Di antara ibadah yang tidak gugur kewajibannya hingga hembusan napas terakhir adalah salat. Bahkan dalam kondisi sakit parah sekali pun, salat tetap menjadi penanda hakiki bagi seorang Muslim sejati. Meninggalkannya adalah batas yang memisahkan seorang hamba dari syirik dan kufur, sebuah konsekuensi serius yang telah diingatkan oleh Rasulullah SAW:
وَعَنْ جَابِرٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – ، قَالَ : سَمِعْتُ رَسُولَ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – ، يَقُولُ : (( إِنَّ بَيْنَ الرَّجُلِ وَبَيْنَ الشِّرْكِ وَالكُفْرِ ، تَرْكَ الصَّلاَةِ )) رَوَاهُ مُسْلِمٌ
Artinya: Dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Sesungguhnya batas antara seseorang dengan syirik dan kufur itu adalah meninggalkan salat (HR. Muslim: 116, 117, Turmuzi: 2543, Darimi: 1205, Ahmad: 14650).
Oleh karena itu, selagi akal masih sehat—artinya masih dapat mengingat, merefleksi, dan berkomunikasi—meskipun jasmani sudah uzur, kewajiban salat tetap melekat padanya. Allah berfirman: فَاتَّقُوا اللّٰهَ مَا اسْتَطَعْتُمْ (Bertakwalah kamu kepada Allah Azza wa Jalla menurut kesanggupanmu (QS at-Taghâbun:16).
Tata Cara Fleksibel Salat Saat Sakit
Dalam posisi sakit stadium lanjut, pelaksanaan salat dilakukan sesuai kadar kemampuan: antara berdiri, duduk, atau merebah tubuh. Maksud salat berdiri adalah salat sebagaimana biasa: ada unsur berdiri, ruku’, sujud, dan duduk. Salat sambil duduk dilakukan karena tidak bisa berdiri lagi. Salat sambil merebah tubuh dilakukan karena sudah tidak bisa berdiri sekaligus tidak bisa duduk. Hadis berikut adalah acuannya:
كَانَتْ بِي بَوَاسِيرُ فَسَأَلْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ الصَّلَاةِ فَقَالَ صَلِّ قَائِمًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَقَاعِدًا فَإِنْ لَمْ تَسْتَطِعْ فَعَلَى جَنْبٍ (Pernah penyakit wasir menimpaku, lalu aku bertanya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang cara salatnya. Maka beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: Salatlah dengan berdiri, apabila tidak mampu, maka duduklah dan bila tidak mampu juga maka berbaringlah – HR Bukhari: 1050, Daruquthni: 1410, Ibnu Khuzaimah: 978, 1248).
Memahami semangat ayat takwalah semampumu dan hadis kaifiyyah (peragaan) salat, salatlah semampumu bagi si sakit, tentu dilakukan sebaik-baiknya sesuai kondisi yang sedang dialami. Jika salat bisa dilaksanakan sambil duduk, sebaiknya duduk bersila. Hadis riwayat ‘Aisyah menyebutkan bahwa, ketika Nabi sakit, beliau salat duduk bersila:
رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي مُتَرَبِّعًا (Aku melihat Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat dengan bersila.- HR Nasâ’i: 1643, Daruquthni: 1647, Ibnu Khuzaimah: 977, 1236, Ibnu Hibban: 2512).
Kalau tidak bisa duduk bersila, duduk yang memungkinkan atau disanggupi. Dalam posisi salat duduk, masih bisa menghadap kiblat. Kalau tidak bisa menghadap kiblat, bisa menghadap ke mana arah duduknya.
Jika salat dilaksanakan sambil merebah tubuh, sebisa mungkin tetap menghadap kiblat. Jadi, sebisa mungkin, baik tempat tidur di rumah sakit maupun di rumah pribadi, diusahakan agar posisi tubuh saat salat memungkinkan untuk menghadap kiblat. Untuk di Indonesia, tempat tidur dibuat membujur ke arah utara dan saat tidur, kepala di posisi utara, sehingga ketika tidur miring atas lambung kanan, posisi wajah otomatis menghadap ke arah kiblat.
Jika karena sesuatu hal dengan keadaan patologis, posisi tempat tidur harus mengikuti keadaan ruangan dan tidak memungkinkan menghadap kiblat, tetaplah salat sesuai ke arah mana yang memungkinkan. Masih ada celah pembenaran, yaitu ayat berikut:
وَلِلَّهِ الْمَشْرِقُ وَالْمَغْرِبُ ۚ فَأَيْنَمَا تُوَلُّوا فَثَمَّ وَجْهُ اللَّهِ ۚ إِنَّ اللَّهَ وَاسِعٌ عَلِيمٌ (Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka kemanapun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi Maha Mengetahui – QS al-Baqarah: 115).
Hadis berikut sinergi dengan semangat ayat di atas:
وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ (قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ مَا بَيْنَ اَلْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ قِبْلَةٌ. رَوَاهُ اَلتِّرْمِذِيُّ, وَقَوَّاهُ اَلْبُخَارِيُّ (Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda, Antara timur dan barat adalah kiblat. Diriwayatkan oleh Turmidzi dan dikuatkan oleh Bukhari – HR Tirmidzi: 313).
Keringanan Lil Masyaqqah dan Menghindari Utang Salat Saat Sakit
Karena kondisi sakit, terutama stadium lanjut, maka salat dapat dijamak, diqashar, maupun dijamak dan di-qashar sekaligus. Hal ini dapat diajukan argumen karena lil masyaqqah (keadaan sulit). Pepatah Jawa mengatakan Lara iku kembange pati (Sakit itu berbunga kematian), artinya akhir dari sakit adalah mati. Sementara kapan persis hembusan napas terakhir, hanyalah urusan Allah (QS. al-Isra’: 85).
Dapat diilustrasikan seorang pasien sakit stadium empat dan akalnya masih sehat. Saat datang waktu Zuhur, untuk waktu di Yogyakarta, bulan Oktober antara tanggal 26-31 dimulai jam 11.24 dan waktu ‘Ashar dimulai jam 14.38. Dia salat Zuhur dan ‘Ashar sekaligus di waktu Zuhur (jamak taqdim). Kemudian dia menghembuskan napas terakhir jam 14.39, tentu sudah tidak bisa melakukan salat karena posisi naza’ bagian akhir. Maka, saat kewajiban salat yang hanya 1 menit itu sudah dia lakukan karena salat jamak taqdim-nya. Jadi, dia meninggal tanpa memiliki utang salat.
Pemahaman kedua, meskipun dia secara waktu memiliki utang 1 menit dan tidak bisa melaksanakan salat, bukan berarti dia punya utang satu salat, yaitu salat ‘Ashar. Alasannya, menurut kebiasaan, orang yang hendak meninggal kurang satu menit itu sudah dalam posisi sakaratul maut bagian puncak. Makna sakarat yang menjadi padanan sekarat (Bahasa Indonesia), dalam Bahasa Jawa mendem, adalah tidak sadar sebagaimana manusia biasa. Andaikan sadar, tentu berkesadaran metafisika, umpama melihat gambaran surgawi.
Contoh hadis (terjemahan) tentang pengalaman surgawi: Seorang hamba mukmin, jika telah berpisah dengan dunia, menyongsong akhirat, maka malaikat mendatanginya dari langit, dengan wajah yang putih. Wajah mereka layaknya sinar matahari. Mereka membawa kafan dan hanuth (wewangian) dari surga. Mereka duduk di sampingnya sejauh mata memandang. Berikutnya, malaikat maut hadir dan duduk di dekat kepalanya sembari berkata: Wahai jiwa yang baik, keluarlah menuju ampunan Allah dan keridhaan-Nya. Ruhnya keluar bagai cucuran air dari mulut kantong kulit. Selanjutnya, Malaikat maut mengambilnya. Jika telah diambil, malaikat lainnya tidak membiarkannya di tangannya (Malaikat maut) sejenak saja, untuk mereka ambil dan diletakkan di kafan dan hanuth tadi. Dari jenazah, semerbak aroma misk yang paling harum yang ada di bumi – HR. Ahmad: 17803).
Wallâhu a’lamu biṣawâb.
Baca juga:
Panduan Praktis Salat dalam Perjalanan: Batas Jarak dan Durasi Keringanan Menurut Hadis


