Qolbun Salim: Solusi Mengatasi Kegelisahan di Era Digital

Oleh:

Dr. Sofa Muthohar, M.Ag

Sekretaris Majelis Tabligh, Pimpinan Daerah Muhammadiyah (PDM) Kota Semarang

Era digital membawa banyak kemudahan, namun juga tantangan besar bagi kesehatan mental. Data menunjukkan adanya korelasi antara tingginya penggunaan media sosial dengan peningkatan stres, kecemasan, depresi, dan kesepian, khususnya di kalangan generasi muda.

Tekanan untuk selalu “up to date” dan menampilkan citra diri yang sempurna di media sosial sering kali memicu kecemasan. Kondisi ini muncul dari mekanisme intrinsik platform digital yang terus-menerus menampilkan gambaran hidup tidak realistis, sehingga memicu perbandingan sosial yang tidak sehat. Perbandingan ini, diperkuat oleh fitur-fitur media sosial, membuat orang merasa tidak cukup baik dan tidak puas dengan diri sendiri.

Hati (Qalb): Pusat Kehidupan Manusia dalam Islam

Sementara itu dalam Islam, hati (qalb) adalah pusat spiritual dan moral, bukan sekadar organ fisik. Kualitas hati menentukan baik atau buruknya seluruh kehidupan seseorang, termasuk kesehatan mentalnya. Gangguan apa pun pada hati akan berdampak langsung pada kesejahteraan jiwa.

Rasulullah ﷺ bersabda, “Ingatlah, dalam jasadmu terdapat segumpal daging. Jika ia baik, maka baiklah seluruh jasadmu. Jika ia rusak, maka rusaklah seluruh jasadmu. Ingatlah, ia adalah hati.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Oleh karena itu, menjaga hati adalah upaya fundamental untuk mencegah dan mengobati kegelisahan.

Di tengah kegelisahan era digital, Islam menawarkan konsep Qolbun Salim, atau hati yang selamat, bersih, dan tenang. Qolbun Salim adalah kondisi hati yang suci dari penyakit spiritual dan menjadi fondasi ketenangan jiwa. Memilikinya adalah kunci untuk menghadapi tantangan digital dengan iman yang teguh dan ketahanan mental yang kokoh.

Penyakit Hati yang Subur di Era Digital

Penyakit hati yang telah diidentifikasi dalam Islam, seperti riya (pamer), ujub (bangga diri), dan hasad (iri hati), kini menemukan lahan subur di era digital. Media sosial mendorong pengguna menampilkan sisi terbaiknya, bahkan yang tidak realistis. Postingan yang bertujuan mencari pujian atau “likes” serta kebanggaan terhadap jumlah followers merupakan manifestasi dari riya dan ujub.

Allah SWT berfirman dalam QS Al-Baqarah ayat 264 bahwa perbuatan riya dapat merusak pahala sedekah. Rasulullah ﷺ juga mengingatkan bahwa riya adalah “syirik kecil” yang paling beliau khawatirkan (HR. Ahmad).

Sementara itu, fitur perbandingan sosial di media sosial secara inheren memicu hasad. Ketika melihat unggahan orang lain yang tampak sempurna—mulai dari penampilan fisik, gaya hidup, hingga pencapaian—sering kali muncul perasaan tidak suka atas nikmat yang Allah berikan kepada mereka. Perasaan ini memicu ketidakpuasan diri dan kecemburuan sosial.

Meskipun tidak secara eksplisit disebut sebagai ghibah, fenomena hate speech (ujaran kebencian) dan penggunaan bahasa yang tidak senonoh menunjukkan bagaimana platform digital juga bisa disebut memfasilitasi penyebaran perkataan buruk. Lingkungan anonimitas dunia maya sering kali menurunkan batasan etika, sehingga memudahkan seseorang untuk ber-ghibah atau menyebarkan fitnah.

Sementara itu arsitektur platform digital, dengan metrik seperti “likes” dan “followers,” dirancang untuk mengeksploitasi kerentanan psikologis manusia dan memperkuat penyakit hati ini. Sifatnya yang instan dan publik menciptakan siklus kecanduan di mana perilaku negatif diperkuat.

Melihat “kehidupan sempurna” orang lain secara terus-menerus memicu perbandingan sosial yang intens, yang secara langsung memperburuk hasad dan ketidakpuasan diri. Akibatnya, penyakit hati ini tidak hanya ada, tetapi menjadi jauh lebih sering dan intensif termanifestasi, berkontribusi langsung pada masalah kesehatan mental seperti ketidakpuasan diri, kepercayaan diri, dan kecemburuan sosial.

Meraih Qolbun Salim: Solusi Praktis di Era Digital

Untuk meraih Qolbun Salim, diperlukan langkah-langkah praktis. Pertama, memperbanyak zikir dan doa. Mengingat Allah (zikir) adalah kunci ketenangan hati, sebagaimana firman Allah SWT dalam QS Ar-Ra’d ayat 28, “Ingatlah, hanya dengan mengingati Allah hati akan menjadi tenang”. Zikir dan doa mengalihkan fokus dari kecemasan duniawi menuju kedamaian batin.

Kita juga dapat mencontoh doa Nabi Muhammad ﷺ, “Ya Allah Yang Maha membolak-balikkan hati, teguhkanlah hatiku di atas agama-Mu”.

Kedua, menjaga diri dari lingkungan digital negatif dan menetapkan batasan. Ini berarti membatasi paparan terhadap konten negatif, gosip, atau perbandingan yang tidak sehat. Menetapkan batasan waktu yang jelas untuk penggunaan teknologi digital sangat penting untuk mencegah kecanduan dan masalah kesehatan mental.

Ketiga, meningkatkan ilmu agama dan mengamalkannya. Ilmu agama membimbing hati untuk membedakan antara yang baik dan buruk, memberikan peta jalan yang jelas di tengah kebingungan informasi digital.

Keempat, perbanyak istighfar dan taubat. Membersihkan hati dari penyakit spiritual memerlukan introspeksi diri dan memohon ampun kepada Allah (istighfar). Bahkan Rasulullah ﷺ beristighfar seratus kali sehari. Proses ini membersihkan hati dari “karat” dosa dan penyakit spiritual yang dapat mengeraskan hati.

Kelima, bersyukur. Sikap bersyukur memusatkan perhatian pada nikmat yang telah dimiliki, bukan pada apa yang orang lain miliki. Syukur adalah “filter alami” yang menjaga pikiran tetap jernih dan hati tetap damai, melawan iri hati dan ketidakpuasan yang dipicu oleh media sosial.

Dan keenam, berbuat baik dan peduli sesama. Berbuat baik kepada orang lain, bersedekah, dan membantu sesama adalah cara efektif untuk meraih hati yang suci. Tindakan ini memperkuat hubungan sosial yang tulus dan melawan kesepian yang sering diakibatkan oleh interaksi digital yang minim sentuhan personal.

Pada akhirnya, di tengah kompleksitas era digital Qolbun Salim bukanlah konsep pasif, melainkan sebuah perjalanan spiritual yang aktif dan berkelanjutan. Hati yang bersih dan tunduk sepenuhnya kepada Allah adalah benteng terkuat dari gelombang kegelisahan, stres, dan depresi yang sering diakibatkan oleh kemajuan teknologi.

Dengan mengamalkan nilai-nilai Qolbun Salim dalam setiap aspek kehidupan—seperti zikir, taubat, syukur, sabar, dan tawakal—kita tidak hanya meraih ketenangan di dunia, tetapi juga mempersiapkan bekal terbaik untuk akhirat. Jadikan

Qolbun Salim merupakan kompas yang membimbing kita untuk menavigasi dunia digital secara sadar dan tangguh, menuju kehidupan yang lebih bermakna dan damai.

Editor:

Agung S Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top