).
Dari dua hadis tersebut, dapat dipahami bahwa jika seseorang terus-menerus bermaksiat, meskipun ia berdoa sampai menangis, doanya tentu tidak akan diijabah. Jika merasa doanya dikabulkan padahal ia masih bergelimang maksiat, dikhawatirkan hal itu adalah istidraj.
Istidraj adalah jebakan berupa limpahan rezeki atau nikmat duniawi yang diberikan Allah kepada seseorang yang terus-menerus bermaksiat kepada-Nya. Hadis menjelaskan:
إِذَا رَأَيْتَ اللهَ تَعَالَى يُعْطِي الْعَبْدَ مِنَ الدُّنْيَا مَا يُحِبُّ وَهُوَ مُقِيمٌ عَلَى مَعَاصِيْهِ فَإِنَّمَا ذَلِكَ مِنهُ اسْتِدْرَاجٌ
(Bila kamu melihat Allah memberi pada hamba dari (perkara) dunia yang diinginkannya, padahal dia terus berada dalam kemaksiatan kepada-Nya, maka (ketahuilah) bahwa hal itu adalah istidraj (jebakan berupa nikmat yang disegerakan) dari Allah). (HR. Ahmad: 16673).
Contoh istidraj adalah perbuatan maksiat seperti mencuri atau korupsi yang tidak terungkap, atau berjudi dan memenangkan undian, lalu merasa itu sebagai rezeki.
3. Meninggalkan Amar Ma’ruf Nahi Mungkar
Setiap mukmin secara ideologis adalah muballigh (penyampai kebenaran), berdasarkan sabda Nabi:
بَلِّغُوا عَنِّى وَلَوْ آيَةً
(Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat). (HR Bukhari: 3202, Turmuzi: 2593, Darimi: 541, Ahmad: 6194).
Tugas utama seorang muballigh adalah amar ma’ruf nahi mungkar (menyuruh kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran). Ketika seorang mukmin, bahkan seorang tokoh agama, meninggalkan tugas esensial ini, doanya bisa menjadi mardud (tertolak).
Rujukan untuk pernyataan ini adalah hadis:
وَالَّذِيْ نَفْسِيْ بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِاْلمَعْرُوْفِ وَلْتَنْهَوُنَّ عَنِ اْلمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشِكَنَّ اللهُ أَنْ يَببْعَثَ عَلَيْكُممْ عِقَاباً مِنْهُ ثُمَ تَدْعُوْنَهُ فَلا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
(Demi Dzat yang jiwaku di tangan-Nya, hendaklah kalian menyuruh yang ma’ruf dan mencegah kemungkaran atau (kalau tidak kalian lakukan) maka pasti Allah akan menurunkan siksa kepada kalian, hingga kalian berdoa kepada-Nya, tetapi tidak dikabulkan). (HR Turmidzi: 2169, Ahmad: 23360).
Hukum sosial cenderung membuat masyarakat saling menilai. Jika ada tokoh agama yang justru dikenal ahli maksiat, seperti ahli tahayul, khurafat, dan bid’ah, maka meminta didoakan olehnya menjadi percuma. Setiap individu memiliki kesempatan ijabah yang sama di sisi Allah, selama ia berprofil sebagai muḩsinîn (orang yang berbuat baik), muttaqîn (orang yang bertakwa), atau muṣliḩîn (orang yang mengadakan perbaikan).
4. Tidak Bersungguh-sungguh dalam Berdoa
Seringkali ritual berdoa hanya bersifat seremonial, misalnya dalam acara syukuran atau selamatan, sehingga menyimpang jauh dari hakikat memohon kepada Allah. Ungkapan seperti “segan kalau tidak didoakan dulu” atau sejenisnya adalah pandangan yang salah kaprah dan menunjukkan ketidakseriusan dalam memohon.
Nabi saw. bersabda:
إِذَا دَعَوْتُمُ اللهَ فَاعْزِمُوْا فِي الدُّعَاءِ وَلا يَقُوْلَنَّ أَحَدُكُمْ إِنْ شِئْتَ فَأَعْطِنِيْ فَإِنْ اللهَ لا مُسْتَكْرِهَ لَهُ
(Apabila seseorang dari kamu berdoa dan memohon kepada Allah, janganlah ia mengucapkan Ya Allah, ampunilah dosaku jika Engkau kehendaki, sayangilah aku jika Engkau kehendaki, dan berilah rizki jika engkau kehendaki. Akan tetapi, ia harus bersungguh-sungguh dalam berdoa. Sesungguhnya Allah berbuat menurut apa yang Ia kehendaki dan tidak ada yang memaksa-Nya). (HR Bukhari: 7026).
Dalam konteks politik praktis, sering terjadi tokoh agama diminta berdoa oleh politikus curang dengan imbalan materi. Tokoh tersebut lalu berdoa sesuai permintaan tanpa disertai amar ma’ruf nahi mungkar sedikit pun. Dalam posisi ini, yang ditabur sebenarnya adalah azab dari Allah, sebagaimana diperkuat oleh hadis lain:
وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ لَتَأْمُرُنَّ بِالْمَعْرُوْفِ وَلَتَنْهَوْنَ عَنِ الْمُنْكَرِ أَوْ لَيُوْشَكُنَّ اللهُ أَنْ يَبْعَثَ عَلَيْكُمْ عِقَابًا مِنْهُ ثُمَّ تَدْعُوْنَهُ فَلَا يُسْتَجَابُ لَكُمْ
(Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam beliau bersabda: Demi Dzat yang jiwaku berada di tangannya, hendaknya kalian beramar ma’ruf dan nahi munkar atau jika tidak niscaya Allah akan mengirimkan siksa-NYa dari sisi-Nya kepada kalian, kemudian kalian memohon kepada-Nya namun do’a kalian tidak lagi dikabulkan). (HR Turmuzi: 2095).
Ketika politikus curang tersebut merasa doanya diijabah—padahal itu hanyalah istidraj—maka yang terjadi selanjutnya adalah azab dalam berbagai aspek kehidupan berbangsa dan bernegara. Ini adalah konsekuensi karena menjauhi rel syariah.
Wallâhu a’lamu bi ṣawâb.
Baca juga: