MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, GAYAMSARI – Pimpinan Cabang Muhammadiyah Gayamsari secara rutin mengadakan kajian yang diperuntukkan bagi staf AUM, pengajar dan masyarakat sekitar pada hari Ahad pada pekan ke-1,3,dan 4/5 setiap bulannya. Bertempat di masjid At-Taqwa Al-Mukaramah Jl. Medoho Seruni no 24, Sambirejo. Untuk tanggal 6 Februari 2022, kajian tersebut diisi oleh narasumber ustadz Dr. H. Ahmad Furqon Lc.MA. yang dalam kajian ini akan menyampaikan tema “Fiqih Sunnah Bab Shalat Sunnah”

Terlalu banyak hadits Nabi SAW yang menekankan penting dan utamanya shalat wajib berjamaah apalagi dilaksanakan tepat waktu (yakni diawal waktu) di masjid. Sedangkan Allah SWT kadang menggandengkan perintah shalat berjamaah setelah menyebutkan perintah shalat dan zakat. Sebagaimana firman Allah didalam surat Al-Baqarah ayat 43 :
وَاَقِيْمُوا الصَّلٰوةَ وَاٰتُوا الزَّكٰوةَ وَارْكَعُوْا مَعَ الرَّاكِعِيْنَ
Terjemah Arti : Dan laksanakanlah salat, tunaikanlah zakat, dan rukuklah beserta orang yang rukuk.
Disana ada nilai ukhuwah, kebersamaan dan silaturahmi antar sesama saudara muslim, ada nilai gerakan meninggalkan kemalasan, dan masih banyak manfaat yang bisa diperoleh sehingga orang yang melangkahkan kakinya untuk berjamaah di masjid menurut Nabi SAW akan dinaikkan derajatnya oleh Allah hingga 25 atau 27 derajat, dihapuskan kesalahannya dan senantiasa didoakan malaikat supaya Allah memberikan shalawat dan kasih sayang kepadanya (HSR. Al Bukhari, Muslim dll)
Sedemikian pentingnya sahalat berjamaah sehingga Nabi SAW sempat punya keinginan untuk membakar rumah orang yang tidak ikut shalat berjamaah padahal dia tidak punya udzur (halangan) untuk berjamaah di masjid (HSR Al-Bukhari dan Muslim). Meskipun ini hanya keinginan Nabi SAW yang tidak pernah dan tidak noleh diwujudkan, namun hadits diatas hanya ingin menunjukkan pentingnya shalat berjamaah di masjid bagi mukmin padahal tidak ada udzur, seperti : karena sakit, hujan, jarak rumah jauh dari masjid, atau kesibukan yang luar biasa yang tidak mungkin untuk ditinggalkan, dan semacamnya. Bahkan sekiranya sudah shalat dirumah, namun ternyata masih mendapatkan shalat berjamah di masjid, maka Nabi SAW menganjurkan untuk tetap ikur berjamaah. Hal ini didasarkan pada kasus dua orang yang duduk disisi masjid, dan tidak ikut shalat berjamaah diwaktu shubuh sehingga Nabi SAW bertanya kepada mereka “Apa yang mencegahmu sehingga kalian tidak ikut shalat bersama kami?” Kata keduanya : “Kami sudah shalat dirumah Kami” Maka beliaupun berkata kepada keduanya :
وَإِ لَّا ف صَلاَةَ اللَّا جُلِ مَعَ اللَّا جُلِ أَزْ ى مِنْ صَلاَتِوِ وَ دَهُ وَصَلاَتُوُ مَعَ اللَّا جُلَ أَزْ ى مِنْ صَلاَتِوِ مَعَ اللَّا جُلِ وَمَا ثػ فَػ وَ أَ بُّ إِلَذ الللَّاوِ تَػعَالَذ
Terjemahan : “Sesungguhnya shalat seseorang dengan satu orang lebih utama daripada shalat sendirian. Shalat seseorang bersama dua orang lebih utama daripada shalatnya bersama satu orang. Jika lebih banyak, maka lebih dicintai Allah Swt”. (HR. Abu Daud).
Hadits diatas menunjukkan pentingnya shalat berjamaah walaupun kita tahu bahwa pada asalnya tidak ada shalat sunnah setelah shalat Subuh kecuali bagi yang biasa merutinkan shalat sunnah Fajar dan bagi orang yang masih mendapatkan shalat jamaah Subuh walaupun sudah shalat subuh dirumahnya.
Namun jika memang tidak sempat shalat berjamaah di masjid maka upayakan tetap shalat berjamaah dimanapun dengan mmprioritaskan “tuan rumah” sebagai imam shalat, kecuali tuan rumah mempersilakan orang yang lebih layak untuk menjadi imam. Jika ada yang merasa dirinya paling layak untuk menjadi imam shalat menurut kriteria al-sunnah, maka sebaiknya tetap minta izin pada tuan rumah untuk menjadi imam shalat. Hal ini karena Nabi SAW sendiri minta izin untuk mengimami shalat dirumah sahabatnya : Itban bin Malik sebelum maju mengimami mereka (HR. Al-Bukhari, 1/175 : 686)

Kriteria Imam Shalat
Hal yang termasuk penting dalam membangun jamaah namun sering disepelekan oleh jamaah adalah masalah imam shalat. Kadang kita temukan imam yang diajukan oleh jamaah adalah orang yang paling tua meskipun secara hafalan Al-Quran dan kefasihannya masih ada yang lebih baik.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam menegaskan :
الإِمَامُ ضَامِنٌ
Terjemahan : “Fungsi imam adalah sebagai penjamin”
Jika ia bisa memimpin sholat dengan baik, maka baginya dan para makmum pahala yang sempurna, akan tetapi jika imam ada kesalahan, maka kesalahan tersebut ditanggung oleh imam sendiri dan bagi makmum pahala yang sempurna.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah memberikan petuah :
يُصَلُّونَ لَكُمْ، فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ [ولهم]، وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ
Terjemahan : “Jika para imam yang shalat dengan kalian itu benar maka pahala bagi kalian semua, akan tetapi jika mereka melakukan kesalahan, bagi kalian pahalanya, kesalahannya hanya ditanggung oleh para imam tersebut”
Oleh karena itu mengetahui apa saja syarat menjadi imam shalat merupakan sesuatu yang sangat penting, dan jangan sampai ada seorang yang bodoh, tidak tahu-menahu tentang hukum-hukum yang ada dalam sholat jama’ah kemudian maju menjadi imam.
Atau seorang yang tidak tahu tentang rukun, kewajiban dan sunnah-sunnah shalat. saat ia meninggalkan satu rukun, misalkan sujud, dia bingung apa yang harus dilakukan, maka ini juga jangan berani-berani menjadi imam, apalagi disana ada seorang yang lebih faham dengan seluk-beluk terkait imam. Tetap pilihlah seorang yang paling tahu dikalangan jamaah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah menyampaikan tentang siapa yang paling berhak menjadi imam dalam hadist riwayat Imam Muslim no 673 dari sahabat Abu Mas’ud Al-Anshari :
عَنْ أَبِي مَسْعُودٍ الْأَنْصَارِيِّ، قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: «يَؤُمُّ الْقَوْمَ أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ، فَإِنْ كَانُوا فِيالْقِرَاءَةِ سَوَاءً، فَأَعْلَمُهُمْ بِالسُّنَّةِ، فَإِنْ كَانُوا فِي السُّنَّةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ هِجْرَةً، فَإِنْ كَانُوا فِي الْهِجْرَةِ سَوَاءً، فَأَقْدَمُهُمْ سِلْمًا، وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ، وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ» قَالَ الْأَشَجُّ فِي رِوَايَتِهِ: مَكَانَ سِلْمًا سِنًّا،
Terjemahan : “Dari Abu Mas’ud Al-Anshari rhadiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertutur : Yang paling berhak untuk menjadi imam adalah orang yang paling pintar dan paling banyak hafalan Al-Qur’annya, jika dalam hal itu sama, maka dahulukan yang paling faham dengan sunnah, jika pengetahuan sunnah (dari para kandidat imam) sama, maka dahulukan orang yang lebih dahulu berhijrah, jika dalam waktu hijrah juga sama, dahulukan orang yang paling dahulu islamnya, dan janganlah seorang mengimami seorang yang memiliki kekuasaan, dan jangan seorang duduk dibangku kemulian milik seseorang kecuali dengan izinnya.” Berkata Al-Asyaj dalam suatu riwayat : kata “lebih dahulu islamnya” diganti dengan “lebih tua umurnya”.
Pada hadits ini, disebutkan dengan sangat jelas, urutan siapa saja yang paling berhak untuk menjadi imam. Dalam hadits ini, setidaknya mengumpulkan lima kriteria atau syarat menjadi imam shalat:
1. Kesempurnaan bacaan Al-Qur’an dan banyaknya hafalan
2. Pengetahuan terhadap sunnah (hadits-hadits)
3. Waktu Hijrah
4. Waktu masuk islam
5. Umur
Kita bahas yang pertama,
((Kesempurnaan bacaan Al-Qur’an dan banyaknya hafalan)), ini diambil dari sabda beliau ((أَقْرَؤُهُمْ لِكِتَابِ اللهِ)). Dan para ulama menjelaskan makna ((أَقْرَأُ)) mencakup dua hal.
Yang Pertama seorang yang paling banyak hafalannya. Sebagaimana dalam hadist.
لَمَّا قَدِمَ المُهَاجِرُونَ الأَوَّلُونَ العُصْبَةَ – مَوْضِعٌ بِقُبَاءٍ – قَبْلَ مَقْدَمِ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ يَؤُمُّهُمْ سَالِمٌ مَوْلَى أَبِي حُذَيْفَةَ، وَكَانَ أَكْثَرَهُمْ قُرْآنًا
Terjemahan : “diawal kedatangan kaum muhajirin di daerah usbah (sebuah daerah di Quba) sebelum kedatangan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, yang menjadi imam sholat adalah salim maula abu hudzaifah, dan ketika itu, dialah yang paling banyak hafalan Al-Qur’annya ” (Al-Bukhari No. 692)
Yang kedua, kata ((أَقْرَأُ)) memiliki makna, yang paling bagus bacaan dan tajwidnya. Sebagaimana dijelaskan dalam komisi fatwa saudi arabia no 19048 pertanyaan no 4, tentang makna ((أَقْرَأُ)) ini. mereka berkata :
المراد بذلك: أحسنكم تلاوة، وترتيلا للقرآن، ويراد به أيضا: أكثركم قرآنا، فمن كان أحسن تلاوة وترتيلا للقرآن وأكثر حفظا للقرآن، فهو أولى بالإمامة ممن هو أقل منه في ذلك، لا سيما إذا كان فقيها في صلاته.
“Maksudnya adalah seorang yang paling bagus bacaannya, paling tartil, dan kata tersebut juga memiliki makna ‘yang paling banyak hafalannya’
jika ada seorang yang bacaannya bagus, tartil dan banyak hafalan maka ia yang paling berhak untuk menjadi imam dari selainnya, lebih-lebih lagi jika ia seorang yang faham dengan seluk-beluk shalat”
Catatan : seorang yang tartil bacaannya dan banyak hafalannya paling berhak untuk menjadi imam. Dengan catatan, bahwa dia adalah seorang yang mengerti fikih dan hukum-hukum syareat yang berkaitan dengan shalat. Hal ini ditegaskan oleh Ibnu Hajar rahimahullah dalam Fath Al-Bari Juz 2 Hal 171.
Kemudian Yang Kedua : Pengetahuan Terhadap Sunnah
Jika kriteria pertama, banyaknya hafalan dan tartilnya bacaan dimiliki oleh banyak orang, dan harus memilih salah satunya, maka kita memilih orang yang paling tahu dengan sunnah.
Maksud dari “paling tahu terhadap sunnah” adalah orang yang paling faham dengan hukum-hukum agama, baik sholat, puasa, zakat, haji dan lainnya.
Kemudian Yang Ketiga : Waktu Hijrah
Maksudnya adalah siapakah yang lebih dahulu berpindah dari negri kafir menuju negri islam.
Dan dahulu, yang beliau maksud adalah seorang yang lebih dahulu berhijrah menuju nabi shallallahu ‘alaihi wasallam lebih berhak menjadi imam jika mereka sama dalam dua kriteria yang pertama dan kedua.
Kemudian Yang Keempat : Waktu Islam
Jika dalam suatu daerah ada seorang yang hafalan dan bacaan Al-Qur’annya sama, begitu juga dengan ilmu fiqihnya serta waktu hijrahnya, maka didahulukan orang yang paling dahulu masuk islam.
Kemudian Yang Kelima : Umur
Jika empat kriteria diatas dimiliki oleh semua kandidat, maka didahulukan orang yang paling tua umurnya.
Faedah lain dari hadist :
Yang pertama :
وَلَا يَؤُمَّنَّ الرَّجُلُ الرَّجُلَ فِي سُلْطَانِهِ
Terjemahan : “Dan janganlah (seorang tamu) mengimami tuan rumah“
Maksudnya adalah seorang jika sedang bertamu pada suatu masjid, dan dia juga seorang imam dimasjid kotanya, maka tamu ini, tidak boleh maju menjadi imam, kecuali jika dipersilahkan. Dan hadist ini juga difahami, bahwa pemimpin negara jika datang pada suatu daerah, maka ia lebih berhak menjadi imam dari pada yang lainnya. Begitu juga, jika ada suatu udzur yang menyebabkan beberapa orang sholat berjamaan dirumah, maka yang paling berhak adalah tuan rumahnya. Akan tetapi yang perlu dicatat dalam hal ini adalah pemimpin negara, tuan rumah, dan yang semisalnya tersebut seorang yang pantas (memiliki fiqih) untuk menjadi imam.
Yang Kedua :
Seorang muslim saat bertamu, diharamkan untuk duduk ditempat yang biasanya dikhususkan untuk pemilik rumah.
Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
وَلَا يَقْعُدْ فِي بَيْتِهِ عَلَى تَكْرِمَتِهِ إِلَّا بِإِذْنِهِ
Terjemahan : “…dan jangan seorang duduk dibangku kemulian milik seseorang kecuali dengan izinnya”
Setelah kita mengetahui siapa yang berhak menjadi imam, ada sebuah hadist yang hendaknya diperhatikan oleh seorang imam.
Hadits yang dimaksud adalah hadist Abu Hurairah rhadiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (703) dan Imam Muslim (467)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ, فَإِنَّ فِيهِمْ الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ, فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ
Terjemahan : “Jika kalian menjadi imam, ringankanlah sholat mu, karena diantara makmu ada anak kecil, orang tua / jompo, orang lemah/sakit atau orang yang sedang dikejar waktu. Adapun jika ia sholat sendiri, silahkan memperpanjang sholatnya sesuai keinginannya.”
Para ulama mengatakan bahwa perintah dalam hadist ini tidak bermaksud wajib. Akan tetapi hanya sunnah. Dan maksud dari meringankan sholat adalah : meringankan yang tidak sampai menghilangkan atau mengurangi kesempurnaan sholat. Dalam artian seorang imam harus tumakninah dalam gerakan dan bacaannya. Kemudian, jika dalam jamaah itu sudah terbiasa sholat panjang, maka boleh-boleh saja imam memanjangkan bacaan dan shalatnya. Hendaknya imam, selalu melihat kondisi yang ada saat itu, apakah dia harus meringankan shalat atau memanjangkannya. Dan jika para makmum tidak ada orang-orang yang memiliki udzur sebagaimana diatas, maka boleh-boleh saja bagi imam untuk memanjangkan shalatnya.
Kesimpulannya, seorang imam melihat keadaan kemudian memutuskan dengan bijak. Sehingga tidak membuat shalat rusak karena meninggalkan tumakninah atau hal yang semisal, juga tidak terlalu panjang sehingga para makmum menjadi bosan, dan malas sholat berjamaah.
Jadilah Imam & Makmum Yang Bijaksana
Seorang imam dituntut untuk bijaksana dalam menentukan panjang pendeknya shalat. Jangan sampai ia mengimami dengan membaca surat yang sangat panjang Al-Baqarah misalkan. Jika ini terjadi tentu masyarakat kita akan merasa berat, karena sebagian mereka sudah terbiasa membaca yang pendek, diantara mereka mungkin ada yang saat shalat hanya membaca qul (An-Naas, Al-Falaq atau Al-Ikhlas). Sehingga seorang imam sangat dituntut untuk bijak.
Sebagaimana dalam sebuah hadist Abu Hurairah rhadiyallahu ‘anhu yang diriwayatkan oleh Imam Al-Bukhari (703) dan Imam Muslim (467)
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda :
إِذَا أَمَّ أَحَدُكُمْ النَّاسَ فَلْيُخَفِّفْ, فَإِنَّ فِيهِمْ الصَّغِيرَ وَالْكَبِيرَ وَالضَّعِيفَ وَذَا الْحَاجَةِ, فَإِذَا صَلَّى وَحْدَهُ فَلْيُصَلِّ كَيْفَ شَاءَ
Terjemahan : “Jika kalian menjadi imam, ringankanlah sholat mu, karena diantara makmum ada anak kecil, orang tua / jompo, orang lemah / sakit atau orang yang sedang dikejar waktu. Adapun jika ia sholat sendiri, silahkan memperpanjang sholatnya sesuai keinginannya”
Lalu apa yang harus dibaca oleh imam saat shalat setelah membaca Al-Fatihah. Apakah ada saran dari Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam akan pemilihan surat ? apakah ada standar dalam panjang pendek nya shalat ?
Dahulu sahabat Mu’adz bin Jabal rhadiyallahu ‘anhu pernah menjadi imam, ketika itu beliau membaca surat yang sangat panjang. Sampai-sampai ada jamaahnya yang meninggalkan mu’adz rhadiyallahu ‘anhu dan meneruskan shalatnya sendiri kemudian ia salam dan pergi.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika mengetahui hal ini sangat mengingkari perbuatan mu’adz rhadiyallahu ‘anhu dengan keras. Lalu beliau memberikan nasihat :
إِذَا أَمَمْتَ النَّاسَ فَاقْرَأْ بِالشَّمْسِ وَضُحَاهَا، وَسَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الْأَعْلَى، وَاقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ، وَاللَّيْلِ إِذَا يَغْشَى
Terjemahan : “(wahai muadz) jika engkau menjadi imam (setelah Al-Fatihah) bacalah surat Asy-syams, Al-A’la, Al-‘alaq, dan Al-Lail”
Artinya, dalam shalat jamaah seorang imam hendaknya tidak membaca surat yang terlalu panjang, kecuali jika jamaah telah terbiasa dan tidak menimbulkan fitnah.
Akan tetapi bagi seorang makmum juga harus mengetahui, bahwa imam boleh saja membaca surat-surat yang cukup panjang seperti At-Tur, dan dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah mengimami dengan membaca surat At-Tur, Jubair bin Muth’im dalam hadits Al-Bukhari (765) dan Muslim (463) bercerita :
سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ g يَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِالطُّورِ
Terjemahan : “Aku pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat At-Tur dalam shalat maghribnya ”
Dan dalam riwayat hadist yang lain disebutkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu memanjangkan shalat dhuhur, memendekan sholat ashar, pada saat magrib beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat-surat pendek, pada sholat isya, beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat yang sedang, dan pada saat shubuh beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca surat yang cukup panjang :
Berikut hadist diriwayatkan oleh Imam An-Nasai (982) dan dishahihkan oleh syaikh Al-Albani,
مَا صَلَّيْتُ وَرَاءَ أَحَدٍ أَشْبَهَ صَلَاةً بِرَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مِنْ فُلَانٍ – قَالَ سُلَيْمَانَ – كَانَ يُطِيلُ الرَّكْعَتَيْنِ الْأُولَيَيْنِ مِنَ الظُّهْرِ، وَيُخَفِّفُ الْأُخْرَيَيْنِ، وَيُخَفِّفُ الْعَصْرَ، وَيَقْرَأُ فِي الْمَغْرِبِ بِقِصَارِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الْعِشَاء بِوَسَطِ الْمُفَصَّلِ، وَيَقْرَأُ فِي الصُّبْحِ بِطُوَلِ الْمُفَصَّلِ
Terjemahan : “Aku tidak pernah shalat dibelakang orang yang sholatnya sama dengan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam selain orang ini” (maksudnya : saat menjadi imam, orang ini mirip dengan cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam panjang pendeknya shalat)
Sulaiman (rawi hadist tersebut) berkata : “imam tersebut memanjangkan dua rakaat dhuhurnya, dan meringankan dua rakaat setelahnya, dan pada shalat ashar ia meringankan shalatnya. Saat maghrib beliau membaca surat-surat pendek, saat isya ia membaca surat yang sedang, dan saat shubuh beliau membaca surat yang cukup panjang”
Apa maksud dari surat pendek ?
Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat pendek ini dimulai dari surat Ad-Dhuha sampai surat terakhir, An-Nas,
Apa maksud surat sedang ?
Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat sedang ini dimulai dari surat Abasa hingga surat Ad-Dhuha
Apa maksud surat cukup panjang ?
Syaikh Ibnu Baz berpendapat bahwa surat cukup panjang ini dimulai dari surat Qof hingga surat Abasa
Dari hadist ini, kita tahu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memanjangkan shalat dhuhur, meringankan shalat ashar, pada shalat maghrib beliau membaca surat pendek, tapi terkadang membaca surat yang cukup panjang, seperti At-Tur, pada shalat isya’ beliau membaca surat yang sedang, dan saat shalat shubuh beliau membaca surat yang cukup panjang.
Kenapa saat shubuh surat yang dibaca panjang ?
Syaikh Abdullah Al-Fauzan memberikan beberapa alasan diantaranya : Hal itu bermanfaat untuk menunggu jamaah yang belum bangun, agar tidak tertinggal shalat jamaah, lalu shalat shubuh adalah shalat yang hanya dua rakaat, yang ketika karena mereka sudah rilex selepas istirahat semalaman, sehingga nyaman saat mendengar bacaan Al-Qur’an, begitu juga, saat itu bacaan Al-Qur’an disaksikan oleh malaikat oleh sebab itulah shalat shubuh dinamakan Qur’anul Fajr
أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ إِلَى غَسَقِ اللَّيْلِ وَقُرْآَنَ الْفَجْرِ إِنَّ قُرْآَنَ الْفَجْرِ كَانَ مَشْهُودًا
Terjemahan : “Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat)”


Imam Shalat Perempuan dengan Makmum Laki-laki Dewasa, Bolehkah ?
Imam dalam salat merupakan salah satu syarat bagi terlaksananya salat yang dilakukan secara berjamaah. Tanpa imam,
salat berjamaah tidak akan terselenggara dengan baik. Maka dari itu, untuk kelancaran salat berjamaah perlu ada imam tetap atau imam pengganti. Untuk menetapkan seseorang menjadi imam, baik imam tetap maupun imam pengganti terdapat beberapa kriteria atau syarat yang harus dijadikan acuan.
Kriteria atau syarat yang dimaksud adalah bacaan Alqurannya bagus, memiliki pengetahuan agama, taqwanya tinggi dan paling tua umurnya. Seseorang menjadi imam atau pengganti imam adalah orang yang paling bagus bacaan Alqurannya; jika bacaannya sama, maka yang paling mengetahui tentang sunnah; jika pengetahuannya tentang sunnah sama, maka yang dipilih adalah yang lebih dahulu melakukan hijrah, maka jika tetap sama maka dipilih yang paling tua.
Imam laki-laki untuk jamaah laki-laki dan perempuan tidak menjadi perselisihan dikalangan fuqaha. Namun perempuan menjadi imam bagi laki-laki dalam salat berjamaah menjadi polemik berkepanjangan dan belum ada penyelesaiannya. Sebab tidak ada isyarat yang jelas dalam Alquran yang membolehkan ataupun mengharamkan perempuan menjadi imam salat dengan makmum laki-laki.
Imam al-Syafi‘iy (w. 204 H) dalam Kitab al-Umm membahas sebuah judul “Keimaman Wanita Untuk Laki-Laki”, ia menyatakan:
―Apabila wanita menjadi imam salat untuk laki-laki, wanita dan anak-anak lelaki, maka salat makmun wanita sah. Sedangkan salat para makmun laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Hal ini disebabkan karena Allah swt. menjadikan laki-laki sebagai pemimpin wanita. Allah swt juga tidak menjadikan wanita sebagai wali dan lain-lain; dan wanita dalam keadaan bagaimanapun tidak boleh menjadi imam salat untuk makmun laki-laki.
Penegasan Imam Syafi‘iy menunjukkan tidak adanya ruang sedikitpun yang diberikan kepada perempuan untuk menjadi imam bagi jamaah laki-laki, baik dewasa maupun anak-anak. Pada sisi lain, ada ulama yang membolehkan seorang wanita menjadi imam bagi jamaah laki-laki dalam salat berjamaah, seperti Abu Tsaur, al-Muzaniy dan Ibn Jarir al-Thabariy. Munculnya perbedaan tersebut tidak terlepas dari perbedaan sudut pandang para ulama dalam memahami hadis hadis Nabi saw.
Ketika Nabi saw. dan para sahabat menuju perang Badar, Ummu Waraqah ingin berpartisipasi dalam perang tersebut agar ia bisa mati syahid. Ummu Waraqah berkata kepada Rasulullah saw: Ya Rasulullah, izinkan saya untuk ikut berperang bersamamu untuk merawat yang sakit dan mengobati orang yang terluka, agar aku bisa tergolong dalam kelompok syahid. Rasulullah menjawab: tinggallah di rumahmu, semoga Allah memberi predikat mati syahid kepadamu.
Karena Ummu Waraqah tidak memperoleh izin untuk berpartisipasi dalam perang Badar, maka ia mohon kepada Rasulullah agar menentukan seorang muazzin yang bertugas mengumandangkan azan di rumahnya. Permintaan Ummu Waraqah dikabulkan oleh Nabi saw. dan sekaligus meminta Ummu Waraqah menjadi imam dalam lingkungan keluarganya. Salat jamaah yang diimami oleh Ummu Waraqah ternyata ada laki-laki tua yang menjadi makmun. Laki-laki itu adalah muazzin yang telah ditunjuk oleh Rasulullah saw.
Para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan perempuan menjadi imam dengan makmun laki-laki dewasa. Imam Syafi‘iy menyatakan dengan tegas ketidakbolehan seorang perempuan menjadi imam apabila makmunnya terdiri dari laki-laki, anak laki-laki dan perempuan, tetapi salat yang dilaksanakan oleh perempuan yang menjadi imam tetap sah; sedangkan salat laki-laki dan anak laki-laki tidak sah. Pengikut Imam Malik (Malikiyah) menyatakan perempuan tidak boleh sama sekali menjadi imam untuk lawan jenisnya maupun sesama jenisnya; baik dalam salat sunat maupun salat wajib. Laki-laki merupakan syarat mutlak menjadi imam. Ibn Jarir al-Thabari, Abu Tsaur dan al-Mughni berpendapat bahwa perempuan secara mutlak boleh menjadi imam salat berjamaah. Andi Rasdiyanah Amir berpendapat bahwa perempuan boleh menjadi imam di rumahnya, walaupun di antara jamaahnya terdapat laki-laki.
Dari berbagai pendapat ulama yang dikemukakan di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pendapat yang paling bisa diterima oleh mayoritas umat Islam yaitu pendapat yang membolehkan perempuan menjadi imam salat jamaah dalam lingkungan keluarganya. Karena hadis tersebut secara tekstual adanya perintah Rasulullah saw. kepada Ummu Waraqah menjadi imam dalam keluarganya, baik laki-laki maupun perempuan. Kebolehan itu disebabkan karena Ummu Waraqah adalah perempuan yang memiliki kapasitas keilmuan yang cukup. Hal ini dapat dibuktikan dari ketekunannya dalam beribadah dan selalu membaca Alquran. Bahkan Ummu Waraqah adalah pengumpul Alquran dan menghafalkannya.

Dukung pengembangan dakwah di Gayamsari melalui :
Kantor Layanan LazisMu
PCM Gayamsari
Zakat
Bank Syariah Indonesia
1021146214
Infaq
Bank Syariah Indonesia
1040367663
Konfirmasi :
CS KL Lazismu Gayamsari 0812 1544 6504
Zubad Ismail 0822 2076 7183
Penulis : Ahmad Furqon
Editor : Muhammad Huzein Perwiranagara