Oleh: Prof. Dr. Ahwan Fanani, Pakar Budaya dan Kajian Islam UIN Walisongo Semarang
Kita hidup di zaman serba cepat. Semua ingin segera, semua ingin instan. Kesabaran kerap disalahpahami sebagai kelemahan, sebuah sikap pasif yang identik dengan menyerah. Tapi benarkah demikian?
Ada sebait kebijaksanaan Jawa yang justru menegaskan kebalikannya: “Sabar iku subur.” Sebuah paradoks yang menarik, bukan? Bagaimana mungkin menahan diri, mengendalikan keinginan, justru bisa menumbuhkan sesuatu yang baik, bahkan melimpah? Mari kita coba selami makna di baliknya.
Sabar, yang akar katanya dari bahasa Arab, menunjuk pada kemampuan menahan, mengendalikan diri. Sementara subur, kita tahu, adalah tentang tumbuh dengan baik, berbuah, dan menghasilkan. Manusia, kita semua mafhum, adalah makhluk dengan naluri yang riuh. Selalu ingin segera dipenuhi, cepat-cepat meraih apa saja, tak sabar mengecap segala yang diinginkan.
Namun, ketika kita pasrah begitu saja pada gejolak nafsu, acapkali kita justru terperosok. Kita bisa kehilangan nilai-nilai agung, bahkan mungkin gagal meraih prestasi yang seharusnya besar.
Di sinilah sabar iku subur menemukan konteksnya: mereka yang bisa mencapai kemuliaan, kesejahteraan, dan pertumbuhan optimal, adalah mereka yang bersabar.
Lalu, muncullah adagium lain: “Sing waras ngalah.” Yang waras mengalah. Apakah sabar sama persis dengan mengalah? Tidak sepenuhnya. Mengalah, sejatinya, adalah salah satu wujud, salah satu ekspresi dari kesabaran. Sebuah penundukan diri, bukan dalam arti kalah, melainkan dalam arti mengendalikan diri dari desakan-desakan yang tidak sehat, dari kehendak-kehendak destruktif.
Rasulullah pernah bersabda, “Bukanlah orang yang kuat itu karena menang gulat… tapi orang yang kuat adalah orang yang bisa memiliki dirinya ketika dia dalam kondisi marah.”
Sebuah definisi kekuatan yang bukan tentang otot, melainkan tentang olah jiwa. Sabar, di sini, menjadi kunci, patokan, dan alat bagi kita untuk mengembangkan diri sebaik-baiknya.
Salah satu jalan menuju sabar adalah takwa. Dan salah satu bentuk perwujudan takwa adalah puasa. Puasa, dalam bahasa agama maupun dalam pemahaman kolektif kita, adalah kunci kesuksesan. Leluhur kita, ketika ingin mencapai kedigdayaan, caranya adalah dengan puasa prihatin. Menahan diri dari kemilau dunia, dari gemuruh keinginan.
Dalam Islam, kita pun berpuasa, berharap pahala besar dan hikmah yang tinggi. Karena puasa, pada intinya, adalah perwujudan sabar itu sendiri. Sebuah latihan intensif untuk mengendalikan diri, menahan lapar, haus, dan gejolak hawa nafsu.
Tiga Jenis Sabar
Namun, sabar bukanlah entitas tunggal yang monoton. Ia punya banyak rupa, banyak ragam. Setidaknya ada tiga jenis sabar yang saling melengkapi. Pertama, sabar dalam ketaatan. Sabar yang menuntut keaktifan, seperti menjalankan perintah-perintah agama. Sebuah penundukan diri pada kehendak Ilahi, diwujudkan melalui tindakan nyata dan konsisten.
Kedua, ada sabar yang lebih bersifat pasif. Sabar ketika musibah datang menghampiri. Ketika derita menyapa atau kehilangan menganga, cukup bagi kita untuk pasrah, mengucapkan Inna lillahi wa inna ilaihi raji’un. Sebuah penyerahan diri total kepada Sang Pemilik Kehidupan.
Dan ketiga, sabar dalam pengertian “sing waras ngalah”: sabar dalam menahan diri dari maksiat, dari kehendak-kehendak yang destruktif. Sebuah pertempuran batin melawan godaan, melawan bisikan-bisikan yang menjerumuskan. Ini adalah sabar yang menjaga, sabar yang membentengi.
Ketika ketiga ragam sabar ini – sabar dalam taat, sabar dalam menghadapi musibah, dan sabar dalam menahan diri dari maksiat – bersatu padu dalam diri seorang insan, barulah ia akan benar-benar menjadi subur. Bukan sekadar subur dalam harta, tapi subur dalam batin, dalam kebijaksanaan, dalam kebermanfaatan. Ia akan tumbuh menjadi pribadi yang teguh di tengah badai, lapang dada di tengah derita, dan mulia di tengah goda.
Maka, renungkanlah kembali: di tengah hiruk pikuk kehidupan yang menuntut serba cepat ini, mungkin kesabaran bukanlah tentang menunggu, melainkan tentang membangun. Membangun kekuatan diri yang tak tergoyahkan, hingga akhirnya, benih-benih diri kita benar-benar mampu tumbuh, berbuah, dan menjelma subur dalam segala makna. Sebuah kunci kebahagiaan yang abadi, selalu ada di genggaman mereka yang bersabar.
*Konten ini juga bisa ditonton di channel youtube @attaqwa_ngaliyan di link: https://www.youtube.com/watch?v=CK0RzOokxL0&t=20s