Awal Mula Muhammadiyah di Semarang: Dari Bon Cino ke Indraprasta

Sejarah Muhammadiyah di Kota Semarang dimulai sejak 1926. Dari pengajian, pendidikan hingga amal usaha, jejaknya kuat dan berdampak luas hingga kini.

SEMARANG-Tak banyak yang tahu, semangat pembaruan Islam yang diusung Muhammadiyah ternyata telah menjejak kuat di Kota Semarang sejak hampir satu abad lalu. Dari sebuah kongres besar yang digelar di sudut kota, gerakan ini berkembang menjadi salah satu kekuatan sosial dan pendidikan yang berpengaruh.

Kisah ini kembali dihidupkan oleh Wakil Ketua Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang, Dr. AM Jumai, dalam pengajian Ahad pagi PCM Ngaliyan, di Masjid At-Taqwa Ngaliyan, Wates, Semarang, Ahad (22/6/2025). Di hadapan puluhan jamaah yang hadir, ia memaparkan sejarah berdirinya Muhammadiyah di kota ini.

Menurut AM.Jumai, jejak awal Muhammadiyah di Semarang bermula sekitar tahun 1926. Para tokoh perintis yang meletakkan pondasi gerakan ini antara lain K.H. Dzulkarnain dari Kudus, Abdul Rahman Machrus dan Ust. Bastam Muslie dari Semarang, Ahmad Machrus dari Solo, serta Ali Barkan dari Semarang.

“Mereka bukan hanya membawa semangat pemurnian ajaran Islam, tapi juga mendorong perubahan lewat pendidikan, kegiatan sosial, hingga ekonomi umat,” ujar Jumai.

Tuan Rumah Kongres Muhammadiyah ke-22

Penguatan organisasi ini mulai terasa pada tahun 1933, saat Semarang menjadi tuan rumah Kongres Muhammadiyah ke-22 (yang kini disebut Muktamar) pada tanggal 21 sampai 28 Juni. Perhelatan akbar itu digelar di kawasan Bon Cino, Jalan Mataram. Salah satu keputusan penting yang dihasilkan adalah pembelian sebidang tanah di Jalan Sadewa Nomor 45 — yang sekarang dikenal sebagai Jalan Indraprasta Nomor 37.

“Tanah itu kemudian dijadikan Kantor Konsulat Muhammadiyah Semarang. Dari sana, aktivitas Muhammadiyah berkembang pesat, termasuk pendirian HIS atau sekolah dasar Islam yang menjadi embrio lembaga pendidikan Muhammadiyah di kota ini,” ungkap Jumai mengutip penuturan H. Soewito, salah satu sesepuh Muhammadiyah yang juga menjadi saksi sejarah peristiwa itu.

Tak hanya membangun struktur kelembagaan, Muhammadiyah di Semarang juga memperkuat sisi kultural dan spiritual. Kekuatan organisasi ini terletak pada sinergi antara jam’ah (komunitas), jam’iyyah (organisasi), dan amal usaha seperti sekolah, klinik, dan kegiatan sosial lainnya.

Pendekatan tauhid dan akhlak menjadi fondasi gerakan ini tetap kokoh hingga kini. Dari langkah-langkah kecil yang dimulai hampir seabad lalu, Muhammadiyah terus tumbuh sebagai organisasi Islam modern yang berdampak luas. Tidak hanya di Semarang, tapi juga secara nasional.

Kontributor: Azzam (MPI PCM Ngaliyan). Editor: Agung S Bakti

Scroll to Top