Mengarungi udara di atas ketinggian ribuan kaki dalam perjalanan pesawat terbang sering kali menimbulkan pertanyaan pelik bagi umat muslim: bagaimana melaksanakan salat fardu tepat pada waktunya?
Persoalan kontemporer seperti salat di pesawat terbang ini memang kerap menjadi lahan ijtihad, yang mana hasilnya niscaya tidak akan mencapai derajat kebenaran mutlak. Oleh karena itu, khilafiah (perbedaan pendapat) pasti terjadi.
Menyikapi perbedaan ijtihad ini, kita bisa mengambil perumpamaan dari makanan. Jika berselera, silakan menikmatinya. Jika tidak, tinggalkanlah, yang terpenting jangan mencelanya. Nabi Muhammad shallallahu ’alaihi wasallam bersabda:
مَا عَابَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – طَعَامًا قَطُّ ، إِنِ اشْتَهَاهُ: أَكَلَهُ ، وَإِنْ كَرِهَهُ تَرَكَهُ
Artinya: Tidaklah Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam mencela suatu makanan sedikit pun. Seandainya beliau menyukainya, menyantapnya. Jika tidak menyukainya, meninggalkannya (Muttafaqun ‘alaih: HR Bukhari: 5409, Muslim: 2064).
Prinsip Ijtihad dan Kebenaran Ganda
Hasil ijtihad dari seorang atau sekelompok ulama (jama’i) sejatinya tidak dapat ditentang mentah-mentah oleh ulama lain yang berbeda pendapat. Paradigma dalam usul fikih menyatakan: al-Ijtihâdu lâ yunqaḍu bil ijtihâd (hasil ijtihad yang satu tidak bisa ditentang oleh hasil ijtihad lainnya).
Ketika seseorang bepergian jauh dengan pesawat, misalnya menuju Mekkah atau Madinah untuk haji atau umrah, ia pasti melewati beberapa waktu salat. Dalam posisi ini, manakah yang harus dipilih: salat sesuai waktunya atau dikerjakan setelah sampai tujuan dengan cara di-qasar dan di-jamak?
Jawabannya, setidaknya ada dua versi pelaksanaan salat saat posisi safar (perjalanan) ini. Pertama, dilaksanakan sesuai rincian waktunya (aṣṣâlatu ‘alâ waqtihâ). Kedua, salat dilaksanakan ketika sudah sampai tujuan. Mana pun yang dipilih di antara keduanya, insya Allah benar berdasarkan hadis berikut:
قَالَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَنَا لَمَّا رَجَعَ مِنَ الْأَحْزَابِ لَا يُصَلِيَنَّ أَحَدٌ الْعَصْرَ إِلَّا فِي بَنِي قُرَيْظَةَ فَأَدْرَكَ بَعْضُهُمْ الْعَصْرَ فِي الطَّرِيْقِ فَقَاَل بَعْضُهُمْ لَا نُصَلِّيَ حَتَّى نَأْتِيْهَا وَقَالَ بَعْضُهُمْ بَلْ نُصَلِّي لَمْ يُرَدْ مِنَّا ذَلِكَ فَذُكِرَ لِلنَّبِيِّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَلَمْ يُعَنِّفْ وَاحِدًا مِنْهُمِ
Artinya: Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam bersabda kepada kami ketika beliau kembali dari perang Ahzab: “Jangan sekali-kali salah seorang dari kalian salat ‘Ashar kecuali di perkampungan Bani Quraidhah.” Lalu tibalah waktu salat ketika mereka masih di jalan, sebagian dari mereka berkata: “Kami tidak akan salat kecuali telah sampai tujuan.” Sebagian lain berkata: “Kami akan melaksanakan salat karena beliau tidaklah bermaksud demikian.” Maka kejadian tersebut diceritakan kepada Nabi shallallahu ’alaihi wasallam. Beliau tidak mencela seorang pun dari mereka (HR Bukhari: 894, 3810).
Dalam kisah tersebut, di antara sahabat yang salat ‘Ashar di perjalanan dan belum sampai di perkampungan Bani Quraidhah adalah Abbad bin Bisyr dan ‘Ammar bin Yasir. Bahkan, Ammar bin Yasir salat beberapa rakaat sambil menunggu giliran berjaga dan tetap melanjutkan salat meski terkena tiga anak panah musuh. Setelah terkena panah, ia cabut dan melanjutkan salatnya.u
Bisa jadi, ijtihad Nabi untuk jangan sampai salat sebelum tiba di perkampungan Quraidhah adalah upaya agar keutuhan pasukan Islam lebih terjaga dan keselamatan dari musuh yang mengintai dapat diwaspadai.
Andai Abbad dan Ammar tidak salat dalam perjalanan, tentu peluang mereka tidak terkena panah lebih besar. Namun, kenyataannya, sahabat yang salat di perjalanan sesuai waktu salat ‘Ashar dibenarkan, dan yang salat bersama beliau di perkampungan Bani Quraidhah juga benar. Keduanya sama-sama benar.
Inilah yang penulis sebut sebagai teori dasar (grand theory) kebenaran ganda, meminjam istilah dari Muslim A. Kadir. Teori ini dapat diterapkan dalamy hal-hal khilafiah selama motivasi, metode, dan tujuan ijtihad tetap menjunjung tinggi ruh syariat dan li i’zhamillah (mengagungkan Allah), bukan atas dasar kepentingan subjektif, seperti golongan.
Kaidah Pelaksanaan Salat di Pesawat
Menerapkan pelaksanaan salat di pesawat menimbulkan persoalan teknis yang unik.
Persoalan pertama adalah kapan menentukan waktu akurat untuk salat sesuai jenis salatnya? Menentukannya sulit karena kecepatan laju pesawat rata-rata 500 km per jam dan berada jauh di atas daratan.
Maka, yang dilakukan adalah menentukan waktu sesuai dengan jam keberangkatan di darat. Jika pesawat take off di awal waktu Zuhur, maka empat jam kemudian masuk waktu ‘Ashar, tiga jam kemudian masuk waktu Magrib, dan satu jam kemudian masuk waktu ‘Isya’.
Penentuan ini tanpa perlu mengetahui sedang di atas daratan atau lautan negara mana, dan kapan negara itu tepat waktu ‘Ashar, Magrib, atau ‘Isya-nya.
Lakukanlah salat sesuai dengan penghitungan waktu tersebut. Patokannya adalah satuan waktu asal keberangkatan, baik itu WIB, WITA, maupun WIT.
Persoalan selanjutnya, bagaimana kaifiyah (peragaan) salatnya? Sekurang-kurangnya kita dapat mencari pembenaran dari hadis berikut:
عن جابرٍ رَضِيَ اللهُ عَنْه قال: كَانَ رَسُوْلُ اللهِ يُصلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُy توجَّهتْ به – أَيْ فِي جِهَّةِ مَقَصدِه – فَإِذَا أَرَادَ الْفَرِيْضَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ القِبلةَ
Artinya: Dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ’anhu bahwa Nabi SAW salat di atas kendaraannya menuju ke arah Timur. Namun ketika beliau mau salat wajib, beliau turun dan salat menghadap kiblat (HR Bukhari: 385, 1030, Muslim: 1130, 1134, Hadis semakna dari Muslim: 1137, Turmuzi: 320, 2883).
Kasus Nabi shallallahu ’alaihi wasallam di atas adalah salat sunah. Jika salat wajib, beliau turun dan menghadap kiblat. Bagaimana dengan di pesawat? Tentu, harus menghadap ke mana saja sesuai arah pesawat karena tidak mungkin bisa turun dari pesawat untuk menghadap kiblat.
Acuan untuk pembenaran ini, antara lain, adalahH kaidah usul fikih: iẕâ zhâqa ittasa’a (apabila kesulitan, maka bisa menjadi longgar), dan hadis Nabi shallallahu ’alaihi wasallam:
يَسِّرُوْا وَلَا تُعَسِّرُوْا وَبَشِّرُوْا وَلَا تُنَفِّرُوْا
Artinya: Permudahlah dan janganlah kalian persulit, serta berilah kabar gembira dan janganlah kalian membuat orang lari (HR Bukhari: 68, 5660, Muslim: 3262, 3264, Abu Dawud: 4195).h
Selanjutnya, bagaimana peragaannya? Hadis yang dapat dijadikan pembenarannya adalah sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُصَلِّي فِي السَّفَرِ عَلَى رَاحِلَتِهِ حَيْثُ تَوَجَّهَتْ بِهِ يُوْمِئُ إِيْمَاءَ صَلَاةِ اللَّيْلِ إِلَّا الْفَرَائِضَ وَيْوْتِرُ عَلَى رَاحِلَتِهِ
Artinya: Jika Nabih shallallahu ’alaihi wasallam dalam perjalanan, maka beliau mengerjakan salat di atas tunggangannya ke mana saja hewan itu menghadap, beliau mengerjakannya dengan isyarat, kecuali salat fardu. Beliau juga mengerjakan salat Witir di atas kendaraannya (HR Bukhari: 945, 1033).
Kata kunci pembenaran dari hadis ini adalah kata isyarat (iuma’)—gerakan. Artinya, salat di pesawat cukup dilakukan duduk di tempat duduk dan sesuai dengan cara duduk di pesawat.
Rukuk dan sujudnya hanya dengan membungkukkan kepala. Isyarat sujud mesti lebih rendah daripada isyarat rukuk. Ujung jari telunjuk saat tahiyat dan salam mengakhiri salat dilakukan seperti salat dalam keadaan normal atau longgar


