Islam dan Jawa di Mata Muhammadiyah

Oleh:

Gunoto Saparie

Ketua Umum Dewan Kesenian Jawa Tengah (DKJT).

Barangkali kita harus memulai dari sebuah bayangan cermin: sebuah upaya untuk melihat bagaimana Islam dan Jawa saling memantulkan dirinya di mata Muhammadiyah.

Di satu sisi, ada keinginan untuk menegakkan orisinalitas ajaran Islam, menjernihkannya dari kabut sinkretisme dan mitos yang tumbuh di tanah Jawa. Di sisi lain, ada kebudayaan yang telah berabad-abad membentuk manusia Jawa, dengan segala ketenangan, mistisisme, dan rasa halusnya. Antara dua bayangan itu, Muhammadiyah berdiri.

Najib Burhani dari Badan Riset dan Inovasi Nasional, dalam membaca Muhammadiyah, mencoba menemukan keseimbangan di tengah dua dunia itu. Ia menulis bahwa Muhammadiyah tetap mengapresiasi kebudayaan, meski di level permukaan, pada apa yang ia sebut surface culture. Ia tidak menolak wayang, gamelan, atau batik; tetapi di baliknya, ia ingin mengganti inti terdalam kebudayaan, yaitu mistisisme Jawa, dengan tauhid. Islam, menurutnya, harus rasional, bersih dari takhayul, dan berorientasi pada ilmu pengetahuan.

Tentu, ada sesuatu yang masuk akal dalam pembacaan Najib. Akan tetapi, ada juga yang terasa ganjil. Sebab dengan membatasi apresiasi hanya di permukaan, ia seolah menganggap bahwa kebudayaan adalah kulit yang bisa dilepas kapan saja. Seakan-akan deep culture—nilai, keyakinan, dan sistem rasa yang membentuk perilaku—bisa diceraikan dari permukaan yang kasat mata.

Padahal, seperti dikatakan Edward B. Tylor pada abad ke-19, kebudayaan adalah “a complex whole”. Ia bukan sekadar seni atau upacara, melainkan jaringan keyakinan, pengetahuan, dan nilai moral yang saling mengikat satu sama lain.

Maka, kalau Muhammadiyah hanya berdamai dengan permukaannya, apa yang tersisa dari kebudayaan Jawa?

Di sini mungkin tampak ironi yang halus, tetapi tajam: Muhammadiyah, gerakan yang lahir dari semangat rasionalisme Islam, ternyata melakukan tindakan yang serupa dengan kolonialisme epistemik. Ia menilai mana unsur budaya yang “layak” dipertahankan dan mana yang harus ditinggalkan, dengan ukuran akal dan agama yang telah dimodernkan. Ia menyeleksi, menakar, bahkan “mengurasi” kebudayaan dengan niat yang baik: agar Islam murni. Namun, seperti banyak niat baik dalam sejarah, hasilnya tidak selalu sederhana.

Kita mungkin perlu membayangkan kembali situasi awal abad ke-20, ketika K.H. Ahmad Dahlan membawa pulang semangat pembaruan dari Timur Tengah. Ia membaca Al-Manar, mengenal Abduh dan Rasyid Ridha, mengagumi Al-Afghani. Semua berbicara tentang kemurnian Islam, tentang kembali ke Al-Qur’an dan Sunah.

Akan tetapi, yang menarik, K.H. Ahmad Dahlan tidak hidup di Kairo, melainkan di Yogyakarta, pusat kebudayaan Jawa. Di sana, setiap doa bercampur dengan nyanyian, setiap upacara adalah pertemuan antara roh dan rasio.

Dalam ruang yang demikian, gagasan rasional Islam tidak bisa masuk begitu saja. Ia mesti menegosiasikan dirinya dengan rasa.

Maka, mungkin yang dilakukan K.H. Ahmad Dahlan bukanlah penghancuran, tetapi translasi. Ia mencoba menerjemahkan tauhid dalam bahasa budaya yang telah ada. Hanya saja, generasi sesudahnya lebih sering membaca itu sebagai penyeragaman, sebagai misi untuk “membongkar mitos-mitos Jawa dengan ilmu pengetahuan.”

Di sinilah muncul apa yang bisa disebut sebagai “sikap tebang pilih”. Muhammadiyah memelihara bentuk luar kebudayaan, tetapi menolak inti yang paling dalam. Namun, apakah benar hanya itu yang terjadi?

Mungkin tidak sesederhana itu. Sebab “tebang pilih” bisa pula dibaca sebagai bentuk lain dari pergulatan, bukan sekadar penolakan. Setiap agama besar yang datang ke sebuah tanah asing pasti harus memilih: apa yang akan ia serap, apa yang akan ia tolak.

Kekristenan di Eropa mengambil alih simbol-simbol pagan dan mengubah maknanya. Islam di Nusantara pun demikian: ia tidak membakar candi, tetapi memberi nama baru pada roh-roh yang dulu disembah.

Maka, ketika Muhammadiyah menolak mistisisme Jawa, ia sebenarnya sedang berusaha menegaskan identitas baru Islam di tanah yang telah lama beragama dengan cara berbeda. Itu bukan sekadar “pembersihan”, tetapi juga penegasan batas.

Namun, tentu saja, setiap batas punya harga. Harga itu adalah jarak yang kian melebar antara agama dan budaya, antara iman dan rasa, antara rasionalitas dan kehalusan batin.

Ketika Muhammadiyah mendirikan sekolah, rumah sakit, dan universitas, ia memang mengangkat Islam ke ruang modernitas. Namun, pada waktu yang sama, ia perlahan menyingkirkan ruang-ruang simbolik yang dulu memberi makna pada kehidupan Jawa: ritual, doa yang bersajak, malam-malam sunyi di makam leluhur.

Dalam hal ini, posisi Najib Burhani tampak ingin mendamaikan dua kutub. Ia tidak menolak gagasan bahwa Muhammadiyah “merasionalisasi” budaya Jawa, tetapi ia berusaha melihat di dalamnya semacam kontinuitas: bahwa Islam yang rasional pun bisa menjadi bentuk kebudayaan baru. Bahwa proses “mengisi Jawa dengan nilai Islam” bukan berarti membuang Jawa, melainkan menciptakan bentuk Jawa yang lain.

Namun, di sinilah letak kesalahpahaman yang halus: seakan-akan kebudayaan bisa dibentuk dari atas, lewat keputusan teologis. Padahal, kebudayaan tumbuh dari bawah, dari kebiasaan, dari rasa, dari cara orang menyentuh waktu. Deep culture tidak bisa direkayasa seperti kurikulum pendidikan; ia membutuhkan waktu, ketulusan, dan bahkan ketidaksadaran.

Mungkin karena itu, Kuntowijoyo menyebut Muhammadiyah sebagai “kebudayaan baru tanpa kebudayaan lama”. Sebuah kebudayaan yang berdiri di atas kesadaran yang terlalu tajam, terlalu teologis, terlalu rasional untuk menampung paradoks yang menjadi napas kebudayaan lama. Akan tetapi, dan inilah ironinya, kebudayaan tidak pernah benar-benar bisa diputus.

Ketika warga Muhammadiyah salat berjemaah di masjid dengan arsitektur modern, di dalam dirinya masih hidup rasa Jawa yang lembut: kesopanan, rasa isin, kebiasaan menunduk. Dalam bahasa Goenawan Mohamad, “sejarah tidak pernah selesai”. Ia hanya berubah wujud, berpindah tempat, bersembunyi di balik kata-kata baru.

Mungkin pada akhirnya, “tebang pilih” bukanlah kesalahan, melainkan cara Muhammadiyah bertahan di antara dua arus besar: rasionalitas Islam dan spiritualitas Jawa. Ia bukan jalan tengah, tetapi sebuah tegangan yang abadi. Dalam tegangan itulah identitas terus berdenyut, seperti gamelan yang tak pernah berhenti bergetar meski palunya sudah berhenti memukul.

Dan dari sanalah, mungkin, kita belajar sesuatu: bahwa agama dan budaya bukan dua kutub yang saling meniadakan, melainkan dua wajah dari pencarian yang sama: pencarian akan makna.

Muhammadiyah memilih jalannya sendiri, sebagaimana orang Jawa memilih diamnya sendiri. Di antara keduanya, sejarah Indonesia terus berjalan, dengan segala kejanggalan dan keindahannya.

Baca juga:

Muhammadiyah dan Wasathiyah

Editor:

Agung S Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top