1 Muharam Beda Tanggal: Faktor Metodologis atau Praktis?

Mengapa 1 Muharam 1447 H berbeda antara Pemerintah dan Muhammadiyah? Telaah metodologis KHGT ungkap kompleksitas di balik penanggalan Hijriyah.

Oleh: Drs. Nurbini, MSI, Wakil Ketua PDM Kota Semarang, Dosen Fakultas Dakwah dan Komunikasi UIN Walisongo Semarang.

Hiruk-pikuk penentuan awal bulan Hijriyah, terutama Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, mungkin sudah lumrah kita saksikan. Namun, pada pergantian Tahun Baru Hijriyah 1447 ini, sebuah anomali muncul: 1 Muharam ditetapkan berbeda oleh Pemerintah (Jumat, 27 Juni 2025) dan Muhammadiyah (Kamis, 26 Juni 2025). Uniknya lagi, banyak kalender yang beredar justru mengamini tanggal penetapan Muhammadiyah.

Perbedaan ini tentu berdampak pada berbagai praktik keagamaan dan budaya masyarakat. Dari ritual doa akhir dan awal tahun, perayaan malam 1 Suro, hingga yang terpenting adalah pelaksanaan puasa sunah Asyura (10 Muharam). Jika awal bulan berbeda, maka pelaksanaan puasa Asyura pun tentu akan bergeser.

Perbedaan ini memaksa kita untuk menggali lebih jauh: apakah ini refleksi murni dari metodologi hisab, atau ada elemen praktis yang turut mewarnai kebijakan penanggalan?

Argumen yang kadang muncul di kalangan awam adalah adanya asumsi praktis. Ada dugaan bahwa penentuan tanggal libur oleh pemerintah, seperti jatuhnya 1 Muharam pada Jumat, 27 Juni 2025, ditengarai dengan dasar pertimbangan agar “nyambung” dengan libur akhir pekan (Sabtu dan Ahad). Pemikiran ini mengimplikasikan bahwa penetapan tanggal Hijriyah itu sendiri mungkin tidak diubah, melainkan hanya hari liburnya yang digeser untuk kemudahan praktis.

Namun, hipotesis ini perlu dikaji lebih jauh dengan bobot ilmiah. Perbedaan penentuan awal bulan Hijriyah antara Muhammadiyah dan Pemerintah, terutama pada bulan-bulan krusial seperti Ramadan, Syawal, dan Zulhijah, sesungguhnya bukan hanya dilandasi pertimbangan praktis semata, melainkan karena perbedaan fundamental dalam kriteria hisab (perhitungan astronomis) dan rukyat (pengamatan hilal) yang digunakan.

Membedah Landasan Penanggalan Muhammadiyah dengan KHGT

Sebelumnya, Muhammadiyah secara konsisten menggunakan kriteria hisab hakiki wujudul hilal. Kriteria ini menetapkan bahwa awal bulan Hijriyah dimulai apabila pada saat matahari terbenam: (1) telah terjadi ijtima’ (konjungsi, yaitu bulan berada di antara bumi dan matahari), dan (2) bulan telah berada di atas ufuk (terbit di atas cakrawala). Ini berarti, jika kedua syarat ini terpenuhi, bulan baru sudah masuk, terlepas dari apakah hilal terlihat atau tidak oleh mata telanjang atau alat bantu. Pendekatan ini mengedepankan akurasi perhitungan astronomis yang dapat diprediksi jauh hari sebelumnya.

Namun, per hari Rabu, tanggal 25 Juni 2025 kemarin, Muhammadiyah secara resmi mulai menetapkan penanggalan dengan Kalender Hijriah Global Tunggal (KHGT). Dengan KHGT, Muhammadiyah kini mengadopsi kriteria imkanur rukyat seperti yang digunakan pemerintah, tetapi dengan nuansa penting: konsep matla’ berbeda dan penentuan hari yang berbeda pula.

Kriteria imkanur rukyat yang diadopsi dalam KHGT ini berpegang pada prinsip kemungkinan terlihatnya hilal. Yaitu ketika hilal sudah mencapai ketinggian dan elongasi tertentu yang secara ilmiah memungkinkan untuk dapat dilihat, meskipun pengamatan langsung (rukyat) mungkin tidak dilakukan di setiap titik geografis.

Perbedaan utama dengan pemerintah adalah pada konsep matla’. Jika pemerintah umumnya menggunakan matla’ lokal (hilal harus terlihat di wilayah Indonesia), KHGT mengacu pada matla’ global, artinya jika hilal memenuhi kriteria imkanur rukyat di bagian bumi manapun yang secara astronomis memungkinkan, maka tanggal baru sudah berlaku secara global.

Selain itu, penetapan hari pertama kalender juga bisa berbeda, tergantung pada kapan kriteria tersebut terpenuhi dan di mana garis tanggal internasional Hijriyah ditetapkan.

Dalam konteks 1 Muharam 1447 H ini, perbedaan penetapan tanggal antara Muhammadiyah dan Pemerintah menunjukkan bahwa, meskipun keduanya kini sama-sama menggunakan kriteria imkanur rukyat, parameter spesifik imkanur rukyat dalam KHGT (termasuk ketinggian hilal, elongasi, dan terutama konsep matla’ global) serta pertimbangan hari awal yang berbeda kemungkinan besar menghasilkan penentuan tanggal yang berbeda.

Fakta bahwa banyak kalender yang beredar justru mencantumkan 1 Muharam 1447 H pada 26 Juni 2025, menunjukkan bahwa perhitungan mereka bisa jadi lebih selaras dengan ijtima’ dan posisi hilal secara global pada tanggal tersebut.

Dengan demikian, perbedaan penetapan 1 Muharam 1447 H ini bukan hanya sekadar urusan praktis libur belaka. Ini adalah refleksi dari dua interpretasi dan implementasi metodologis yang berbeda dalam ilmu falak, bahkan ketika keduanya kini sama-sama berlandaskan imkanur rukyat. Perbedaan ini menyoroti kompleksitas dalam menyatukan penanggalan Islam di tengah ragam pandangan ilmiah dan geografis.

Maka, bagi umat Islam, pemahaman terhadap landasan ilmiah ini menjadi krusial. Ini bukan soal memilih mana yang paling “benar” secara mutlak, melainkan tentang menghargai keberagaman metodologi yang menghasilkan konsekuensi tanggal. Sejarah peradaban telah menunjukkan bahwa konsensus besar memang membutuhkan waktu dan proses.

Di tengah perbedaan penentuan 1 Muharam 1447 H ini, umat Islam tetap dapat menjalankan ibadah puasa Asyura pada Sabtu, 5 Juli 2025 (mengikuti hitungan 10 Muharam dari 26 Juni), dengan keyakinan pada metodologi yang diyakini dalam kerangka KHGT.

Biarlah dinamika ini menjadi pengingat bahwa di balik setiap tanggal, ada perhitungan rumit dan ijtihad yang mendalam yang menanti untuk dipahami, bukan sekadar dipatuhi. Wallahu a’lam.

Editor: Agung S Bakti

Scroll to Top