Sing Sareh: Kunci Ketenangan di Era Serba Cepat yang Bikin Penat

Oleh:

Prof. Dr. Ahwan Fanani

Pakar Budaya dan Kajian Islam UIN Walisongo Semarang

Seberapa sering kita menekan tombol “istirahat” dalam hidup yang serba digital ini? Di zaman FOMO (Fear of Missing Out) dan kecepatan internet yang tak kenal ampun, konsep ketenangan seringkali dianggap kemewahan, bahkan kelemahan. Padahal, ada sebuah kearifan lokal yang justru menawarkan kekuatan di balik keheningan: “Sing Sareh.” Mengapa pepatah Jawa sederhana ini justru bisa menjadi kunci untuk tetap waras dan produktif di tengah badai informasi serta tuntutan modern?

Sareh bukan berarti absennya pandangan atau pudarnya prinsip. Bukan pula berarti surutnya semangat mengejar tujuan. Justru sebaliknya, Sareh adalah kesadaran akan batas. Ini adalah pemahaman jernih kapan harus gigih, dan kapan pula harus rehat.

Ia mengingatkan kita pada “faidza azamta fatawakal alallah” dalam Al-Qur’an: setelah segenap ikhtiar, ada saatnya kita berserah. Memang, sareh tak persis sama dengan tawakal. Namun ia adalah kemampuan transendensi diri—ada kalanya ngotot, ada kalanya melepas, membiarkan.

Filosofi ini juga termanifestasi dalam adagium “sak mad-sak mad”. Artinya, cukup sekadarnya. Jika kita membantu, berilah dengan ikhlas, lalu jangan berharap lebih. Jika berhasil, syukuri. Jika tak mendapat penghargaan, ya sudah, urusan kita cuma membantu.

Filosofi inilah yang menuntun orang Jawa pada ketenangan batin, membentuk pribadi yang tak “grusa-grusu.” Mereka tak berlebihan, tak terburu nafsu, seolah tak dikejar-kejar. Bukankah seringkali, ketergesa-gesaan justru mengundang masalah? Maka lahirlah ungkapan “alon-alon waton kelakon”: pelan tapi pasti, istikamah tanpa berlebihan, yang penting tercapai.

Sikap tenang ini sama sekali bukan pasif. Ia adalah hasil pemahaman diri yang mendalam, menempatkan diri pada posisi yang tepat. Tidak berlebihan, baik dalam menolak maupun menerima. Persis seperti “ngono yo ngono ning ojo ngono”—begitu ya begitu, tapi jangan begitu-begitu amat.

Sareh adalah kematangan untuk bersikap tenang, sabar, dan tidak terbawa nafsu atau amarah. Ia mengajak kita untuk tidak bekerja melampaui batas hingga melalaikan diri sendiri. Singkatnya, ini tentang “eling”: sadar akan siapa kita, di mana posisi kita.

Menjadi manusia utuh dalam falsafah Jawa adalah menjadi pribadi yang penuh perhitungan, yakin pada apa yang dilakukan. Bekerja bertahap, namun semuanya tampak tenang hingga tujuan tercapai. Ini disebut “titis.” Sebuah tindakan yang seolah biasa saja, namun hasilnya tepat sasaran. Konsep ini bukan tentang memaksakan diri di luar kemampuan, melainkan kesadaran untuk tidak “ngoyo”—tidak terlalu memaksakan kehendak hingga justru merugikan diri.

Pada akhirnya, mempelajari filosofi Jawa adalah menyelami kesadaran mendalam tentang diri dan lingkungan. Ini adalah proses mengenali siapa kita, memahami lingkungan sekitar, dan mengetahui bagaimana bersikap tepat dalam setiap situasi. Dengan demikian, kita akan menemukan diri kita berada pada titik benar sekaligus pener—tepat pada sasarannya.

Di tengah riuhnya zaman yang menuntut kecepatan, mungkin sudah saatnya kita kembali pada keheningan “Sing Sareh.” Bukan untuk menepi, melainkan untuk melaju dengan pijakan yang lebih kokoh, hati yang lebih tenang, dan tujuan yang lebih titis. Bukankah ketenangan adalah kekuatan sesungguhnya?

Editor:

Agung S Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top