Setelah Bank Syariah Muhammadiyah Lahir

Oleh:

Gunarto Saparie

Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT)

Ada sesuatu yang selalu menarik ketika sebuah gerakan sosial, yang berakar pada nilai-nilai keagamaan, memasuki wilayah ekonomi modern. Di situ, spiritualitas bertemu dengan sistem, dan idealisme berhadapan dengan angka-angka di layar komputer bank.

Begitulah yang tampak ketika kabar tentang berdirinya Bank Syariah Muhammadiyah, atau Bank Syariah Matahari, ramai diperbincangkan. Di ruang-ruang digital, orang bersorak. Di kalangan persyarikatan, ada getar kebanggaan yang menular.

Namun di antara euforia itu, kita diingatkan: ini baru fajar, bukan matahari di puncak hari.

Ada semacam kesadaran yang tumbuh pelan-pelan di tubuh Muhammadiyah. Bahwa kerja dakwah tak hanya berhenti di mimbar, tak cukup dengan sekolah, rumah sakit, atau universitas. Bahwa ekonomi, dengan segala sistem yang dingin dan kompleks itu, juga merupakan medan perjuangan. Tetapi perjuangan yang satu ini sering kali sunyi, tak seheroik pidato atau aksi sosial.

Dalam konteks itu, kehadiran Bank Syariah Matahari dapat dibaca bukan sebagai peristiwa ekonomi semata, melainkan bagian dari sejarah panjang gerakan pencerahan. Muhammadiyah, sejak kelahirannya, telah berupaya menyeimbangkan iman dan rasionalitas, teks dan tindakan, langit dan bumi.

Maka, perbankan syariah, betapapun rumitnya istilah itu di telinga sebagian umat, sebenarnya adalah kelanjutan dari etos lama: memerdekakan umat dari ketergantungan dan kemiskinan struktural.

Tetapi tentu, setiap awal perjalanan punya godaan: glorifikasi.

Orang sering lupa, bahwa istilah “bank syariah” sendiri adalah kompromi. Ia berdiri di antara dua dunia yang tak selalu sejalan: dunia moral dan dunia finansial. Satu berbicara tentang niat, keberkahan, dan keadilan; yang lain tentang margin, rasio kecukupan modal, dan kepatuhan regulasi.

Bank Syariah Matahari, yang secara formal masih berstatus Bank Pembiayaan Rakyat Syariah (BPRS), beroperasi di jalur sempit di antara dua dunia itu. Ia belum menjadi Bank Umum Syariah (BUS), yang skalanya lebih besar dan jangkauannya lebih luas. Maka, ketika sebagian publik menganggap Muhammadiyah telah “memiliki bank besar”, di situlah problem persepsi bermula.

Euforia mudah menjelma menjadi ekspektasi. Dan ekspektasi, jika tak ditopang oleh kesabaran, bisa berubah menjadi kekecewaan.

Dalam sejarah umat Islam, mimpi tentang ekonomi tanpa riba, tanpa ketimpangan, tanpa keserakahan, selalu hadir. Tetapi setiap kali mimpi itu mendekati kenyataan, ia berhadapan dengan sistem yang sudah mapan: kapitalisme. Maka, yang lahir sering bukan penolakan total, melainkan adaptasi; atau, untuk memakai istilah yang lebih lembut, islamisasi sistem.

BPRS, dalam hal ini, adalah bentuk kecil dari upaya itu. Ia bukan revolusi, melainkan evolusi. Muhammadiyah memilih jalan perlahan: membangun dari bawah, menyatukan kekuatan lembaga-lembaga kecil, lalu mengkonsolidasikannya menjadi kekuatan bersama.

Langkah itu, sekilas tampak sederhana, tetapi justru menunjukkan kedewasaan. Dalam ekonomi, tergesa-gesa sering berarti jatuh lebih cepat.

Kita bisa melihatnya sebagai metafora: matahari memang tidak muncul sekaligus. Ia menyingkap kabut pelan-pelan, memberi terang setapak demi setapak.

Demikian pula Bank Syariah Matahari. Ia adalah permulaan dari sesuatu yang lebih besar. Dan seperti setiap permulaan yang baik, ia tidak menjanjikan apa pun selain proses.

Dalam proses itu, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mengeluarkan mandat konsolidasi: menyatukan beberapa BPRS yang tersebar di bawah naungan persyarikatan: Artha Surya Barokah, BDW, dan Matahari. Ini semacam laku tajdid dalam ekonomi: pembaruan yang berakar pada penyatuan kekuatan.

Konsolidasi, dalam arti yang paling dalam, bukan sekadar strategi bisnis. Ia adalah kesadaran bahwa umat yang tercerai-berai tak akan punya daya tawar di hadapan sistem besar. Bahwa solidaritas, lebih dari sekadar jargon sosial, juga merupakan syarat bertahan di tengah arus kapitalisme yang deras.

Tetapi di sinilah letak tantangannya: bagaimana menjaga agar semangat syariah tidak tereduksi menjadi sekadar label? Sebab di zaman ini, agama sering kali menjelma menjadi branding. Lembaga ekonomi syariah bisa saja, pada akhirnya, terjebak dalam logika yang sama dengan bank konvensional: mengejar keuntungan sebesar-besarnya, meski tanpa bunga.

Syariah adalah jalan, bukan tujuan. Ia bukan sekadar sistem keuangan, melainkan etika. Dan etika, sebagaimana air yang jernih, mudah keruh bila wadahnya kotor.

Maka, Bank Syariah Muhammadiyah hanya akan berarti jika ia tetap berpijak pada kesadaran moral: bahwa uang bukan segalanya, bahwa laba tak boleh menafikan maslahat, bahwa transaksi adalah ibadah. BPRS Matahari seharusnya tidak berhenti pada neraca keuangan yang sehat, tetapi juga pada keberpihakan sosial yang nyata.

Bank ini akan menemukan rohnya jika ia hadir di tengah masyarakat kecil: pedagang pasar, petani, pengusaha mikro, yang selama ini sering luput dari layanan perbankan. Bila ia bisa menjadi alat pemberdayaan, bukan sekadar alat akumulasi. Di situ letak bedanya antara “bank syariah” dan “bank yang kebetulan berlabel syariah”.

Kita hidup di masa ketika agama sering dijadikan komoditas. Ketika simbol-simbol keislaman dijual bersama iklan investasi, dan istilah “syariah” menjadi tagline yang menenangkan hati konsumen. Maka, kehadiran Bank Syariah Muhammadiyah, yang dibangun dengan kehati-hatian dan bukan sensasi, perlu kita sambut bukan dengan tepuk tangan, melainkan dengan doa dan kesadaran.

Bahwa setiap fajar, betapapun indah, hanyalah awal dari hari yang panjang. Sebab ekonomi syariah, seperti halnya dakwah, tidak pernah punya garis akhir. Ia adalah perjalanan tanpa ujung, tempat nilai-nilai diuji oleh kenyataan, dan idealisme diuji oleh waktu.

Dan barangkali, di tengah dunia yang makin materialistis ini, langkah kecil semacam itu justru menjadi penting. Sebab dari langkah kecil yang konsisten, lahirlah sejarah besar.

Matahari memang belum tinggi. Tetapi cahaya fajar sudah cukup untuk membuat kita percaya, bahwa hari baru sedang dimulai. Seperti semua fajar, ia tidak berjanji akan selalu cerah. Namun, ia mengingatkan kita: setiap kegelapan, pada akhirnya, akan mendapat gilirannya untuk pudar.

*Gunoto Saparie adalah Fungsionaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Orwil Jawa Tengah.

Editor:

Agung S Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top