Ustadz Dr. H. Ahmad Hasan Ashari Ulamai M.Ag. ketika menjadi narasumber kajian ahad pagi MTDK PDM Kota Semarang
MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, SEMARANG – Haji mabrur adalah haji yang maqbul atau diterima dan diberi balasan berupa al-birr yang berarti kebaikan atau pahala. Demikian penjelasan singkat tentang haji mabrur dari ustadz Dr. H. Ahmad Hasan Ashari Ulamai M.Ag. ketika menjadi narasumber kajian ahad pagi Majelis Tabligh Dakwah Khusus PDM KotaSemarang pada hari Ahad tanggal 28 Mei 2023 di masjid At-Taqwa kompleks RS Roemani Semarang.
Menurut penjelasan dari ustadz Ahmad Hasan Ashari, Mabrur berasal dari bahasa Arab, yaitu “barra-yaburru-barran”, yang artinya taat berbakti. salah satu bukti bahwa seseorang telah berhasil meraih haji mabrur adalah ketika ia kembali menjadi lebih baik dari sebelumnya dan terus berusaha mengurangi perbuatan maksiat.
Mengutip dari HR. Bukhari :
عن أبي هريرة رضي الله عنه أن رسول الله صلى الله عليه وسلم قال: العمرةُ إلى العمرةِ كفَّارَةٌ لمَا بينَهمَا ، والحجُّ المبرورُ ليسَ لهُ جزاءٌ إلا الجنَّةُ
Artinya : Dari Abu Hurairah radhiallahu’anhu, Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda, “Ibadah umrah ke ibadah umrah berikutnya adalah penggugur (dosa) di antara keduanya, dan haji yang mabrur tiada balasan (bagi pelakunya) melainkan surga”.
Haji mabrur secara syariat adalah haji yang tidak tercampur dengan perrbuatan riya’ (ingin dipuji dan dilihat orang), sum’ah (ingin didengar oleh orang), rafats (berkata-kata keji dan kotor, atau kata-kata yang menimbulkan birahi), fusuq (berbuat kefasikan dan kemaksiatan), dan dilaksanakan dari harta yang halal.
Menurut Ustadz Hasan Ashari Ulamai, untuk meraih haji mabrur dapat dilakukan dengan beberapa cara, antara lain : 1. Luruskan niat beribadah. Tunaikan ibadah haji sebagai bentuk ketaatan terhadap perintah agama dan memenuhi Rukun Islam kelima. Dengan meluruskan niat, dapat menjaga kemurnian tujuan berhaji sehingga dapat menjauhkan pikiran dari hasrat untuk menaikkan status sosial atau sekadar pamer kesalehan. 2. Memahami filosofi di balik rukun haji dan wajib haji. Selain itu, kuasai bacaan-bacaan doa dalam tahapan-tahapan ibadah haji. Ini bisa membantu untuk lebih khusyu’ ketika beribadah kelak di Tanah Suci. 3. Fokus pada hal yang substantif selama berhaji. Selama di Tanah Suci, fokuskan pikiran dan energi untuk melakukan rukun haji dan wajib haji secara khusyu’. Ada 6 rukun haji yaitu ihram (niat), wukuf di Arafah, thawaf ifadah, sa’i, bercukur (tahalul) dan tertib. Apabila tidak melaksanakan salah satunya, maka ibadah haji tidak sah.
MUHAMMADIYAHSEMARANGKOTA.ORG, TABLIGH – Di zaman postmodernisme, kita memahami bahwa masyarakat Jawa masih memiliki akulturasi yang tinggi terhadap nilai-nilai Islam. Adanya kebudayaan Jawa yang berkembang di daerah-daerah menunjukkan Islam menyebar di Indonesia melalui kultur kebudayaan. Kita dapat melihat di daerah sekitar Pantura seperti Jepara, Demak, Pati, Kudus, dan Rembang. Tradisi kebudayaan masyarakat Jawa di daerah ini masih sangat kental dengan budaya dan adat istiadat kejawen atau tradisional.
Ustadz Prof. Dr. H. Suparman Syukur M.Ag. ketika menjadi narasumber kajian ahad pagi MTDK PDM Kota Semarang
Demikian penyampaian dari ustadz Prof. Dr. H. Suparman Syukur M.Ag. ketika memberikan tausiah pada kajian ahad pagi Majelis Tabligh dan Dakwah Khusus Pimpinan Daerah Muhammadiyah Kota Semarang pada hari Ahad, tanggal 14 Mei 2023 di masjid At-Taqwa Kompleks RS Roemani Semarang.
Prof. Dr. H. Suparman Syukur M.Ag. juga menjelaskan tradisi yang biasa dilakukan masyarakat jawa yang lainnya. Seperti tradisi memberikan sedekah sering dilakukan oleh para keluarga Jawa pada tetangga sebagai wujud rasa syukur atas nikmat yang diberikan Tuhan. Biasanya kegiatan tersebut dilakukan dengan cara bersama-sama di kediaman orang yang memiliki mempunyai hajat atau acara besar atau pada ketetapan hari-hari besar. Dengan mengumpulkan para tetangga dan diiringi dengan doa kepada Sang Maha Kuasa. Tradisi adat tersebut biasanya dilaksanakan masyarakat desa yang masih melestarikan adat kejawen yang dikenal dengan slametan (shodaqoh keselamatan).
Tradisi slametan menjadi simbolisasi masyarakat Jawa dalam menciptakan Islam kultural. Dakwah agama Islam yang diajarkan para Walisongo dalam menciptakan kerukunan bersikap secara santun dan toleran. Sehingga masyarakat Jawa banyak yang memeluk agama Islam lantaran corak dakwah para wali bersifat inklusif. Mafhum, masyarakat Jawa perlu masa transisi dari tradisi hinduisme menuju tradisi baru yaitu Islam Nusantara. Satu sisi mereka mempercayai dan mengakui kebenaran yang tersimpul dari ajaran-ajaran Islam, namun pada sisi lain mereka tetap mempercayai hal-hal yang berhubungan dengan tradisi warisan kebudayaan pra Islam yaitu Hindu-Budha. Mengutip keadaan tersebut sampai saat ini masih tetap eksis, meskipun sebagian masyarakat Jawa sudah tidak lagi memaknai sakralitas yang terdapat pada kebudayaan terdahulu.
Artinya : Sesungguhnya orang-orang mukmin, orang-orang Yahudi, orang-orang Nasrani dan orang-orang Shabiin, siapa saja diantara mereka yang benar-benar beriman kepada Allah, hari kemudian dan beramal saleh, mereka akan menerima pahala dari Tuhan mereka, tidak ada kekhawatiran kepada mereka, dan tidak (pula) mereka bersedih hati.
Prof. Dr. H. Suparman Syukur M.Ag. dalam surat Al-Baqarah ayat 52 menjelaskan bahwa surat tersebut menginformasikan tentang Hukum ini khusus untuk ahli kitab, karena pada hakikatnya orang-orang shabi’in yang sebenarnya termasuk kelompok-kelompok nasrani. Allah mengabarkan bahwasanya kaum Mukminin dari umat ini, Yahudi, Nasrani dan orang-orang shabi’in yang beriman kepada Allah di antara mereka, juga kepada Hari Akhir, dan mempercayai Rosul-rosul mereka; maka bagi mereka ganjaran yang besar, rasa aman dan tidak ada kekhawatiran atas meteka dan tidak pula mereka bersedih hati. Adapun orang yang kafir di antara mereka kepada Allah, Rosul-rosulNya dan Hari Akhir, tentu berbeda dengan kondisi yang pertama, maka dia ditimpa rasa kekhawatiran dan kesedihan.
Diakhir penjelasannya ustadz Prof. Dr. H. Suparman Syukur menyampaikan bahwasanya hukum ini adalah antara kelompok-kelompok tersebut menurut latar belakang mereka, dan bukan menurut keimanan kepada nabi Muhammad adalah kabar tentang mereka sebelum di utusnya Nabi Muhammad, dan ini adalah kandungan dari kondisi mereka, dan inilah metode al-Qur’an apabila terjadi pada beberapa orang –menurut konteks ayat- beberapa kesamaran, maka sudah seharusnya ada hal yang mampu menghilangkan kesamaran tersebut darinya, karena al-qur’an itu diturunkan oleh Tuhan Yang mengetahui sebelum terjadi, dan rahmatNya mencakup segala sesuatu, hal itu –Allah lebih mengetahui- bahwasanya ketika Allah menyebutkan Bani Israil lalu mencela mereka, dan Dia mengungkapkan kemaksiatan-kemaksiatan dan kejahatan-kejahatan mereka akan terjadi kesamaran pada jiwa beberapa orang yang semuanya termasuk dalam celaan tersebut, maka Allah Sang pencipta menghendaki untuk menjelaskan orang-orang yang tidak termasuk dalam celaan tersebut di antara mereka dengan menyebutkan sifatnya, dan juga ketika Allah menyebutkan Bani Israil secara khusus, maka hal itu membuat kesamaran akan kekhususan mereka, lalu Allah menyebutkan suatu hukum yang bersifat umum yang mencakup seluruh kelompok-kelompok, agar jelaslah kebenaran itu dan hilanglah kesamaran dan kemusykilan tersebut. Mahasuci Allah yang menetapkan dalam kitabNya hal-hal yang membuat akal-akal makhluk terpana. Kemudian Allah ta’ala menyebutkan kembali hinaan terhadap Bani Israil karena apa yang telah dilakukan para pendahulu mereka.