Cecak vs Burung Pipit : Keberpihakan dalam Pengorbanan

Iduladha mengingatkan kita bahwa pengorbanan sejati tidak hanya datang dari apa yang kita lihat, tapi dari keputusan kita untuk berdiri di sisi yang benar, meskipun kita tak memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan.

Oleh: Hadi Santoso, S.T., M.Si. (Ketua Majelis Pustaka & Informasi PDM Kota Semarang)


MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, SEMARANG – Setiap tahun, Idul Adha datang dengan segala kesakralannya, mengingatkan kita pada pengorbanan besar domba, sapi, unta, kambing, kerbau. Hewan-hewan ini tak hanya menyumbangkan daging dan darah, tetapi juga simbol kemegahan pengorbanan.

Namun, apakah kita pernah teringat pada hewan-hewan kecil yang lebih sunyi, yang lebih sederhana, tetapi memiliki pilihan yang lebih berat: cecak dan burung pipit?

Dalam kisah Nabi Ibrahim, mereka tak berdiri di panggung besar seperti yang lain. Mereka hadir dalam bentuk yang paling tak terduga: kecil, hampir terlupakan, tetapi memiliki keberanian untuk memilih, meski pilihan itu tampak tidak berarti.

Cecak, dengan tubuh mungil dan rapuh, memutuskan untuk berdiri di pihak yang salah. Ketika Ibrahim dihadapkan pada kobaran api yang menyala, cecak, makhluk kecil yang bahkan tak terlihat oleh banyak mata, berusaha meniupkan api itu, berharap api itu membesar.

Tentu saja, usaha cecak tak ada artinya terhadap kekuatan api yang membakar. Namun, dari pilihan itu, ia mengajarkan kita satu hal: keberpihakan bukan selalu tentang hasil yang besar. Keberpihakan adalah tentang memilih sisi, meski kita tahu betapa kecilnya dampak kita. Cecak memilih untuk berdiri di sisi yang salah, memilih ikut serta dalam keburukan meski ia tak bisa mengubah apa pun.

Di sisi lain, ada burung pipit dan semut yang lebih kecil dari sekadar bayangan. Mereka tidak ragu untuk terlibat, meskipun mereka tahu air yang mereka percikkan tak akan mampu memadamkan api yang membakar Ibrahim. Namun, mereka memilih jalan yang benar. Mereka tahu bahwa apapun hasilnya, keberpihakan pada kebenaran adalah jalan yang harus ditempuh. Mereka mengorbankan diri mereka, meskipun usaha mereka tak pernah dilihat atau dihargai.

Ketika dunia sibuk dengan kebohongan dan kesombongan, mereka tetap memilih untuk melawan. Tak ada yang melihat, tak ada yang mendengar, tapi mereka tetap memilih untuk berbuat. Mereka memilih kebenaran.

Ini adalah soal pilihan yang ada di depan kita setiap hari. Dunia ini penuh dengan kebohongan yang menggema, dengan suara-suara palsu yang memandu kita menuju jalan yang lebih mudah, lebih nyaman. Kita sering kali merasa bahwa suara kita yang kecil takkan mengubah apa pun.

Kita merasa, seperti cecak, bahwa usaha kita tak akan pernah berarti. Namun, seperti cecak yang berdiri memilih untuk meniupkan api meski tahu ia tak mampu mengubah apapun, kita pun harus memilih. Apakah kita akan memilih diam, mengikuti arus, ataukah kita akan memilih untuk berdiri di sisi kebenaran, meskipun usaha kita tampak tak akan membawa perubahan?

Seringkali kita berpikir bahwa pengorbanan harus datang dalam bentuk yang besar dan tampak nyata. Namun, pengorbanan terbesar justru datang dari tindakan kecil, yang tak terduga, yang tak pernah dilihat oleh orang lain. Seperti burung pipit dan semut yang memilih untuk menyirami api dengan air yang tak akan mampu memadamkan kobaran itu.

Mereka melakukannya bukan karena hasil, tetapi karena keberpihakan mereka pada kebenaran. Mereka tahu bahwa apapun hasilnya, mereka tidak bisa berdiri diam melihat kebohongan dan kesombongan yang merajalela.

Kisah cecak dan burung pipit mengingatkan kita bahwa pengorbanan sejati tak selalu datang dari apa yang kita lihat, tapi dari keputusan kita untuk berdiri di sisi yang benar, meskipun kita tak memiliki kekuatan untuk mengubah keadaan.

Dunia ini sering membuat kita ragu, membuat kita merasa bahwa memilih jalan yang benar hanya akan membuat kita semakin kecil dan tidak terlihat. Namun, seperti burung pipit yang tak kenal lelah meskipun tahu usahanya sia-sia, kita diajak untuk memilih: memilih untuk tetap berdiri di pihak yang benar meskipun dunia ini seolah tak peduli.

Mungkin jalan ini berat, mungkin kita tak akan pernah tahu apakah upaya kita akan membuahkan hasil. Namun, seperti cecak yang memilih untuk terlibat dalam keburukan atau burung pipit yang memilih untuk berdiri di sisi kebenaran, kita pun harus memilih.

Kita diajak untuk bertanya pada diri kita sendiri: Apakah kita akan tetap berdiri di jalan yang benar, meskipun dunia ini penuh dengan kebohongan dan kesombongan? Apakah kita akan memilih untuk berdiri dalam api yang membakar, ataukah kita akan diam dan mengikuti arus?

Selamat berkorban, semoga setiap langkah kita diterima, dan semoga keberpihakan kita pada kebenaran memberi manfaat bagi dunia yang kita cintai.



Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Scroll to Top