SEMARANG- Setiap kali Iduladha tiba, ribuan titik penyembelihan hewan kurban bermunculan di seluruh Indonesia. Di balik suasana religius Iduladha dan semangat berbagi, ada satu sisi yang sering luput dari perhatian: tumpukan kantong plastik yang menggunung setelah pembagian daging.
Diperkirakan, momen kurban bisa menyumbang berton-ton sampah plastik dalam sehari—menambah beban pada sistem pengelolaan sampah yang sudah kewalahan.
Menurut data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Indonesia memproduksi lebih dari 11 juta ton sampah plastik per tahun, dengan 3,2 juta ton di antaranya mencemari lautan. Dalam konteks inilah, gerakan green qurban menjadi lebih dari sekadar inovasi: ia menjadi bentuk nyata kepedulian pada bumi.
Di Masjid At-Taqwa Roemani, suasana Sabtu pagi kemarin begitu bersahaja namun penuh makna. Deretan besek tampak tersusun rapi, seolah siap membawa pesan perubahan kepada setiap penerimanya. Tak ada derit kantong plastik yang biasa terdengar saat proses pengemasan. Sebaliknya, gesekan lembut daun jati dan anyaman bambu menghadirkan kesan alami dan menenangkan.
“Kita ingin mengubah cara kita berkurban.Bukan hanya soal syariat, tapi juga soal tanggung jawab sosial dan ekologis,” ujar Ketua Takmir Masjid At-Taqwa Roemani Syaifullah, S.Sos (58), Sabtu (7/6/2025).
Tahun ini, panitia kurban Masjid At-Taqwa Roemani menyiapkan 1.250 besek untuk membungkus daging dari 5 ekor sapi dan 13 ekor kambing. Jumlah hewan kurban itu sendiri merupakan bagian dari 178 ekor sapi dan 228 kambing yang dihimpun Muhammadiyah Kota Semarang lewat Lazismu.
Meski diakui bahwa harga satu besek lebih mahal dibandingkan plastik, bagi Syaifullah, biaya itu sebanding dengan dampaknya. “Besek itu bisa terurai, tidak mencemari. Kita ikuti seruan Majelis Lingkungan Hidup PP Muhammadiyah untuk menjalankan green qurban, karena ini memang soal masa depan bumi,” lanjutnya.
Ia berharap upaya kecil ini bisa menjadi kebiasaan yang meluas di masa mendatang.
Kearifan Lokal
Sementara itu, suasana tak kalah menyentuh juga terlihat di Masjid At-Taqwa Ngaliyan. Kegiatan kurban di sana menghadirkan pemandangan yang mengingatkan kita pada kearifan lokal yang mulai ditinggalkan. Panitia kurban memilih menggunakan daun jati bukan hanya karena ramah lingkungan, tapi juga karena memberikan efek positif terhadap kualitas daging.

“Daun jati itu bukan sekadar alas. Ia menjaga daging tetap segar lebih lama dan memperkaya aroma alami. Setelah itu, dibungkus dalam besek bambu yang ringan namun kuat,” jelas Ripai, S.H. (55), Ketua Panitia Kurban Masjid At-Taqwa Ngaliyan, Sabtu (7/6/2025).
Tak hanya itu, semangat menjaga lingkungan juga diwujudkan dalam hal yang tampak sepele namun bermakna: sarapan panitia pun dibungkus daun jati.
“Bayangkan, ada 75 orang panitia sarapan. Kalau kami pakai box plastik untuk bungkus sarapan, berarti ada 75 bungkus sampah plastik langsung tercipta. Tapi dengan daun jati, semua bisa dikomposkan atau terurai tanpa meninggalkan jejak,” ujar Ripai sambil tersenyum. Total hewan kurban yang disembelih di masjid ini sendiri adalah 3 sapi dan 7 kambing, yang dibagikan dalam 500 paket besek.
Besek Aman Digunakan
Namun, apakah kemasan organik seperti daun jati dan besek bambu aman untuk membungkus daging? Prof. Dr. Nurrahman, guru besar teknologi pangan dari Universitas Muhammadiyah Semarang (Unimus), menjawab tegas: aman, asalkan penggunaannya dilakukan dengan benar.
“Daun jati dan besek bambu itu ramah lingkungan dan tidak mengubah kualitas daging, tapi harus dipastikan bersih. Sebaiknya dibersihkan lalu dikibas-kibas atau diangin-anginkan dulu sebelum digunakan,” jelasnya.
Ia juga menambahkan, karena besek memiliki rongga udara lebih banyak dibanding plastik, setelah daging kurban diterima sebaiknya segera disimpan di lemari pendingin (kulkas) agar tidak cepat rusak.
Lebih lanjut, Prof. Nurrahman juga menyebutkan alternatif kemasan daging kurban ramah lingkungan lain jika besek sulit didapat, seperti plastik biodegradable dari bahan nabati. Meski lebih mahal, plastik jenis ini bisa terurai dalam waktu 3-6 bulan, jauh lebih cepat dibanding plastik konvensional biasa yang butuh ratusan tahun.
Sementara untuk pengawetan daging kurban tanpa lemari pendingin, ia menyarankan daging kurban langsung diolah seperti dibuat dendeng yang bisa tahan hingga setahun.
Gerakan green qurban yang diinisiasi Muhammadiyah Semarang ini adalah bentuk sederhana namun kuat dari komitmen menjaga bumi. Ia mengajak kita untuk berpikir ulang: bahwa ibadah tak seharusnya mencemari, dan kebaikan tidak perlu meninggalkan jejak sampah.
Dari besek ke tangan-tangan penerima, dari daun jati ke tanah yang akan mengurainya kembali, setiap unsur dari kurban ini adalah cerita tentang harapan baru—bahwa ibadah dan keberlanjutan lingkungan bisa berjalan beriringan.
Dan siapa tahu, satu besek dari Semarang ini akan menjadi percikan yang membakar semangat perubahan di seluruh negeri. Karena dalam satu tindakan kecil yang penuh kesadaran, tersimpan kekuatan besar untuk menyelamatkan masa depan.