Bukan Sekadar ‘Sholih’, Ini Tipe Manusia yang Jadi ‘Penjaga Umat’ dari Bencana!

MIJEN,muhammadiyahkotasemarang.org – Pernahkah terlintas di benak Anda, mengapa seseorang yang ‘hanya’ baik untuk dirinya sendiri (sholih) seringkali lebih disukai, sementara mereka yang aktif mengajak orang lain pada kebaikan (mushlih) justru tak jarang mendapat penolakan? 

Dilema menarik inilah yang menjadi inti pembahasan dalam program “Kalam Ahad Pagi” di Masjid Jami’ Jatisari, pada Ahad (2/11/2025). Dalam suasana pagi yang teduh, Dr. KH. Fachrurrozi M.Ag, mengupas tuntas perbedaan fundamental antara pribadi sholih dan mushlih.

Secara sederhana, KH. Fachrurrozi menjelaskan bahwa seorang yang sholih adalah pribadi yang saleh dan melakukan kebaikan untuk dirinya sendiri.

Namun, seorang mushlih mengambil satu langkah lebih jauh; ia tidak hanya baik untuk dirinya, tetapi juga aktif berupaya memperbaiki dan menyerukan kebaikan kepada orang lain. 

Tantangan Seorang Penyeru Kebaikan

Tantangannya? Ternyata ada pada penerimaan sosial. Mengutip pandangan Imam Ibnu Qudamah, KH. Fachrurrozi menyampaikan sebuah fakta yang cukup menohok.

“Orang baik itu banyak disukai, penyeru kebaikan justru banyak dibenci,” paparnya di hadapan jamaah. 

Ini bukan sekadar teori. Beliau memberikan contoh paling nyata dari kisah Rasulullah SAW. Sebelum diutus sebagai Rasul, beliau adalah pribadi sholih yang begitu dipercaya dan dicintai kaumnya dengan gelar Al-Amin.

Namun, situasinya berbalik 180 derajat ketika Allah mengangkatnya sebagai seorang mushlih (penyeru kebaikan). Seketika, kaumnya sendiri memusuhinya, memberinya cap sebagai tukang sihir, pendusta, hingga orang gila. 

Mengapa Menjadi ‘Mushlih’ Itu Penting?

Lalu, jika jalannya begitu terjal, mengapa seseorang harus berjuang menjadi mushlih?
Jawabannya, menurut KH. Fachrurrozi, terletak pada nilai di sisi Allah. “Satu penyeru kebaikan lebih dicintai Allah daripada ribuan orang baik (yang tidak menyeru kebaikan),” tegasnya. 
Alasannya pun sangat mendalam.

Ia menjelaskan bahwa melalui para mushlih inilah Allah menjaga sebuah umat dari kerusakan dan musibah. Sementara seorang yang sholih saja, cakupan kebaikannya hanya cukup untuk menjaga dirinya sendiri. 

Lantas, bagaimana cara untuk menapaki jalan menjadi pribadi sholih dan mushlih sekaligus? Kuncinya, menurut KH. Fachrurrozi, adalah dengan berinteraksi secara intensif dengan Al-Qur’an. 

Interaksi ini memiliki dua pilar utama: Ta’allumuhu (mempelajarinya untuk diri sendiri) dan Ta’limuhu (mengajarkannya kepada orang lain). Proses ini kemudian disempurnakan dengan Tarbiyatun nafsi bihi (mendidik jiwa dengannya), At taslimu li ahkamihi (tunduk patuh pada hukum-hukumnya), Ad da’watu ilaihi (aktif mendakwahkannya), dan Iqomatuhu fil ardli (berjuang menegakkannya di muka bumi). 

Paparan kajian Islam ini seolah menjadi refleksi bagi jamaah yang hadir. Pesan utamanya jelas: menjadi orang baik itu adalah keharusan, tetapi dunia ini membutuhkan lebih dari itu. Dunia membutuhkan para mushlih, para penyeru kebaikan, yang bersedia mengambil peran aktif untuk perbaikan bersama, meski jalan itu tak selamanya ditaburi bunga.

Kontributor:

MPI PDM Kota Semarang

Editor:

Adib Abyan Alb

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top