Tingkatkan Seni Bela Diri, Ekstrakulikuler Tapak Suci Jadi Kegiatan Rutin SD Muhammadiyah 11 Semarang

Kegiatan ekstrakulikuler tapak suci di SD Muhammadiyah 11 Semarang


MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – SD Muhammadiyah 11 Semarang memiliki beberapa ekstrakulikuler yang bisa diikut oleh siswa, salah satunya yaitu seni bela diri yang biasa disebut tapak suci. Kegiatan ekstrakulikuler tapak suci rutin diadakan pada hari Rabu sore setiap pekannya di halaman sekolah SD Muhammadiyah 11, Jl. Tambak Dalam Raya no 89, Kel. Sawah Besar, Kec. Gayamsari.


Tapak suci merupakan ekstrakurikuler bela diri yang berasal dari Muhammadiyah, salah satu tujuan dari ekstrakurikuler ini yakni siswa siswi mampu mengendalikan dan memiliki kontrol diri dari berbagai hal-hal yang merugikan serta menumbuhkan sikap sportif dan saling menghargai antar siswa.


Kepala sekolah SD Muhammadiyah 11 Semarang, Noor Yulianingsih S.Pd. mengatakan bahwa ekstrakurikuler Tapak Suci ini akan terus melakukan latihan demi menunjang kepercayaan diri para siswa dan membantu siswa tersebut dalam mengontrol emosi dalam diri nya. Tapak suci  merupakan seni bela diri yang mampu membantu siswa yang mengikutinya dapat mengendalikan diri dari hal-hal yang tidak baik, dan dapat meningkatkan rasa percaya diri.


Disamping adanya latihan fisik, keilmuan serta usaha meningkatkan kemampuan, para pesilat yang aktif nantinya akan mengikuti beberapa event, atau lomba yang akan diadakan. Semua ini dilakukan untuk membantu para pesilat dalam meningkatkan prestasi. Dengan demikian Tapak Suci ini akan menjadi organisasi ekstrakurikuler yang terus memberikan dan menciptakan prestasi unggul bagi para pesilat, sehingga menjadi contoh teladan dalam kehidupan bermasyarakat.




Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Hidup Sehat Ala Rasulullah




MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Kesehatan merupakan sesuatu hal yang penting harus selalu dijaga dan perhatikan. Karena kesehatan merupakan nikmat besar kedua setelah iman. Untuk melaksanakan amalan atau ibadah dibutuhkan fisik yang kuat. Seperti dalam melaksanakan haji ini sangat membutuhkan fisik yang sehat dan kuat, sholat, puasa, dan ibadah-ibadah yang lain.

Ustadz Amiril Edi Pramono M.Ag. ketika menjadi narasumber dalam kajian AMM Gayamsari

Ustadz Amiril Edi Pramono M.Ag. ketika memberikan tausiah dalam kajian AMM Gayamsari menceritakan bahwa melihat riwayat kehidupan Rasulullah hanya pernah sakit dua kali, yaitu saat Rasulullah diracun sama orang Yahudi dan saat menjelang wafat. Dalam salah satu sunnah-Nya, ia mengingatkan agar selalu menjaga diri dan berusaha untuk sehat.


Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari menyebutkan :

نِعْمَتَانِ مَغْبُونٌ فِيهِمَا كَثِيرٌ مِنْ النَّاسِ الصِّحَّةُ وَالْفَرَاغُ

Artinya : Banyak manusia merasa rugi dalam dua nikmat, kesehatan dan waktu luang.


Dalam hadits tersebut menjelaskan bahwa iman yang kuat ditambah fisik yang mumpuni bisa membawa kebaikan lain, seperti mendatangkan ide-ide yang baik, kemampuan memecahkan masalah dan menjalankan ibadah dengan lebih siap. Semakin baik kondisi seseorang yang disertai iman yang kuat, maka akan semakin dicintai Allah Ta’ala.


Ustadz Amiril Edi Pramono juga menyampaikan tentang cara hidup Rasulullah sehingga dapat menjaga kesehatan tubuhnya. Antara lain sering mengkomsumsi makanan halal dan bergizi, sering mengkomsumsi madu dan kurma, makan saat lapar dan berhenti sebelum kenyang, tidur malam yang cukup dan posisi tubuh miring ke kanan, menjaga kebugaran dengan berolahraga, berpuasa, serta selalu berpikir positif.


Sebagai penutup ustadz Amiril Edi Pramono menyampaikan bahwa Islam sangat mementingkan kesehatan dan menempatkannya sebagai nikmat teratas dan terbesar dalam urutan nikmat yang diterima manusia. Nikmat tersebut wajib kita syukuri, dengan cara menggunakannya untuk berbuat baik, seperti menolong orang kesusahan, memperbanyak ibadah, meningkatkan ilmu pengetahuan, bersilaturahmi, dan seluruh amal saleh yang mendatangkan manfaat baik bagi diri sendiri maupun bagi orang lain.





Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Hal-Hal Yang Merusak Persaudaraan

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Ranting Muhammadiyah Siwalan secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi staf AUM, pengajar dan masyarakat sekitar pada hari Kamis malam bakda maghrib setiap pekannya. Bertempat di PAUD Terpadu Aisyiyah Jl. Plewan III no 81 RT 08 RW 03 Kelurahan Siwalan Kecamatan Gayamsari. Untuk tanggal 10 Februari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber Ustadz Rizky Febriansyah. Beliau menjabat sebagai anggota di Pimpinan Cabang Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah Kota Semarang, yang akan menyampaikan tema “Hal-Hal Yang Merusak Persaudaraan”.

Ustadz Rizky Febriansyah ketika menjadi narasumber di kajian PRM Siwalan

Ada dua macam ikhwân atau saudara dalam Islam; (1) Ikhwânul Tsiqah dan (2) Ikhwânul Mukâsyarah. Saudara-saudara kita yang tsiqah adalah saudara sejati dan saudara yang seperti ini, sangat jarang adanya. Terhadap ikhwân tsiqah (saudara-saudara yang dapat dipercaya) ini kita bisa mempercayainya, kita sembunyikan rahasianya dan celanya dan tampakkan keindahannya. Adapun saudara-saudara kita yang tergolong ikhwân mukâsyarah (ikhwân yang tidak dapat dipercaya) kita berinteraksi dengan mereka hanya sebatas teman gaul biasa, kita akan mendapatkan senang kita dari mereka, kita bisa curahkan keramahan wajah dan kemanisan lidah kepada mereka sebagaimana mereka juga berbuat demikian kepada kita dan kita tidak bisa menuntut lebih dari itu.

Sebagaimana firman Allah didalam surat Al-Hujurat ayat 10 :

اِنَّمَا الْمُؤْمِنُوْنَ اِخْوَةٌ فَاَصْلِحُوْا بَيْنَ اَخَوَيْكُمْ وَاتَّقُوا اللّٰهَ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُوْنَ

Terjemah Arti : Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat rahmat.

Serta didalam surat Al-Hijr ayat 47 :

وَنَزَعْنَا مَا فِيْ صُدُوْرِهِمْ مِّنْ غِلٍّ اِخْوَانًا عَلٰى سُرُرٍ مُّتَقٰبِلِيْنَ

Terjemah Arti : Dan Kami lenyapkan segala rasa dendam yang ada dalam hati mereka; mereka merasa bersaudara, duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan.

Berapa banyak kehidupan yang berubah menjadi keras ketika ikatan persaudaraan telah pupus, ketika sumber-sumber kecintaan karena Allah telah kering, ketika individualisme telah menggeser nilai-nilai persaudaraan, saat itu setiap individu berada dalam kehidupan yang sulit, merasa terpisah menyendiri dari masyarakatnya.

Kebanyakan manusia pada umumnya, perilaku mereka telah tercemari oleh hal-hal yang dapat merusak persaudaraan, yang terkadang mereka menyadari hal tersebut, dan terkadang tidak menyadarinya. Oleh sebab itu, mari kita ikuti penjelasan berikut ini tentang beberapa hal yang dapat merusak persahabatan dan persaudaraan. Sebelumnya, kita ikuti terlebih dahulu beberapa hadits dan perkataan para ulama’ salaf mengenai hubungan persaudaraan.ga mereka menjauh dari kita.

Hal-hal yang dapat merusak ukhuwah (persaudaraan), di antaranya adalah :

1. Tamak dan rakus terhadap dunia

Rasulullah saw. Bersabda,

“Zuhudlah terhadap dunia, Allah akan mencintai kamu. Zuhudlah terhadap apa yang dimiliki oleh manusia, mereka akan mencintai kamu.”(HR Ibnu Majah).

Jika kamu tertimpa musibah, mintalah musyawarah kepada saudaramu dan jangan meminta apa yang engkau butuhkan. Sebab jika saudara atau temanmu itu memahami keadaanmu, ia akan terketuk hatinya untuk menolongmu, tanpa harus meminta atau meneteskan air mata.

2. Maksiyat dan meremehkan ketaatan

Jika di dalam pergaulan tidak ada nuansa dzikir dan ibadah, saling menasehati, mengingatkan dan memberi pelajaran, berarti pergaulan atau ikatan persahabatan itu telah gersang disebabkan oleh kerasnya hati dan hal itu bisa mengakibatkan terbukannya pintu-pintu kejahatan sehingga masing-masing akan saling menyibukkan diri dengan urusan yang lain. Padahal Rasulullah saw. Bersabda,

“Seorang muslim adalah saudara bagi muslim yang lain, tidak mendzoliminya dan tidak menghinakannya. Demi Dzat yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, Tidaklah dua orang yang saling mengasihi, kemudian dipisahkan antara keduanya kecuali hanya karena satu dosa yang dilakukan oleh salah seorang dari keduanya.”(HR Ahmad).

Ibnu Qayim, dalam kitab “Al-Jawabul Kafi” mengatakan, “Di antara akibat dari perbuatan maksiyat adalah rasa gelisah (takut dan sedih) yang dirasakan oleh orang yang bermaksiyat itu untuk bertemu dengan saudara-saudaranya.”

Orang-orang ahli maksiyat dan kemungkaran, pergaulan dan persahabatan mereka tidak dibangun atas dasar ketakwaan melainkan atas dasar materi sehingga akan dengan mudah berubah menjadi permusuhan. Bahkan hal itu nanti akan menjadi beban di hari kiamat.

Para jamaah yang khusyu mendengarkan tausiah dari ustadz Rizky Febriansyah

3. Tidak menggunakan adab (tata karma) yang baik (syar’i) ketika berbicara.

Ketika berbicara dengan saudara atau kawan, hendaknya seseorang memilih perkataan yang paling baik. Sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Isra ayat 53 :

وَقُلْ لِّعِبَادِيْ يَقُوْلُوا الَّتِيْ هِيَ اَحْسَنُۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ يَنْزَغُ بَيْنَهُمْۗ اِنَّ الشَّيْطٰنَ كَانَ لِلْاِنْسَانِ عَدُوًّا مُّبِيْنًا

Terjemah Arti : Dan katakanlah kepada hamba-hamba-Ku, “Hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang lebih baik (benar). Sungguh, setan itu (selalu) menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sungguh, setan adalah musuh yang nyata bagi manusia.

Dalam sebuah hadis Nabi saw. Bersabda,

“Kalimah thayibah(baik) adalah shadaqah.”(HR Bukhari).

4. Banyak berdebat dan berbantah-bantahan.

Terkadang hubungan persaudaraan terputus karena terjadinya perdebatan yang sengit yang bisa jadi itu adalah tipuan setan. Dengan alasan mempertahankan akidah dan prinsipnya padahal sesungguhnya adalah mempertahankan dirinya dan kesombongannya. Rasulullah saw. Bersabda,

“Orang yang paling dibenci di sisi Allah adalah yang keras dan besar permusuhannya.”(HR Bukhari dan Muslim).

Orang yang banyak permusuhannya adalah yang suka menggelar perdebatan, adu argumen dan pendapat.

Tetapi debat dengan cara yang baik untuk menerangkan kebenaran kepada orang yang bodoh, dan kepada ahli bid’ah, hal itu tidak masalah. Tetapi, jika sudah melampaui batas, maka hal itu tidak diperbolehkan. Bahkan jika perdebatan itu dilakukan untuk menunjukkan kehebatan diri, hal itu malah menjadi bukti akan lemahnya iman dan sedikitnya pengetahuan. Jadi, bisa saja dengan perdebatan ini, tali ukhuwah akan terurai dan hilang. Sebab masing-masing merasa lebih kuat hujjahnya dibanding yang lain.

5. Berbisik-bisik (pembicaraan rahasia)

Berbisik-bisik adalah merupakan hal yang sepele tetapi mempunyai pengaruh yang dalam bagi orang yang berfikiran ingin membina ikatan persaudaraan. Sebagaimana firman Allah didalam surat Al-Mujadalah ayat 10 :

اِنَّمَا النَّجْوٰى مِنَ الشَّيْطٰنِ لِيَحْزُنَ الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَلَيْسَ بِضَاۤرِّهِمْ شَيْـًٔا اِلَّا بِاِذْنِ اللّٰهِ ۗوَعَلَى اللّٰهِ فَلْيَتَوَكَّلِ الْمُؤْمِنُوْنَ

Terjemah Arti : Sesungguhnya pembicaraan rahasia itu termasuk (perbuatan) setan, agar orang-orang yang beriman itu bersedih hati, sedang (pembicaraan) itu tidaklah memberi bencana sedikit pun kepada mereka, kecuali dengan izin Allah. Dan kepada Allah hendaknya orang-orang yang beriman bertawakal.

Rasulullah bersabda,

“Jika kalian bertiga, maka janganlah dua orang di antaranya berbisik-bisik tanpa mengajak orang yang ketiga karena itu akan bisa menyebabkannya bersedih.”(HR Bukhari dan Muslim).

Para ulama berkata, “Setan akan membisikkan kepadanya dan berkata, ‘Mereka itu membicarakanmu’.” Maka dari itu para ulama mensyaratkan agar meminta idzin terlebih dahulu jika ingin berbisik-bisik (berbicara rahasia).

Kantor Layanan Lazismu Gayamsari di kompleks masjid At-Taqwa Al-Mukaramah

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :

Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari

Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214

Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663

Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari    0812 1544 6504
Zubad Ismail                        0822 2076 7183

Penulis : Rizky Febriansyah
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Fiqih Sunnah Bab Shalat Berjamaah

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Cabang Muhammadiyah Gayamsari secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi staf AUM, pengajar dan masyarakat sekitar pada hari Ahad pada pekan ke-1,3,dan 4/5 setiap bulannya. Bertempat di masjid At-Taqwa Al-Mukaramah Jl. Medoho Seruni no 24, Sambirejo. Untuk tanggal 6 Februari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadz Dr. H. Ahmad Furqon Lc.MA. yang dalam kajian ini akan menyampaikan tema “Fiqih Sunnah Bab Shalat Sunnah”

Ustadz Dr. H. Ahmad Furqon Lc.MA. ketika menjadi narasumber di kajian ahad pagi PCM Gayamsari

Terlalu banyak hadits Nabi SAW yang menekankan penting dan utamanya shalat wajib berjamaah apalagi dilaksanakan tepat waktu (yakni diawal waktu) di masjid. Sedangkan Allah SWT kadang menggandengkan perintah shalat berjamaah setelah menyebutkan perintah shalat dan zakat. Sebagaimana firman Allah didalam surat Al-Baqarah ayat 43 :

وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ

Terjemah Arti : Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.

Disana ada nilai ukhuwah, kebersamaan dan silaturahmi antar sesama saudara muslim, ada nilai gerakan meninggalkan kemalasan, dan masih banyak manfaat yang bisa diperoleh sehingga orang yang melangkahkan kakinya untuk berjamaah di masjid menurut Nabi SAW akan dinaikkan derajatnya oleh Allah hingga 25 atau 27 derajat, dihapuskan kesalahannya dan senantiasa didoakan malaikat supaya Allah memberikan shalawat dan kasih sayang kepadanya (HSR. Al Bukhari, Muslim dll)

Sedemikian pentingnya sahalat berjamaah sehingga Nabi SAW sempat punya keinginan untuk membakar rumah orang yang tidak ikut shalat berjamaah padahal dia tidak punya udzur (halangan) untuk berjamaah di masjid (HSR Al-Bukhari dan Muslim). Meskipun ini hanya keinginan Nabi SAW yang tidak pernah dan tidak noleh diwujudkan, namun hadits diatas hanya ingin menunjukkan pentingnya shalat berjamaah di masjid bagi mukmin padahal tidak ada udzur, seperti : karena sakit, hujan, jarak rumah jauh dari masjid, atau kesibukan yang luar biasa yang tidak mungkin untuk ditinggalkan, dan semacamnya. Bahkan sekiranya sudah shalat dirumah, namun ternyata masih mendapatkan shalat berjamah di masjid, maka Nabi SAW menganjurkan untuk tetap ikur berjamaah. Hal ini didasarkan pada kasus dua orang yang duduk disisi masjid, dan tidak ikut shalat berjamaah diwaktu shubuh sehingga Nabi SAW bertanya kepada mereka “Apa yang mencegahmu sehingga kalian tidak ikut shalat bersama kami?” Kata keduanya : “Kami sudah shalat dirumah Kami” Maka beliaupun berkata kepada keduanya :

وَإِ لَّا ف صَلاَةَ اللَّا جُلِ مَعَ اللَّا جُلِ أَزْ ى مِنْ صَلاَتِوِ وَ دَهُ وَصَلاَتُوُ مَعَ اللَّا جُلَ أَزْ ى مِنْ صَلاَتِوِ مَعَ اللَّا جُلِ وَمَا ثػ فَػ وَ أَ بُّ إِلَذ الللَّاوِ تَػعَالَذ

Terjemahan : “Sesungguhnya shalat seseorang dengan satu orang lebih utama daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang lebih utama daripada shalatnya bersama satu orang. Jika lebih banyak, maka lebih dicintai Allah Swt”. (HR. Abu Daud).

Hadits diatas menunjukkan pentingnya shalat berjamaah walaupun kita tahu bahwa pada asalnya tidak ada shalat sunnah setelah shalat Subuh kecuali bagi yang biasa merutinkan shalat sunnah Fajar dan bagi orang yang masih mendapatkan shalat jamaah Subuh walaupun sudah shalat subuh dirumahnya.

Namun jika memang tidak sempat shalat berjamaah di masjid maka upayakan tetap shalat berjamaah dimanapun dengan mmprioritaskan “tuan rumah” sebagai imam shalat, kecuali tuan rumah mempersilakan orang yang lebih layak untuk menjadi imam. Jika ada yang merasa dirinya paling layak untuk menjadi imam shalat menurut kriteria al-sunnah, maka sebaiknya tetap minta izin pada tuan rumah untuk menjadi imam shalat. Hal ini karena Nabi SAW sendiri minta izin untuk mengimami shalat dirumah sahabatnya : Itban bin Malik sebelum maju mengimami mereka (HR. Al-Bukhari, 1/175 : 686)

Masjid At-Taqwa Al-Mukaramah, tempat berlangsungnya kajian Ahad Pagi PCM Gayamsari

Kriteria Imam Shalat

Hal yang termasuk penting dalam membangun jamaah namun sering disepelekan oleh jamaah adalah masalah imam shalat. Kadang kita temukan imam yang diajukan oleh jamaah adalah orang yang paling tua meskipun secara hafalan Al-Quran dan kefasihannya masih ada yang lebih baik.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan :

الإِمَامُ ضَامِنٌ

Terjemahan : “Fungsi imam adalah sebagai penjamin”

Jika ia bisa memimpin sholat dengan baik, maka baginya dan para makmum pahala yang sempurna, akan tetapi jika imam ada kesalahan, maka kesalahan tersebut ditanggung oleh imam sendiri dan bagi makmum pahala yang sempurna.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan petuah :

يُصَلُّونَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ [ولهم]، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

Terjemahan : “Jika para imam yang shalat dengan kalian itu benar maka pahala bagi kalian semua, akan tetapi jika mereka melakukan kesalahan, bagi kalian pahalanya, kesalahannya hanya ditanggung oleh para imam tersebut”

Oleh karena itu mengetahui apa saja syarat menjadi imam shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, dan jangan sampai ada seorang yang bodoh, tidak tahu-menahu tentang hukum-hukum yang ada dalam sholat jama’ah kemudian maju menjadi imam.

Atau seorang yang tidak tahu tentang rukun, kewajiban dan sunnah-sunnah shalat. saat ia meninggalkan satu rukun, misalkan sujud, dia bingung apa yang harus dilakukan, maka ini juga jangan berani-berani menjadi imam, apalagi disana ada seorang yang lebih faham dengan seluk-beluk terkait imam. Tetap pilihlah seorang yang paling tahu dikalangan jamaah.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyampaikan tentang siapa yang paling berhak menjadi imam dalam hadist riwayat Imam Muslim no 673 dari sahabat Abu Mas’ud Al-Anshari :

عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِيالْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ» قَالَ الْأَشَجُّ فِي رِوَايَتِهِ: مَكَانَ سِلْمًا سِنًّا،

Terjemahan : “Dari Abu Mas’ud Al-Anshari rhadiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur : Yang paling berhak untuk menjadi imam adalah orang yang paling pintar dan paling banyak hafalan Al-Qur’annya, jika dalam hal itu sama, maka dahulukan yang paling faham dengan sunnah, jika pengetahuan sunnah (dari para kandidat imam) sama, maka dahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah, jika dalam waktu hijrah juga sama, dahulukan orang yang paling dahulu islamnya, dan janganlah seorang mengimami seorang yang memiliki kekuasaan, dan jangan seorang duduk dibangku kemulian milik seseorang kecuali dengan izinnya.” Berkata Al-Asyaj  dalam suatu riwayat : kata “lebih dahulu islamnya” diganti dengan “lebih tua umurnya”.

Pada hadits ini, disebutkan dengan sangat jelas, urutan siapa saja yang paling berhak untuk menjadi imam. Dalam hadits ini, setidaknya mengumpulkan lima kriteria atau syarat menjadi imam shalat:

1. Kesempurnaan bacaan Al-Qur’an dan banyaknya hafalan
2. Pengetahuan terhadap sunnah (hadits-hadits)
3. Waktu Hijrah
4. Waktu masuk islam
5. Umur

Kita bahas yang pertama,

((Kesempurnaan bacaan Al-Qur’an dan banyaknya hafalan)), ini diambil dari sabda beliau ((أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ)). Dan para ulama menjelaskan makna ((أَقْرَأُ)) mencakup dua hal.

Yang Pertama seorang yang paling banyak hafalannya. Sebagaimana dalam hadist.

لَمَّا قَدِمَ المُهَاجِرُونَ الأَوَّلُونَ العُصْبَةَ – مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ – قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا

Terjemahan : “diawal kedatangan kaum muhajirin di daerah usbah (sebuah daerah di Quba) sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang menjadi imam sholat adalah salim maula abu hudzaifah, dan ketika itu, dialah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya ” (Al-Bukhari No. 692)

Yang kedua, kata ((أَقْرَأُ)) memiliki makna, yang paling bagus bacaan dan tajwidnya. Sebagaimana dijelaskan dalam komisi fatwa saudi arabia no 19048 pertanyaan no 4, tentang makna ((أَقْرَأُ)) ini. mereka berkata :

المراد بذلك: أحسنكم تلاوة، وترتيلا للقرآن، ويراد به أيضا: أكثركم قرآنا، فمن كان أحسن تلاوة وترتيلا للقرآن وأكثر حفظا للقرآن، فهو أولى بالإمامة ممن هو أقل منه في ذلك، لا سيما إذا كان فقيها في صلاته.

“Maksudnya adalah seorang yang paling bagus bacaannya, paling tartil, dan kata tersebut juga memiliki makna ‘yang paling banyak hafalannya’

jika ada seorang yang bacaannya bagus, tartil dan banyak hafalan maka ia yang paling berhak untuk menjadi imam dari selainnya, lebih-lebih lagi jika ia seorang yang faham dengan seluk-beluk shalat”

Catatan : seorang yang tartil bacaannya dan banyak hafalannya paling berhak untuk menjadi imam. Dengan catatan, bahwa dia adalah seorang yang mengerti fikih dan hukum-hukum syareat yang berkaitan dengan shalat. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari Juz 2 Hal 171.

Kemudian Yang Kedua : Pengetahuan Terhadap Sunnah

Jika kriteria pertama, banyaknya hafalan dan tartilnya bacaan dimiliki oleh banyak orang, dan harus memilih salah satunya, maka kita memilih orang yang paling tahu dengan sunnah.

Maksud dari “paling tahu terhadap sunnah” adalah orang yang paling faham dengan hukum-hukum agama, baik sholat, puasa, zakat, haji dan lainnya.

Kemudian Yang Ketiga : Waktu Hijrah

Maksudnya adalah siapakah yang lebih dahulu berpindah dari negri kafir menuju negri islam.

Dan dahulu, yang beliau maksud adalah seorang yang lebih dahulu berhijrah menuju nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak menjadi imam jika mereka sama dalam dua kriteria yang pertama dan kedua.

Kemudian Yang Keempat : Waktu Islam

Jika dalam suatu daerah ada seorang yang hafalan dan bacaan Al-Qur’annya sama, begitu juga dengan ilmu fiqihnya serta waktu hijrahnya, maka didahulukan orang yang paling dahulu masuk islam.

Kemudian Yang Kelima : Umur

Jika empat kriteria diatas dimiliki oleh semua kandidat, maka didahulukan orang yang paling tua umurnya.

Faedah lain dari hadist :

Yang pertama :

وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ

Terjemahan : “Dan janganlah (seorang tamu) mengimami tuan rumah“

Maksudnya adalah seorang jika sedang bertamu pada suatu masjid, dan dia juga seorang imam dimasjid kotanya, maka tamu ini, tidak boleh maju menjadi imam, kecuali jika dipersilahkan. Dan hadist ini juga difahami, bahwa pemimpin negara jika datang pada suatu daerah, maka ia lebih berhak menjadi imam dari pada yang lainnya. Begitu juga, jika ada suatu udzur yang menyebabkan beberapa orang sholat berjamaan dirumah, maka yang paling berhak adalah tuan rumahnya. Akan tetapi yang perlu dicatat dalam hal ini adalah pemimpin negara, tuan rumah, dan yang semisalnya tersebut seorang yang pantas (memiliki fiqih) untuk menjadi imam.

Yang Kedua :

Seorang muslim saat bertamu, diharamkan untuk duduk ditempat yang biasanya dikhususkan untuk pemilik rumah.

Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ

Terjemahan : “…dan jangan seorang duduk dibangku kemulian milik seseorang kecuali dengan izinnya”

Setelah kita mengetahui siapa yang berhak menjadi imam, ada sebuah hadist yang hendaknya diperhatikan oleh seorang imam.

Hadits yang dimaksud adalah hadist Abu Hurairah rhadiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (703) dan Imam Muslim (467)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ, فَإِنَّ فِيهِمْ الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ, فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ

Terjemahan : “Jika kalian menjadi imam, ringankanlah sholat mu, karena diantara makmu ada anak kecil, orang tua / jompo, orang lemah/sakit atau orang yang sedang dikejar waktu. Adapun jika ia sholat sendiri, silahkan memperpanjang sholatnya sesuai keinginannya.”

Para ulama mengatakan bahwa perintah dalam hadist ini tidak bermaksud wajib. Akan tetapi hanya sunnah. Dan maksud dari meringankan sholat adalah : meringankan yang tidak sampai menghilangkan atau mengurangi kesempurnaan sholat. Dalam artian seorang imam harus tumakninah dalam gerakan dan bacaannya. Kemudian, jika dalam jamaah itu sudah terbiasa sholat panjang, maka boleh-boleh saja imam memanjangkan bacaan dan shalatnya. Hendaknya imam, selalu melihat kondisi yang ada saat itu, apakah dia harus meringankan shalat atau memanjangkannya. Dan jika para makmum tidak ada orang-orang yang memiliki udzur sebagaimana diatas, maka boleh-boleh saja bagi imam untuk memanjangkan shalatnya.

Kesimpulannya, seorang imam melihat keadaan kemudian memutuskan dengan bijak. Sehingga tidak membuat shalat rusak karena meninggalkan tumakninah atau hal yang semisal, juga tidak terlalu panjang sehingga para makmum menjadi bosan, dan malas sholat berjamaah.

Jadilah Imam & Makmum Yang Bijaksana

Seorang imam dituntut untuk bijaksana dalam menentukan panjang pendeknya shalat. Jangan sampai ia mengimami dengan membaca surat yang sangat panjang Al-Baqarah misalkan. Jika ini terjadi tentu masyarakat kita akan merasa berat, karena sebagian mereka sudah terbiasa membaca yang pendek, diantara mereka mungkin ada yang saat shalat hanya membaca qul (An-Naas, Al-Falaq atau Al-Ikhlas). Sehingga seorang imam sangat dituntut untuk bijak.

Sebagaimana dalam sebuah hadist Abu Hurairah rhadiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (703) dan Imam Muslim (467)

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :

إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ, فَإِنَّ فِيهِمْ الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ, فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ

Terjemahan : “Jika kalian menjadi imam, ringankanlah sholat mu, karena diantara makmum ada anak kecil, orang tua / jompo, orang lemah / sakit atau orang yang sedang dikejar waktu. Adapun jika ia sholat sendiri, silahkan memperpanjang sholatnya sesuai keinginannya”

Lalu apa yang harus dibaca oleh imam saat shalat setelah membaca Al-Fatihah. Apakah ada saran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan pemilihan surat ? apakah ada standar dalam panjang pendek nya shalat ?

Dahulu sahabat Mu’adz bin Jabal rhadiyallahu ‘anhu pernah menjadi imam, ketika itu beliau membaca surat yang sangat panjang. Sampai-sampai ada jamaahnya yang meninggalkan mu’adz rhadiyallahu ‘anhu dan meneruskan shalatnya sendiri kemudian ia salam dan pergi.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengetahui hal ini sangat mengingkari perbuatan mu’adz rhadiyallahu ‘anhu dengan keras. Lalu beliau memberikan nasihat :

إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى

Terjemahan : “(wahai muadz) jika engkau menjadi imam (setelah Al-Fatihah) bacalah surat Asy-syams, Al-A’la, Al-‘alaq, dan Al-Lail”

Artinya, dalam shalat jamaah seorang imam hendaknya tidak membaca surat yang terlalu panjang, kecuali jika jamaah telah terbiasa dan tidak menimbulkan fitnah.

Akan tetapi bagi seorang makmum juga harus mengetahui, bahwa imam boleh saja membaca surat-surat yang cukup panjang seperti At-Tur, dan dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami dengan membaca surat At-Tur, Jubair bin Muth’im dalam hadits Al-Bukhari (765) dan Muslim (463) bercerita :

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ g يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ

Terjemahan : “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat At-Tur dalam shalat maghribnya ”

Dan dalam riwayat hadist yang lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memanjangkan shalat dhuhur, memendekan sholat ashar, pada saat magrib beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat-surat pendek, pada sholat isya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat yang sedang, dan pada saat shubuh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat yang cukup panjang :

Berikut hadist diriwayatkan oleh Imam An-Nasai (982) dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani,

مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَحَدٍ أَشْبَهَ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فُلَانٍ – قَالَ سُلَيْمَانَ – كَانَ يُطِيلُ الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ، وَيُخَفِّفُ الْأُخْرَيَيْنِ، وَيُخَفِّفُ الْعَصْرَ، وَيَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الْعِشَاء بِوَسَطِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ بِطُوَلِ الْمُفَصَّلِ

Terjemahan : “Aku tidak pernah shalat dibelakang orang yang sholatnya sama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain orang ini” (maksudnya : saat menjadi imam, orang ini mirip dengan cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam panjang pendeknya shalat)

Sulaiman (rawi hadist tersebut) berkata : “imam tersebut memanjangkan dua rakaat dhuhurnya, dan meringankan dua rakaat setelahnya, dan pada shalat ashar ia meringankan shalatnya. Saat maghrib beliau membaca surat-surat pendek, saat isya ia membaca surat yang sedang, dan saat shubuh beliau membaca surat yang cukup panjang”

Apa maksud dari surat pendek ?

Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat pendek ini dimulai dari surat Ad-Dhuha sampai surat terakhir, An-Nas,

Apa maksud surat sedang ?

Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat sedang ini dimulai dari surat Abasa hingga surat Ad-Dhuha

Apa maksud surat cukup panjang ?

Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat cukup panjang ini dimulai dari surat Qof hingga surat Abasa

Dari hadist ini, kita tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan shalat dhuhur, meringankan shalat ashar, pada shalat maghrib beliau membaca surat pendek, tapi terkadang membaca surat yang cukup panjang, seperti At-Tur, pada shalat isya’ beliau membaca surat yang sedang, dan saat shalat shubuh beliau membaca surat yang cukup panjang.

Kenapa saat shubuh surat yang dibaca panjang ?

Syaikh Abdullah Al-Fauzan memberikan beberapa alasan diantaranya : Hal itu bermanfaat untuk menunggu jamaah yang belum bangun, agar tidak tertinggal shalat jamaah, lalu shalat shubuh adalah shalat yang hanya dua rakaat, yang ketika karena mereka sudah rilex selepas istirahat semalaman, sehingga nyaman saat mendengar bacaan Al-Qur’an, begitu juga, saat itu bacaan Al-Qur’an disaksikan oleh malaikat oleh sebab itulah shalat shubuh dinamakan Qur’anul Fajr

أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا

Terjemahan : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”

Para jamaah yang khusyu mendengarkan tausiah dari ustadz Dr. H. Ahmad Furqon Lc.MA.

Imam Shalat Perempuan dengan Makmum Laki-laki Dewasa, Bolehkah ?

Imam dalam salat merupakan salah satu syarat bagi terlaksananya salat yang dilakukan secara berjamaah. Tanpa imam,
salat berjamaah tidak akan terselenggara dengan baik. Maka dari itu, untuk kelancaran salat berjamaah perlu ada imam tetap atau imam pengganti. Untuk menetapkan seseorang menjadi imam, baik imam tetap maupun imam pengganti terdapat beberapa kriteria atau syarat yang harus dijadikan acuan.

Kriteria atau syarat yang dimaksud adalah bacaan Alqurannya bagus, memiliki pengetahuan agama, taqwanya tinggi dan paling tua umurnya. Seseorang menjadi imam atau pengganti imam adalah orang yang paling bagus bacaan Alqurannya; jika bacaannya sama, maka yang paling mengetahui tentang sunnah; jika pengetahuannya tentang sunnah sama, maka yang dipilih adalah yang lebih dahulu melakukan hijrah, maka jika tetap sama maka dipilih yang paling tua.

Imam laki-laki untuk jamaah laki-laki dan perempuan tidak menjadi perselisihan dikalangan fuqaha. Namun perempuan menjadi imam bagi laki-laki dalam salat berjamaah menjadi polemik berkepanjangan dan belum ada penyelesaiannya. Sebab tidak ada isyarat yang jelas dalam Alquran yang membolehkan ataupun mengharamkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki.

Imam al-Syafi‘iy (w. 204 H) dalam Kitab al-Umm membahas sebuah judul “Keimaman Wanita Untuk Laki-Laki”, ia menyatakan:

―Apabila wanita menjadi imam salat untuk laki-laki, wanita dan anak-anak lelaki, maka salat makmun wanita sah. Sedangkan salat para makmun laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal ini disebabkan karena Allah swt. menjadikan laki-laki sebagai pemimpin wanita. Allah swt juga tidak menjadikan wanita sebagai wali dan lain-lain; dan wanita dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh menjadi imam salat untuk makmun laki-laki.

Penegasan Imam Syafi‘iy menunjukkan tidak adanya ruang sedikitpun yang diberikan kepada perempuan untuk menjadi imam bagi jamaah laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak. Pada sisi lain, ada ulama yang membolehkan seorang wanita menjadi imam bagi jamaah laki-laki dalam salat berjamaah, seperti Abu Tsaur, al-Muzaniy dan Ibn Jarir al-Thabariy. Munculnya perbedaan tersebut tidak terlepas dari perbedaan sudut pandang para ulama dalam memahami hadis hadis Nabi saw.

Ketika Nabi saw. dan para sahabat menuju perang Badar, Ummu Waraqah ingin berpartisipasi dalam perang tersebut agar ia bisa mati syahid. Ummu Waraqah berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, izinkan saya untuk ikut berperang bersamamu untuk merawat yang sakit dan mengobati orang yang terluka, agar aku bisa tergolong dalam kelompok syahid. Rasulullah menjawab: tinggallah di rumahmu, semoga Allah memberi predikat mati syahid kepadamu.

Karena Ummu Waraqah tidak memperoleh izin untuk berpartisipasi dalam perang Badar, maka ia mohon kepada Rasulullah agar menentukan seorang muazzin yang bertugas mengumandangkan azan di rumahnya. Permintaan Ummu Waraqah dikabulkan oleh Nabi saw. dan sekaligus meminta Ummu Waraqah menjadi imam dalam lingkungan keluarganya. Salat jamaah yang diimami oleh Ummu Waraqah ternyata ada laki-laki tua yang menjadi makmun. Laki-laki itu adalah muazzin yang telah ditunjuk oleh Rasulullah saw.

Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan perempuan menjadi imam dengan makmun laki-laki dewasa. Imam Syafi‘iy menyatakan dengan tegas ketidakbolehan seorang perempuan menjadi imam apabila makmunnya terdiri dari laki-laki, anak laki-laki dan perempuan, tetapi salat yang dilaksanakan oleh perempuan yang menjadi imam tetap sah; sedangkan salat laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Pengikut Imam Malik (Malikiyah) menyatakan perempuan tidak boleh sama sekali menjadi imam untuk lawan jenisnya maupun sesama jenisnya; baik dalam salat sunat maupun salat wajib. Laki-laki merupakan syarat mutlak menjadi imam. Ibn Jarir al-Thabari, Abu Tsaur dan al-Mughni berpendapat bahwa perempuan secara mutlak boleh menjadi imam salat berjamaah. Andi Rasdiyanah Amir berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi imam di rumahnya, walaupun di antara jamaahnya terdapat laki-laki.

Dari berbagai pendapat ulama yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling bisa diterima oleh mayoritas umat Islam yaitu pendapat yang membolehkan perempuan menjadi imam salat jamaah dalam lingkungan keluarganya. Karena hadis tersebut secara tekstual adanya perintah Rasulullah saw. kepada Ummu Waraqah menjadi imam dalam keluarganya, baik laki-laki maupun perempuan. Kebolehan itu disebabkan karena Ummu Waraqah adalah perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang cukup. Hal ini dapat dibuktikan dari ketekunannya dalam beribadah dan selalu membaca Alquran. Bahkan Ummu Waraqah adalah pengumpul Alquran dan menghafalkannya.

Kantor Layanan Lazismu Gayamsari di kompleks masjid At-Taqwa Al-Mukaramah

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :

Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari

Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214

Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663

Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari    0812 1544 6504
Zubad Ismail                        0822 2076 7183

Penulis : Ahmad Furqon
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Tafsir Al-Quran Surat Al-Asr

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Ranting Muhammadiyah Siwalan secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi staf AUM, pengajar dan masyarakat sekitar pada hari Kamis malam bakda maghrib setiap pekannya. Bertempat di PAUD Terpadu Aisyiyah Jl. Plewan III no 81 RT 08 RW 03 Kelurahan Siwalan Kecamatan Gayamsari. Untuk tanggal 3 Februari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber Ustadzah Laela Dwi Setyowati S.Ag. Beliau menjabat sebagai Pimpinan Ranting Aisyiyah Siwalan, yang akan menyampaikan tema “Tafsir Al-Quran Surat Al Asr Ayat 1-3”

Ustadzah Laela Dwi Setyowati S.Ag. ketika menjadi narasumber kajian PRM Siwalan

Dalam salah satu surat di Juz 30 atau Juz Amma ada salah satu surat yang cukup singkat dari segi jumlah ayat. Surat tersebut adalah Al Ashr. Di dalam surat itu ada tiga ayat yang semuanya diturunkan di Kota Makkah Al Mukarromah. Oleh karenanya Surat Al Ashr masuk ke dalam golongan surat Makkiyah.

Surat Al Ashr masuk ke dalam urutan ke 103 di Al Qur’an yang di dalam surat tersebut terkandung sebuah keistimewaan mengenai pentingnya waktu. Hal tersebut terlihat dari setiap ayat yang memberi peringatan tentang waktu dan keselamatan manusia.

mengutip dari Al Qur’an, berikut isi Surat Al Ashr dari ayat 1-3:

وَالْعَصْرِۙ

(1) Demi masa,

اِنَّ الْاِنْسَانَ لَفِيْ خُسْرٍۙ

(2) Sungguh, manusia berada dalam kerugian,

اِلَّا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْا وَعَمِلُوا الصّٰلِحٰتِ وَتَوَاصَوْا بِالْحَقِّ ەۙ وَتَوَاصَوْا بِالصَّبْرِ

(3) Kecuali orang-orang yang beriman dan mengerjakan kebajikan serta saling menasihati untuk kebenaran dan saling menasihati untuk kesabaran.

Tafsir Surat Al-Asr

Melansir tafsir Kementerian Agama, Surat Al Ashr menjelaskan bahwa Allah bersumpah dengan masa yang terjadi di dalamnya bermacam-macam kejadian dan pengalaman yang menjadi bukti atas kekuasaan Allah yang mutlak, hikmah-Nya yang tinggi, dan Ilmu-Nya yang sangat luas. Perubahan-perubahan besar yang terjadi pada masa itu sendiri, seperti pergantian siang dengan malam yang terus-menerus, habisnya umur manusia, dan sebagainya merupakan tanda keagungan Allah.

Dalam ayat lain, Allah berfirman didalam surat Fussilat ayat 37:

وَمِنْ اٰيٰتِهِ الَّيْلُ وَالنَّهَارُ وَالشَّمْسُ وَالْقَمَرُۗ لَا تَسْجُدُوْا لِلشَّمْسِ وَلَا لِلْقَمَرِ وَاسْجُدُوْا لِلّٰهِ الَّذِيْ خَلَقَهُنَّ اِنْ كُنْتُمْ اِيَّاهُ تَعْبُدُوْنَ

Terjemah Arti : Dan sebagian dari tanda-tanda kebesaran-Nya ialah malam, siang, mata-hari dan bulan. Janganlah bersujud kepada matahari dan jangan (pula) kepada bulan, tetapi bersujudlah kepada Allah yang menciptakannya, jika kamu hanya menyembah kepada-Nya.

Para jamaah yang khusyu mendengarkan tausiah dari ustadzah Laela Dwi Setyowati S.Ag.

Apa yang dialami manusia dalam masa itu dari senang dan susah, miskin dan kaya, senggang dan sibuk, suka dan duka, dan lain-lain menunjukkan secara gamblang bahwa bagi alam semesta ini ada pencipta dan pengaturnya. Dialah Tuhan yang harus disembah dan hanya kepada-Nya kita memohon untuk menolak bahaya dan menarik manfaat.

Adapun orang-orang kafir menghubungkan peristiwa-peristiwa tersebut hanya kepada suatu masa saja, sehingga mereka beranggapan bahwa bila ditimpa oleh sesuatu bencana, hal itu hanya kemauan alam saja. Allah menjelaskan bahwa masa (waktu) adalah salah satu makhluk-Nya dan di dalamnya terjadi bermacam-macam kejadian, kejahatan, dan kebaikan. Bila seseorang ditimpa musibah, hal itu merupakan akibat tindakannya. Masa (waktu) tidak campur tangan dengan terjadinya musibah itu.

Dalam ayat kedua, Allah mengungkapkan bahwa manusia sebagai makhluk Allah sungguh secara keseluruhan berada dalam kerugian bila tidak menggunakan waktu dengan baik atau dipakai untuk melakukan keburukan. Perbuatan buruk manusia merupakan sumber kecelakaan yang menjerumuskannya ke dalam kebinasaan. Dosa seseorang terhadap Tuhannya yang memberi nikmat tidak terkira kepadanya adalah suatu pelanggaran yang tidak ada bandingannya sehingga merugikan dirinya.

Dalam ayat ketiga, Allah menjelaskan bahwa jika manusia tidak mau hidupnya merugi, maka ia harus beriman kepada-Nya, melaksanakan ibadah sebagaimana yang diperintahkan-Nya, berbuat baik untuk dirinya sendiri, dan berusaha menimbulkan manfaat kepada orang lain. Di samping beriman dan beramal saleh, mereka harus saling nasihat-menasihati untuk menaati kebenaran dan tetap berlaku sabar, menjauhi perbuatan maksiat yang setiap orang cenderung kepadanya, karena dorongan hawa nafsunya.

Kantor Layanan Lazismu Gayamsari di kompleks masjid At-Taqwa Al-Mukaramah

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :

Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari

Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214

Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663

Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari    0812 1544 6504
Zubad Ismail                        0822 2076 7183

Penulis : Laela Dwi Setyowati
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Bazaar Rakyat Muhammadiyah

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Gayamsari bekerjasama dengan Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah Gayamsari serta disupport oleh Kantor Layanan Lazismu Gayamsari menyelenggarakan “Bazaar Rakyat Muhammadiyah” dengan menyalurkan paket sembako dan beberapa jenis pakaian dan asesories dalam kegiatan yang berlangsung hari Ahad tanggal 30 Januari 2022 di halaman masjid At-Taqwa Al-Mukaramah Jl. Medoho Seruni no 24, Sambirejo. Semarang. 

Kegiatan Bazaar di halaman masjid At-Taqwa Al-Mukaramah, Sambirejo

Bazaar Rakyat dilakukan selain untuk berbagi dengan sesama, sekaligus mengantisipasi peningkatan kebutuhan masyarakat yang umumnya diikuti kenaikan harga kebutuhan pokok dan sembako. Kata ketua Kantor Layanan Lazismu Gayamsari, Zubad Ismail disela kegiatan bazaar saat ikut melayani warga sekitar yang sejak pagi memadati halaman Masjid At-Taqwa Al-Mukaramah, Sambirejo.

Masjid At-Taqwa Al-Mukaramah, tempat berlangsungnya kegiatan Bazaar Rakyat Muhammadiyah

Turut hadir dalam kegiatan bazaar tersebut Ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Gayamsari, bapak Abdullah Muhajir, Ketua Pimpinan Cabang Aisyiyah Gayamsari, ibu Sri Wahyuni , Ketua Pimpinan Cabang Pemuda Muhammadiyah Gayamsari, Murteza Aficena, Ketua Pimpinan Cabang Nasyiatul Aisyiyah Gayamsari, Afifah Intan Nurahmah. dan ketua Kantor Layanan Lazismu Gayamsari, Zubad Ismail.

Perlengkapan yang diperjualbelikan selain sembako di Bazaar Rakyat Muhammadiyah

Bapak Abdullah Muhajir selaku ketua Pimpinan Cabang Muhammadiyah Gayamsari mengatakan, kegiatan sosial seperti Bazaar Rakyat juga menjadi wahana bersilaturahim antar pemangku kepentingan. Dalam hal ini melibatkan entitas bisnis, organisasi keagamaan, organisasi sosial kemasyarakatan, dan juga warga masyarakat. Silaturahim semacam ini dilandasi pula oleh semangat pluralisme dan toleransi, terlepas dari latar belakang maupun keyakinan semua yang terlibat, karena pada dasarnya perbedaan adalah keniscayaan dan perbedaan pula yang mempersatukan kita.

Kegiatan ini juga menjadi kesempatan bagi para pihak yang hadir untuk mengeksplorasi serta menginisiasi bentuk-bentuk kemitraan lainnya di bidang sosial, ekonomi kerakyatan dan humaniora yang dapat bermanfaat bagi masyarakat luas. “Kami berharap, di masa-masa yang akan datang, agenda positif seperti ini terus dapat dilanjutkan dan bisa menjangkau lebih luas lagi radius lingkungan masyarakat yang merasakan gerakan sosial ini,” ungkap bapak Abdullah Muhajir disesi akhir acara tersebut.

Kantor Layanan Lazismu Gayamsari di kompleks masjid At-Taqwa Al-Mukaramah

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :

Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari

Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214

Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663

Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari    0812 1544 6504
Zubad Ismail                        0822 2076 7183

Penulis : Zubad Ismail
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Jagalah Hati

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Ranting Muhammadiyah Pandean Lamper secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi staf AUM, pengajar dan masyarakat sekitar pada hari Ahad pada pekan terakhir setiap bulannya. Bertempat di TK ABA 26 Jl. Badak V no 4, Pandean Lamper. Untuk tanggal 30 Januari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadz Fathurrohman. Beliau saat ini berprofesi sebagai staf pengajar sekolah swasta di kota Semarang. Yang akan menyampaikan tema “Jagalah Hati”

Ustadz Fathurrohman ketika menjadi narasumber di kajian PRM Pandean Lamper

Hati merupakan cerminan dari setiap orang yang memilikinya dalam arti apabila mempunyai hati yang baik, maka cerminannya juga terlihat baik begitu pun sebaliknya jika mempunyai hati yang buruk, maka buruk juga yang terlihat. Pada saat zaman Nabi Muhammad SAW, penyakit hati bisa dihindari dengan cara ajaran yang diberikan oleh Rasulullah SAW. Semua orang rasanya tidak bisa lepas dari penyakit hati dan menjadi hal wajar bagi kehidupan manusia. Ditambah lagi, setiap mausia terlahir dengan sifat kekhilafan saat bersosialisasi.

Sebagaimana firman Allah didalam surat Asy-Syu’ara ayat 87-89 :

وَلَا تُخْزِنِيْ يَوْمَ يُبْعَثُوْنَۙ

87. dan janganlah Engkau hinakan aku pada hari mereka dibangkitkan,

يَوْمَ لَا يَنْفَعُ مَالٌ وَّلَا بَنُوْنَ

88. (yaitu) pada hari (ketika) harta dan anak-anak tidak berguna,

اِلَّا مَنْ اَتَى اللّٰهَ بِقَلْبٍ سَلِيْمٍ

89. kecuali orang-orang yang menghadap Allah dengan hati yang bersih,

Hati yang terletak di dalam dada sebelah kiri yang dapat menyelamatkan manusia pada hari kebangkitan kelak. Dimana hati yang selamat itu yakni hati yang bersih dari segala noda dosa berupa kemusyrikan, kecintaan terhadap duniawi, sikap pamrih dan kedurhakaan serta kemurnian jiwanya dan memiliki kebagusan i’tiqadnya dalam setiap melakukan kebaikan. Sejak lahir manusia telah membawa fitrahnya masing-masing, berupa keyakinan Tauhid (ke Esaan Allah). Keyakinan tersebut terletak dalam hati setiap manusia. Dimana apabila keyakinan tersebut senantiasa dipelihara sejak dini, maka keyakinan tersebut akan semakin tertanam kuat dalam jiwa seseorang.

Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu ‘Alaihi wa Sallam,

 ” أَلا وإِنَّ فِي الجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الجَسَدُ كُلُّهُ وإذَا فَسَدَت فَسَدَ الجَسَدُ كُلُّهُ أَلا وَهيَ القَلْبُ.“ رواه البخاري ومسلم.

“Ketahuilah, sesungguhnya dalam tubuh manusia ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka akan baik seluruh tubuh manusia, dan jika segumpal daging itu buruk, maka akan buruk seluruh tubuh manusia, ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati manusia.” (HR. Bukhari dan Muslim)

TK ABA 26, Jl. Badak V no 4, Pandean Lamper menjadi tempat berlangsungnya kajian PRM Pandean Lamper

Penyakit Hati Dalam Islam

Penyakit hati di dalam Islam memiliki banyak jenis mulai dari ringan sampai berat dan jenis penyakit hati yang berat dalam Islam akan membuat pelaku bisa memiliki dosa besar sampai dosa yang tidak terampuni oleh Allah SWT. Salah satu contoh dari penyakit hati menurut Islam adalah syirik yang termasuk jenis penyakit hati besar sebab dosanya tidak akan diampuni oleh Allah SWT. Beberapa contoh penyakit hati adalah sebagai berikut :

  1. Iri Hati

Iri hati merupakan sifat yang tidak menyenangi rizki atau rejeki serta nikmat yang diperoleh orang lain sehingga membuat seseorang melakukan berbagai cara untuk menandinginya. Iri hati ada yang diperbolehkan dalam Islam, yakni iri hati untuk perbuatan baik seperti ingin menjadi pintar supaya bisa berbagi ilmu di kemudian hari atau iri dalam memakai harta untuk jalan yang benar.

  1. Dengki

Dengki merupakan sikap yang tidak menyenangi apabila ada seseorang yang memperoleh kebahagiaan sehingga membuat pelaku mencara cara untuk menghilangkan rasa bahagia yang dialami seseorang tersebut. Sifat dengki menjadi sifat yang berbahaya dan tidak ada satu orang pun di dunia yang menyenangi seseorang dengan sikap dengki tersebut.

  1. Hasut

Hasut merupakan sifaft yang selalu melakukan berbagai cara untuk mempengaruhi orang lain supaya marah dengan tujuan untuk memecah belah tali persaudaraan dan akhirnya akan timbul permusuhan serta kebencian antar sesama manusia.

  1. Fitnah

Fitnah merupakan sikap yang dikatakan lebih kejam dari sebuah pembunuhan yakni perbuatan menjelekkan, merusak, menodai, menipu dan juga berbohong pada seseorang untuk menimbulkan permusuhan yang nantinya akan semakin berkembang menjadi tindak kriminal pada orang lain tanpa didasari dengan bukti kuat.

  1. Berburuk Sangka

Berburuk sangka merupakan sikap yang selalu curiga dan berprasangka pada orang lain yang selalu bertindak buruk tanpa didasari dengan bukti jelas atau kuat.

  1. Khianat

Khianat merupakan sikap tak bertanggungjawab atau mangkir dari amanat atau kepercayaan yang diberikan pada orang tersebut. Khianat umumnya dilakukan dengan kebohongan dan obral janji palsu sekaligus menjadi ciri khas dari orang munafik. Seseorang yang melakukan khianat, akan dibenci masyarakat sekitar dan kemungkinan tidak akan di percaya kembali untuk melaksanakan sebuah tanggung jawab kedepannya.

Jamaah yang khusyu mendengarkan tausiah dari ustadz Fathurrohman

Tips Menjaga Hati Dalam Islam

Apabila penyaki hati tidak segera dihilangkan dengan baik, maka dampak buruk akan dihasilakan pada diri sendiri. Beberapa tips untuk menjaga hati di dalam ajaran agama Islam, antara lain:

  • Tidak Terlalu Banyak Bicara

Bicara terlalu berlebihan akan mengeraskan hati sehingga akan lebih baik untuk bicara seperlunya dan hindari juga seseorang yang terlalu banyak bicara, pembual, tukang bohong, ghibah dan sebagainya. Namun, apabila bicara yang dilakukan adalah tentang kebaikan maka boleh untuk dilakukan seperti contohnya memberikan pelayanan, mengajar atau kegiatan positif lainnya.

  • Jaga Nafsu dan Emosi

Emosi akan membuat seseorang menjadi tidak tenang sehingga harus sangat dihindari supaya tidak menjurus pada dosa dan juga beberapa penyakit hati. Beberapa jenis nafsu yang harus dihilangkan diantaranya adalah nafsu mewujudkan impian, nafsu harta, nafsu seks, nafsu makan, nafsu marah dan sebagainya. Salah satu cara paling tepat untuk menjaga nafsu dan juga emosi adalah dengan berpuasa baik itu puasa sunnah atau puasa wajib Ramadhan

  • Ingat Pada Allah SWT

Selalu ingat pada Allah SWT bisa dilakukan dengan beberapa cara seperti sholat lebih rajin seperti sholat lima waktu, sholat tahajud, sholat dhuha, sholat malam dan juga sholat lainnya. Selain itu perbanyak juga dzikir dan doa, memngaji dan membaca Al Quran yang bisa sangat berguna untuk selalu menjaga hati. Dengan selalu megingat Allah SWT, maka secara otomatis kita akan lebih takut akan Allah SWT apabila kita berbuat disa yang disebabkan penyakit hati atau perbuatan maksiat.

  • Berteman Dengan Orang Saleh

Saat bersosialisasi juga perlu dilakukan dengan baik, yakni berteman dengan orang yang sholeh. Apabila terlalu banyak berteman dengan orang yang tidak menjaga hati, maka hanya akan menimbulkan penyakit dan semakin menjauhkan kita pada Allah SWT. Salah dalam pergaulan juga akan menambah dosa karena perbuatan maksiat yang sudah dilakukan baik secara sengaja atau tidak sengaja.

Kantor Layanan Lazismu Gayamsari di kompleks masjid At-Taqwa Al-Mukaramah

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :

Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari

Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214

Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663

Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari    0812 1544 6504
Zubad Ismail                        0822 2076 7183

Penulis : Fathurrohman
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Beribadah dan Berjuang dengan Jiddiyah

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Cabang Muhammadiyah Gayamsari secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi staf AUM, pengajar dan masyarakat sekitar pada hari Ahad pada pekan ke-1,3,dan 4/5 setiap bulannya. Bertempat di masjid At-Taqwa Al-Mukaramah Jl. Medoho Seruni no 24, Sambirejo. Untuk tanggal 30 Januari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadz Drs. H. Ali Muhson, M.Ag. M.Pd.I, MH. MM. Beliau menjabat sebagai wakil ketua PWM Jawa Tengah bidang Pembina Majelis Tabligh dan MPM. Untuk kajian ini akan menyampaikan tema “Beribadah dan Berjuang dengan Jiddiyah (Sungguh-sungguh)”.

Ustadz Drs. H. Ali Muhson, M.Ag. M.Pd.I, MH. MM. ketika menjadi narasumber kajian ahad pagi PCM Gayamsari

Di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan keragu-raguan terhadap agama-Nya. Namun orang-orang yang benar beriman mereka menyembah Allah dengan ketetapan dan mata hati. Jika orang-orang yang ragu itu memperoleh kebajikan dunia berupa kesehatan ataupun kekayaan mereka tetap teguh dalam agamanya. Namun jika ia ditimpa oleh suatu bencana baik dari keluarga maupun hartanya maka serta merta mereka kembali kepada kekufuran. Rugilah ia di dunia sebab ia tidak mendapatkan kebaikan dunia dan juga rugilah ia di akhirat sebab dia akan diazab. Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata, tidak ada kerugian melebihi itu.

Sebagaimana firman Allah didalam surat Al-Hajj ayat 11 :

وَمِنَ النَّاسِ مَنْ يَّعْبُدُ اللّٰهَ عَلٰى حَرْفٍۚ فَاِنْ اَصَابَهٗ خَيْرُ ِۨاطْمَـَٔنَّ بِهٖۚ وَاِنْ اَصَابَتْهُ فِتْنَةُ ِۨانْقَلَبَ عَلٰى وَجْهِهٖۗ خَسِرَ الدُّنْيَا وَالْاٰخِرَةَۗ ذٰلِكَ هُوَ الْخُسْرَانُ الْمُبِيْنُ

Terjemah Arti : Dan di antara manusia ada yang menyembah Allah hanya di tepi; maka jika dia memperoleh kebajikan, dia merasa puas, dan jika dia ditimpa suatu cobaan, dia berbalik ke belakang. Dia rugi di dunia dan di akhirat. Itulah kerugian yang nyata.

Serta diriwayatkan dalam hadits Imam Bukhari :

حَدَّثَنِي إِبْرَاهِيمُ بْنُ الْحَارِثِ حَدَّثَنَا يَحْيَى بْنُ أَبِي بُكَيْرٍ حَدَّثَنَا إِسْرَائِيلُ عَنْ أَبِي حَصِينٍ عَنْ سَعِيدِ بْنِ جُبَيْرٍ عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ { وَمِنْ النَّاسِ مَنْ يَعْبُدُ اللَّهَ عَلَى حَرْفٍ } قَالَ كَانَ الرَّجُلُ يَقْدَمُ الْمَدِينَةَ فَإِنْ وَلَدَتْ امْرَأَتُهُ غُلَامًا وَنُتِجَتْ خَيْلُهُ قَالَ هَذَا دِينٌ صَالِحٌ وَإِنْ لَمْ تَلِدْ امْرَأَتُهُ وَلَمْ تُنْتَجْ خَيْلُهُ قَالَ هَذَا دِينُ سُوءٍ

Terjemahan : Telah menceritakan kepadaku Ibrahim bin Al Harits Telah menceritakan kepada kami Yahya bin Abu Bukair Telah menceritakan kepada kami Israil dari Abu Hashin dari Sa’id bin Jubair dari Ibnu ‘Abbas ra. dia berkata; berkenaan dengan firman Allah: Dan di antara manusia ada orang yang menyembah Allah dengan berada di tepi. (Al Hajj: 11), bahwa dulu ada seseorang yang datang ke Madinah, apabila istrinya melahirkan seorang bayi dan kudanya beranak maka dia mengatakan; ini agama yang baik. Dan jika istrinya tidak melahirkan demikian juga kudanya, maka dia mengatakan ini adalah agama yang buruk [Diriwayatkan oleh al-Bukhari yang bersumber dari Ibnu ‘Abbas].

Tafsir Ayat

Tafsir Al-Muyassar, Kementerian Agama Saudi Arabia: Dan diantara manusia ada orang yang masuk ke dalam Islam dengan dorongan yang lemah dan keraguan, sehingga dia menyembah Allah dengan ragu-ragu, layaknya orang yang tengah berdiri di atas tepi gunung atau tembok, dia tidak mantap dalam berdirinya, dan dia mengaitkan keimanannya erat dengan kehidupan dunianya. Apabila dia dalam keadaan sehat dan hidup dengan nyaman, maka dia akan meneruskan ibadahnya. Dan apabila terjadi padanya satu cobaan dengan kejadian yang tidak mengenakkan dan kesulitan, dia mengaitkan kesialannya itu kepada agamanya, lalu dia meninggallkan agamanya sebagaimana orang yang berbalik ke belakang setelah istiqamah. Disebabkan hal itulah, dia merugi di dunia, karena kekafirannya tidak mengubah apa yang ditakdirkan bagi dirinya untuk kehidupan dunianya, dan dia merugi di akhirat karena masuk ke dalam neraka. Dan itu adalah kerugian yang nyata.

Dalam Tafsir as-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di: Maksudnya, ada sebagian manusia yang lemah keimanannya. Keimanannya belum memasuki relung hatinya, dan pancaran cahayanya belum melapisinya, akan tetapi keimanan masuk kepadanya, baik lantaran rasa takut maupun (biasanya) keadaan imannya tidak teguh saat berhadapan dengan bermacam cobaan. “Maka jika mem;peroleh kebajikan, tetaplah ia dalam keadaan itu.” Maksudnya jika (curahan) rizki kontinyu baginya dengan melimpah, tidak terjadi sesuatu yang tidak mengenakkan (bencana) padanya, maka dia begitu puas dengan kebaikan tersebut, bukan (tenang) karena keimanannya. Orang semacam ini, mungkin saja Allah membebaskannya (dari ujian), tidak menebar fitnah baginya yang berpotensi membelokannya dari agamanya. “dan jika dia ditimpa oleh suatu bencana,” berupa peristiwa yang tidak baik, atau lenyapnya sesuatu yang dicintai, (maka) “berbaliklah dia ke belakang,” maksudnya dia murtad (keluar) dari agamanya. “Rugilah ia di dunia dan akhirat.” Tentang kerugian di dunia, maka dia meraih apa yang dia idam-idamkan melalui murtadnya sebagai modal dan sebagai barang barter dari angan-angan yang diduganya bisa didapatkan. Usahanya gagal. Tidak ada yang berhasil ia rengkuh melainkan bagian yang telah ditetapkan baginya. Mengenai kerugian akhirat, maka sangat jelas. Ia terhalangi dari surge yang luasnya seluas langit dan bumi. Dan dia dipastikan masuk neraka. “Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata,” yaitu yang jelas dan nyata.

Mujahid, Qatadah dan selain keduanya berkata: ‘alaa harfin (berada di tepi) yaitu di atas keraguan.” Sedangkan selain mereka berkata: “Yaitu berada di atas tepi, di antaranya ialah, yaitu tepi gunung.” Yakni, dia masuk ke dalam agama di tepinya, jika ia mendapatkan apa yang disenanginya maka dia tetap berada di dalamnya, dan jika tidak (disenanginya) dia pun berlalu.

Al-Bukhari berkata dari Ibnu `Abbas tentang ayat: wa minan naasi may ya’budullaaHa ‘alaa harfin (Dan di antara manusia ada orang yang beribadah kepada Allah dengan berada di tepi), Yaitu, seorang laki-laki yang menuju Madinah. Jika isterinya melahirkan seorang anak laki-laki dan kudanya pun berkembangbiak, maka dia berkata: “Ini agama yang baik.” Jika isterinya tidak melahirkan serta kudanya tidak berkembang biak, maka dia berkata: “Ini agama yang buruk.” Mujahid berkata tentang firman-Nya: inqalaba ‘alaa wajhihi (berbaliklah ia ke belakang) yaitu kembali kepada kekafiran.

Firman-Nya: khasirad-dun-yaa wal aakhirah (rugilah dia di dunia dan di akhirat) yaitu, dia tidak meraih apa pun di dunia, sedangkan di akhirat saat dia berada dalam kekufuran kepada Allah Yang Mahaagung, maka dia berada di dalam puncak kecelakaan dan kehinaan. Untuk itu Allah Ta’ala berfirman: dzaalika Huwal khusraanul mubiin (Yang demikian itu adalah kerugian yang nyata) yaitu sebuah kerugian yang besar dan perdagangan yang merugi.

Para jamaah yang khusyu mendengarkan tausiah dari ustadz Drs. H. Ali Muhson, M.Ag. M.Pd.I, MH. MM.

Sebagaimana firman Allah didalam surat Ali Imran ayat 146 :

وَكَاَيِّنْ مِّنْ نَّبِيٍّ قَاتَلَۙ مَعَهٗ رِبِّيُّوْنَ كَثِيْرٌۚ فَمَا وَهَنُوْا لِمَآ اَصَابَهُمْ فِيْ سَبِيْلِ اللّٰهِ وَمَا ضَعُفُوْا وَمَا اسْتَكَانُوْا ۗ وَاللّٰهُ يُحِبُّ الصّٰبِرِيْنَ

Terjemah Arti : Dan betapa banyak nabi yang berperang didampingi sejumlah besar dari pengikut(nya) yang bertakwa. Mereka tidak (menjadi) lemah karena bencana yang menimpanya di jalan Allah, tidak patah semangat dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Dan Allah mencintai orang-orang yang sabar.

Tafsir Ayat:

Dalam Tafsir Al-Wajiz, Syaikh Prof. Dr. Wahbah az-Zuhaili: Dan berapa banyaknya nabi yang berperang dengan musuh Allah, serta para ulama, ahli ibadah, dari pengikutnya yang bertakwa karena kesungguhan mereka dalam melakukan ketaatan kepada Allah. Mereka tidak menjadi lemah karena bencana dan luka yang menimpa mereka untuk meninggikan kalimat Allah, dan tidak lesu dan tidak pula menyerah kepada musuh. Bahkan mereka tetap teguh dan sabar, Allah meneguhkan orang-orang yang sabar dalam berjihad dan lainnya. Perbedaan antara tiga lafadz: Wahn adalah di dalam hati, dha’f berada pada badan. Istikanah adalah menyerah kepada musuh.

Dalam Tafsir as-Sa’di, Syaikh Abdurrahman bin Nashir as-Sa’di: Ini merupakan hiburan bagi kaum Mukminin dan sebuah anjuran untuk mengikuti jejak mereka dan melakukan seperti perbuatan mereka, dan bahwasanya perkara ini adalah perkara yang telah ada sejak dahulu, di mana sunnatullah terus berjalan seperti itu. Allah berfirman, “Dan berapa banyaknya nabi, ” maksudnya, betapa banyak Nabi, “yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa, ” yaitu, kelompok yang banyak dari pengikut-pengikutnya yang telah dididik oleh para nabi dengan keimanan dan amalan shalih, lalu mereka terbunuh, menderita luka, dan sebagainya. “Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).” Maksudnya, hati mereka tidak menjadi lemah dan tubuh mereka tidak lesu dan tidak pula mereka menyerah, artinya mereka tidak tunduk di hadapan musuh mereka, akan tetapi mereka bersaabar, tegar, dan mengobarkan semangat bagi jiwa mereka. Oleh karena itu, Allah berfirman “Dan Allah menyukai orang-orang yang sabar.”

وَكَأَيِّنْ مِنْ نَبِيٍّ قَاتَلَ مَعَهُ رِبِّيُّونَ كَثِيرٌ

Dan berapa banyak nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang taat.  Perkataan كَأَيِّنْ menurut Qutaibah berma’na كم (kam) yang bererti berapa atau betepa banyak (Zad al-Masir, I h.426) Sedangkan kalimat رِبِّيُّونَ ada yang mengartikan bentuk jama dari رَبِّيٌّ yang berarti penyembah Allah atau orang yang taat beribadah, tapi menurut Ibn Abbas berma’na عُلَمَاء كَثِيْر ulama yang banyak. Ibn Zaid berpendapat bahwa رِبِّيُّونَ bermakna para pengikut sedangkan ربَّنيون berarti pembela, beda lagi dengan رَبِّيون berarti pemelihara (Tafsir al-Thabari, VII h.267). Dengan demikian makna pangkal ayat ini berapa banyak nabi yang berperang bersama para pengikutnya, pembelanya, serta hamba Allah yang taat dan berilmu.

Pendapat Ibnu Ishaq di dalam kitab As-Sirah menunjukkan pengertian bahwa sesungguhnya dia mengatakan bahwa berapa banyaknya nabi yang terbunuh, padahal dia ditemani oleh sejumlah orang yang banyak, tetapi ternyata para pengikutnya tidak lesu dan tidak lemah dalam meneruskan perjuangan nabi mereka sesudah nabi mereka tiada. Mereka tidak takut menghadapi musuh mereka dan tidak menyerah kepada musuh karena kekalahan yang mereka derita dalam jihad demi membela Allah dan agama mereka. Sikap seperti inilah yang dinamakan sifat sabar. Allah menyukai orang-orang yang sabar. (Ali Imran:146).

فَمَا وَهَنُوا لِمَا أَصَابَهُمْ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَمَا ضَعُفُوا وَمَا اسْتَكَانُو 

Mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh).  Walau mereka menghadapi tantangan yang berat, tidaklah menjadi lemah, lesu aupun menyerah. Secara historis ayat ini memberikan peringatan pada kaum muslimin yang dilanda kekhawatiran akibat berita wafatnya Rasul SAW di tengah kecamuk perang Uhud. Dengan demikian seakan bertanya, mengapa kalian merasa lemah, lesu, patah semangat gara-gara isu yang belum tentu benar. Bukankan para nabi dan pengikutnya di masa silam juga menghadapi berbagai tantangan? Jangan dikira membela yang benar itu selalu lancar.

Menurut Qatadah dan Ar-Rabi’ ibnu Anas, yakni mereka tidak lemah semangat karena terbunuhnya nabi mereka, dan tidak (pula) mereka menyerah. Yaitu mereka sama sekali tidak pernah mundur dari kewajiban membantu nabi-nabi mereka dan agama mereka, yakni dengan berperang meneruskan perjuangan nabi Allah hingga bersua dengan Allah, sampai titik darah penghabisan.

Menurut al-Zuhri, ayat ini berkaitan dengan peristiwa perang Uhud. Ketika Rasul SAW terjatuh dari kudanya dan terluka, ada yang menghembuskan isu bahwa Rasul wafat pada saat itu. Issu tersebut menimbulkan kegundahan dan kekawatiran bagi sebagian kaum muslimin yang sedang berjihad. Ayat ini sebagai teguran mengapa mereka merasa lemah, kawatir, atau gundah bukankah dulu juga banyak nabi dan rasul yang berperang bersama pengikutnya tak gentar tatkala terkena mushibat? (Al-Jami li Ahkam al-Qur`an, IV h.228)

Secara tersirat ayat ini membertikan bimbingan bahwa dalam memperjuangkan al-islam mesti terhindar dari sifat (1) وَهَنُوا  merasa hina, atau turun semangat disebabkan oleh kekhawatiran; (2) ضَعُفُوا lemah semangat tidak berani menghadapi mausuh atau tantangan, disebabkan anggapan bahwa musuh lebih kuat atau lebih tinggi darina;  (3) اسْتَكَانُو menyerah pada nasib, atau putus asa, hingga berhenti tidak mau bergerak.

وَاللَّهُ يُحِبُّ الصَّابِرِينَ

Allah menyukai orang-orang yang sabar. Mengapa kalian terkena penyakit wahn, dla’if, dan istikanah, padahal Allah mencintai orang yang shabar. Pengunci ayat ini juga merupakan jaminan, bahwa orang shabar dalam perjuangan akan meraih kemenangan. Shabar yang paling penting berdasar ayat ini adalah (1) bebas dari wahn maka mesti memiliki keberanian, penuh semangat tidak dilanda kekawatiran; (2) bebas dari dla’if, maka mesti kuat, gagah dan penuh kewaspadaan; (3) bebas dari istikanah, maka mesti terus bergerak untuk maju, pantang menyerah pada nasib, tidak putus asa.  Dalam ayat lain dikemukakan bahwa orang shabar walau jumlahnya sedikit dapat mengalahkan lawan yang tidak shabar walau jumlahnya lebih banyak.

Inilah jaminan dari Allah untuk para mujahid yang sabar, teguh pendirian, semangat berjuang, pantang menyerah pada yang salah. Kebahagian yang diberikan pada mereka, adalah kesuksesan di dunia,dan pahala di akhirat serta meraih surga keni’matan paripurna.

Kantor Layanan Lazismu Gayamsari di kompleks masjid At-Taqwa Al-Mukaramah

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :

Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari

Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214

Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663

Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari    0812 1544 6504
Zubad Ismail                        0822 2076 7183

Penulis : Ali Muhson
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Sejarah Ketaqwaan Rasulullah

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Ranting Muhammadiyah Siwalan secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi staf AUM, pengajar dan masyarakat sekitar pada hari Kamis malam bakda maghrib setiap pekannya. Bertempat di PAUD Terpadu Aisyiyah Jl. Plewan III no 81 RT 08 RW 03 Kelurahan Siwalan Kecamatan Gayamsari. Untuk tanggal 27 Januari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadzah Aula Risky. Saat ini menjabat sebagai anggota IMM Kota Semarang, dan masih berstatus mahasiswi aktif semester 2 di Universitas Islam Negeri (UIN) Walisongo Semarang. Untuk kajian ini akan menyampaikan tema “Sejarah Ketaqwaan Rasulullah”

Ustadzah Aula Risky ketika menjadi narasumber di kajian PRM Siwalan

Setelah wafatnya Khadijah radhiyallahu ‘anha dan Abu Thalib, tekanan kaum musyrikin kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam semakin meningkat. Dakwah di tengah masyarakat Quraisy sangat sulit dilakukan. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam keluar dari sana untuk mencari tempat lain, barangkali dapat ditemukan hati yang membuka diri untuk beriman dan mendukung agama Allah ini.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat ke Thaif dengan harapan akan mendapatkan penolong dakwah dari suku Tsaqif serta menenangkan diri sejenak dari tekanan kaumnya (suku Quraisy). Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pun berharap Bani Tsaqif akan menerima agama Islam dengan baik. Saat itu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berangkat bersama Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu.

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam di Thaif

Ketika tiba di Thaif, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam segera menemui tiga bersaudara pemimpin dan bangsawan Thaif yaitu: Abdu Yalil bin Amr bin Umair, Mas’ud bin Amr bin Umair, dan Habib bin Amr bin Umair.

Beliau mengajak mereka agar menyembah kepada Allah Ta’ala dan bersedia membela Islam dari rongrongan orang-orang yang menentangnya. Namun ketiganya menolak tawaran beliau itu dengan penolakan yang buruk sekali. Tidak terlihat sedikitpun kebaikan dari mereka. Salah seorang dari mereka berkata: “Apakah Allah tidak menemukan orang lain yang bisa diutus selain kamu?” Yang lainnya mengatakan: “Demi Allah, aku tidak akan mau berbicara denganmu selama-lamanya. Jika betul kamu adalah rasul utusan Allah seperti yang kamu katakan, maka sungguh merupakan bahaya paling besar, dan jika kamu berbohong di hadapan Allah, maka sudah sepatutnya saya tidak berbicara denganmu.”

Ketika itulah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam meminta mereka untuk tidak menyebarluaskan hal ini, agar orang Quraisy tidak semakin memperberat tekanannya kepada beliau dan pengikutnya karena menganggapnya telah meminta bantuan kepada musuh mereka. Tetapi tiga bersaudara Bani Tsaqif tidak menerima permintaan ini, bahkan mereka mengerahkan para budak dan anak-anak kecil mereka untuk mengusir Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam di tengah terik matahari; melemparinya dengan batu sehingga kedua kaki beliau berlumuran darah. Zaid bin Haritsah radhiyallahu ‘anhu berusaha menghalau batu-batu itu, kemudian keduanya berlindung di kebun milik Utbah dan Syaibah bin Rabi’ah sampai anak-anak kecil itu kembali ke Thaif. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian menuju ke bawah pohon kurma dan duduk di sana. Utbah dan Syaibah bin Rabiah melihat beliau dan menyaksikan perlakuan anak-anak kecil Thaif itu.

Rasulullah Mengadu kepada Allah

Dalam keadaan sulit seperti itu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengangkat kedua tangannya ke langit dan mengucapkan:

“اللّهُمّ إلَيْك أَشْكُو ضَعْفَ قُوّتِي ، وَقِلّةَ حِيلَتِي ، وَهَوَانِي عَلَى النّاسِ، يَا أَرْحَمَ الرّاحِمِينَ ! أَنْتَ رَبّ الْمُسْتَضْعَفِينَ وَأَنْتَ رَبّي ، إلَى مَنْ تَكِلُنِي ؟ إلَى بَعِيدٍ يَتَجَهّمُنِي ؟ أَمْ إلَى عَدُوّ مَلّكْتَهُ أَمْرِي ؟ إنْ لَمْ يَكُنْ بِك عَلَيّ غَضَبٌ فَلَا أُبَالِي ، وَلَكِنّ عَافِيَتَك هِيَ أَوْسَعُ لِي ، أَعُوذُ بِنُورِ وَجْهِك الّذِي أَشْرَقَتْ لَهُ الظّلُمَاتُ وَصَلُحَ عَلَيْهِ أَمْرُ الدّنْيَا وَالْآخِرَةِ مِنْ أَنْ تُنْزِلَ بِي غَضَبَك ، أَوْ يَحِلّ عَلَيّ سُخْطُكَ، لَك الْعُتْبَى حَتّى تَرْضَى ، وَلَا حَوْلَ وَلَا قُوّةَ إلّا بِك”

“Ya Allah kepadamu kuadukan lemahnya kekuatanku, dan sedikitnya kesanggupanku, kerendahan diriku berhadapan dengan manusia, wahai Yang Maha Pengasih lagi Maha Penyayang! Engkau adalah Pelindung orang-orang yang lemah dan Engkau juga Pelindungku, kepada siapakah diriku hendak Engkau serahkan? Kepada orang jauh yang berwajah suram terhadapku? Ataukah kepada musuh yang akan menguasai urusanku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, semuanya itu tak kuhiraukan, karena sungguh besar nikmat yang telah Engkau limpahkan kepadaku”.

Aku berlindung pada sinar wajah-Mu, yang menerangi kegelapan dan mendatangkan kebaikan di dunia dan akhirat, dari murka-Mu yang hendak Engkau tumpahkan kepadaku. Hanya Engkaulah yang berhak menegur dan mempersalahkan diriku hingga Engkau Ridha (kepadaku), dan tiada daya dan kekuatan apa pun selain atas perkenan-Mu.” (HR. At-Thabrani / Lihat: Sirah Ibnu Hisyam 1/420).

Jibril Turun Membawa Pertolongan

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersama Zaid bin Haritsah melanjutkan perjalanannya kembali ke Makkah. Dan baru saja beliau berlalu dari tempat tersebut, tiba-tiba di tengah jalan datanglah Malaikat Jibril dengan diiringkan Malaikat penjaga gunung kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau lalu berhenti sebentar di tengah jalan itu. Malaikat Jibril berkata kepada beliau:

يَـا رَسُوْلَ اللهِ! اِنَّ اللهَ تَعَالَى قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمـِكَ لَكَ، وَ مَا رَدُّوْا لَكَ. وَ قَدْ بَعَثَ اِلَـيْكَ مَلَكَ اْلجـِبَالِ لـِتَأْمُرَهُ بِمَا شِئْتَ فـِيْهِمْ.

“Ya Rasulullah! Sesungguhnya Allah Ta’ala benar-benar mendengar perkataan kaummu kepadamu dan penolakan mereka ke padamu; dan Dia telah mengutus sekarang ini malaikat penjaga gunung kepadamu, supaya engkau perintah kepadanya menurut apa yang kau kehendaki terhadap mereka (kaum Bani Tsaqif) itu”.

Malaikat penjaga gunung itu lalu berkata kepada beliau :

يَـا رَسُوْلَ اللهِ! اِنَّ اللهَ قَدْ سَمِعَ قَوْلَ قَوْمـِكَ لَكَ، وَ اَنــَامَلَكُ اْلجـِبَالِ وَ قَدْ بَعَـثَـنِى رَبـُّكَ لـِتَأْمُرَنــِى بِاَمْرِكَ فَمَا شِئْتَ؟ اِنْ شِئْتَ اَنْ اُطْبِقَ عَلَـيْهِمُ اْلاَخْشَـبَـيْنِ فَعَلْتُ.

“Ya Rasulullah ! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu kepadamu, dan aku inilah Malaikat penjaga gunung. Sesungguhnya Tuhanmu telah mengutusku untuk datang kepadamu, supaya engkau perintahkan kepadaku tentang urusanmu, apa yang kau kehendaki? Jika engkau mau supaya aku menghimpitkan kedua gunung yang besar ini kepada mereka, tentu kukerjakan”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pada waktu itu menjawab,

اَ. بَلْ اَرْجُوْ اَنْ يُخـْرِجَ اللهُ مِنْ اَصْلاَبِـهِمْ مَنْ يَـعْبُدُ اللهَ وَ لاَ يُـشْرِكُ بِـهِ شَيـْئًا.

“Tidak! Bahkan saya mengharap, mudah-mudahan Allah mengeluarkan dari keturunan mereka itu orang yang menyembah kepada Allah dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun”.

Malaikat Jibril berkata,

اِنَّ اللهَ اَمَرَنــِى اَنْ اُطِـيْعَكَ فِى قَوْمـِكَ لِمَا صَنَعُوْهُ مَعَكَ.

“Sesungguhnya Allah telah memerintahkan aku, supaya aku mentaati engkau tentang kaummu, karena perbuatan mereka kepadamu”.

Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab dengan berdo’a,

اَللّـهُمَّ اهْدِ قَوْمـِى فَـاِنَّـهُمْ لاَ يَـعْلَمُوْنَ.

“Ya Allah! Tunjukkanlah kaumku (ke jalan yang lurus), karena sesungguhnya mereka itu tidak mengerti”.

Malaikat Jibril berkata,

صَدَقَ مَنْ سَمَّاكَ. الـرَّءُوْفُ الرَّحِيْمُ.

“Benarlah Tuhan yang telah menyebut engkau sebagai seorang pengasih serta penyayang”.

Malaikat penjaga gunung berkata,

اَنــْتَ كَمَا سَمَّاكَ رَبـُّكَ: رَءُوْفٌ رَحِيْمٌ.

“Engkau sebagaimana Tuhan-mu menamakanmu: pengasih, penyayang.”

Jamaah yang khusyu mendengarkan tausiah dari ustadzah Aula Risky

Kesimpulan :

Di sinilah kesabaran dan ketabahan Rasul. Kalau kita mungkin diberikan tawaran seperti ini, hantam saja sampai mereka hancur. Tapi Rasul bukan demikian, beliau jawab, “Ya Allah, tunjukilah kaumku itu, karena mereka belum memahami dan belum mengerti tentang apa risalah yang saya sampaikan kepada mereka. Mereka belum paham tentang apa risalah yang saya bawa ke Thaif ini.” Bahkan Nabi mendo’akan, “Ya Allah, berikanlah generasi penerus bagi masyarakat Thaif ini generasi yang beriman. Generasi dimana mereka tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu.”

Do’a Nabi tersebut akhirnya nanti terkabul dimana kita lihat masyarakat Thaif adalah masyarakat beriman, generasi yang diberikan keberkahan baik dari posisi atau kondisi udaranya, yang menjadi tempat turis sekarang ini. Pengalaman Nabi yang demikian hebat pernah ditanyakan lagi oleh seorang sahabat kepada Nabi sesudah perang Uhud ketika sudah di Madinah, “Ya Rasulullah, apakah ada lagi perang yang lebih berkesan kepada Nabi selain perang Uhud?” Nabi mengingat kembali pada situasi yang dialaminya saat dilempari oleh masyarakat Thaif waktu pertama sekali.

Derita yang diterima oleh Rasul ini merupakan cobaan yang mengukuhkan sikap Rasulullah, keteguhan sikap Nabi di dalam melakukan dakwah. Yang akhirnya nanti beliau mempersiapkan diri untuk hijrah ke Madinah sekembali dari Thaif, Nabi aktif untuk mengunjungi kabilah-kabilah yang datang melaksanakan ibadah haji ke Mekkah. Tekanan-tekanan yang diderita oleh Rasul ini mengukuhkan tekad Nabi untuk menyampaikan dakwah secara luas. Mudah-mudahan bermanfaat untuk kita semua.

Kantor Layanan Lazismu Gayamsari di kompleks masjid At-Taqwa Al-Mukaramah

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :

Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari

Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214

Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663

Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari    0812 1544 6504
Zubad Ismail                        0822 2076 7183

Penulis : Aula Risky
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara

Pelatihan Seni Baca Al-Quran

MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Cabang Muhammadiyah Gayamsari secara rutin mengadakan pelatihan seni membaca Al-Quran bagi staf pengajar & AUM serta masyarakat sekitar pada hari Sabtu bada magrib setiap pekannya. Bertempat di masjid At-Taqwa Al-Mukaramah Jl. Medoho Seruni no 24, Sambirejo. Semarang. Dalam pelatihan ini dibimbing langsung oleh ustadz Tri Wahyu S.S., Beliau merupakan salah satu juara MTQ nasional untuk tingkat mahasiswa.

Ustadz Tri Wahyu S.S. ketika memberikan pelatihan seni baca Al-Quran

Al-Qur’an merupakan kitab suci umat Islam. Al-Qur’an bersama-sama hadits nabi merupakan dua pedoman utama umat Islam dalam menjalani kehidupan di dunia. Segala permasalahan hidup harus dikembalikan kepada Al-Qur’an sebagai pedoman. Membaca Al-Qur’an adalah sebuah ibadah yang bernilai tinggi di sisi Allah Swt. apalagi jika disertai dengan memahami makna dan menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari. Mendidik anak agar mampu membaca Al-Qur’an adalah kewajiban utama bagi orang tua.

Penyebab semua keajaiban sejarah yang terjadi pada abad ke7 H ketika Islam mencapai puncak kejayaan dan ilmu pengetahuan adalah Al-Qur’an, kitab yang diturunkan kepada Nabi Muhammad Saw. Kemudian kejayaan Islam mulai menurun disebabkan oleh umat Islam yang mulai melalaikan ajaran Al-Qur’an dan Hadits, dua petunjuk yang disampaikan oleh Rasulullah Saw.

Banyak orang yang belum dapat membaca Al-Qur’an, apalagi mengetahui artinya serta menerapkan ajarannya. Nabi Muhammad Saw. menganjurkan kepada para sahabatnya dan setiap orang Islam agar senantiasa membaca Al-Qur’an. Anjuran tersebut bersifat menyeluruh, mencakup kondisi membaca, model bacaan, serta melihat intelektualitas orang Islam. Rasulullah menganjurkan orang Islam untuk membaca Al-Qur’an baik dengan keras maupun dengan pelan, berjamaah maupun sendirian. Hal ini menunjukkan bahwa membaca Al-Qur’an memiliki banyak sekali faidah.

Para peserta yang antusias mengikuti pelatihan seni baca Al-Quran

Rasulullah sendiri menjanjikan adanya pahala yang besar bagi orang Islam yang membaca Al-Qur’an. Anak merupakan amanah besar yang dititipkan Allah kepada orang tua. Amanah tersebut akan dipertanggung jawabkan oleh mereka pada hari kiamat. Anak-anak berhak memperoleh pendidikan dari kedua orang tua mereka berupa pendidikan keislaman yang baik dan benar. Orang tua wajib mengajarkan keterampilan membaca Al-Qur’an kepada anak-anaknya. Pendidikan keagamaan dari orang tua akan memberikan bekas yang dalam di benak anak. Hal ini adalah upaya untuk menumbuhkan nilai-nilai religius anak didik agar tujuan pendidikan dapat tercapai.

Melihat arti pentingnya pendidikan tersebut menunjukkan pendidikan harus diberikan sejak dini. Pendidikan, khususnya pendidikan agama yang mengarah pada terbentuknya keluhuran rohani dan keutamaan jiwa harus mulai ditanamkan sejak anak usia dini. Hal tersebut sesuai dengan karakteristik anak-anak di sekolah dasar yang masih sangat tinggi daya rekamnya atas pelajaran dan pengalaman hidup. Kemampuan membaca Al-Qur’an merupakan kemampuan utama yang harus dimiliki oleh anak didik beragama Islam. Oleh sebab itu, pendidikan yang mengarahkan pada kemampuan membaca Al-Qur’an haruslah dilaksanakan dengan baik, tersistematis dan terencana.

Kantor Layanan Lazismu Gayamsari di kompleks masjid At-Taqwa Al-Mukaramah

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :

Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari

Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214

Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663

Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari    0812 1544 6504
Zubad Ismail                        0822 2076 7183

Penulis : Yuliansyah Mashar
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara