Berdoa dan Mengirim Pahala Itu Beda!

Oleh:

Drs. H. Danusiri, M.Ag

Wakil Ketua PDM Kota Semarang

Berdoa dan “mengirim pahala” adalah dua praktik yang sering disamakan. Padahal hakikat keduanya berbeda fundamental. Perbedaan mendasar ini perlu dipahami agar praktik ibadah dapat diletakkan pada proporsi yang benar sesuai tuntunan agama.

Hakikat dari “mengirim” mensyaratkan si pengirim harus memiliki sesuatu. Sesuatu itu kemudian diberikan kepada orang lain, seringkali membutuhkan perantara atau juru kirim untuk sampai.

Sementara itu, hakikat dari berdoa adalah kondisi di mana si pendoa tidak memiliki sesuatu. Ia sangat ingin memilikinya, tetapi tidak memiliki alat tukar atau daya beli. Oleh karena itu, yang ia lakukan adalah menengadahkan tangan dan memohon sesuatu yang diinginkan.

Praktik “kirim-mengirim” telah meluas dan membudaya secara global dalam ranah pahala, khususnya pahala dari bacaan ayat atau surat Al-Qur’an maupun kalimah-kalimah thayyibah.

Contohnya adalah tradisi Yasinan dan Tahlilan. Di dalamnya, seluruh pahala bacaan dikirimkan kepada arwah, ruh orang yang sudah meninggal, orang yang masih hidup di mana saja, hingga kepada diri sendiri.

Rumus pengiriman pahala ini bervariasi tergantung kepiawaian imam dalam Bahasa Arab. Rumus yang paling umum, sebagai pembukaan adalah ila hadlarati . . . syaiun lillâhi lahumul fâtiḩah.

Setelah rangkaian bacaan yang dikehendaki selesai, doa ditutup. Dalam selipan doa panjang itu, biasanya terdapat rumusan: Allâhumma taqabbal wa auṣil ṡawâba mâ qara’nâ minal qur’ânil ‘azhîm, wamâ sabbaḩnâ wamḩ hallalnâ wama ṣallainâ. . . ilû ruḩi . . . (Ya Allah, terimalah dan sampaikan pahala yang kami baca baik Alquran, tasbih, tahlil dan shalawat . . . kepada. . . .).

Ruh yang dituju bisa sangat beragam, mulai dari Nabi Muhammad, para sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in, ulama wa shalihin, syuhada, muallifin (pengarang kitab), Syekh Abdul Qadir Jailani, Imam Ghazali, penduduk kubur di area hajatan, hingga secara khusus para leluhur: mbah ke atas dan ke bawah, asal dan cabangnya. Lalu secara lebih khusus kepada siapa yang paling dekat dengan kematiannya.

Namun, praktik mengirim pahala ini tidak memiliki rujukan eksplisit dari Al-Qur’an maupun as-sunnah al-maqbulah. Tidak ada riwayat Rasulullah ﷺ mengirim pahala kepada almarhumah istrinya. Tidak ada riwayat Abu Bakar mengirim pahala kepada Rasulullah ﷺ setelah beliau wafat. Pun demikian, tidak ada riwayat Umar mengirim pahala kepada almarhum Abu Bakar, atau Usman mengirim pahala kepada almarhum Umar, dan seterusnya.

Praktik tahlilan juga muncul jauh setelah Nabi Muhammad ﷺ wafat. Konon, pencetusnya adalah Sayyid Ja’far al-Barzanji (w. 1177 H) atau Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad (w. 1132 H).

Di Jawa, tahlilan dikaitkan dengan Walisongo, disebut sebagai model alternatif “kirim sesuatu” kepada yang sudah mati dari pengaruh Hinduisme, yang kemudian diklaim sebagai perwujudan Islam rahmatan lil alamin.

Lantas, bagaimana tuntunan Islam yang autentik berkenaan dengan orang yang sudah meninggal?

Kewajiban kaum muslimin yang masih hidup kepada sesama muslim yang meninggal hanya empat hal: memandikan, mengkafani, mensalatkan (intinya mendoakan), dan mengebumikan.

Selain empat hal tersebut, umat Islam dianjurkan mendoakan mayit kapan saja. Mendoakan mayat tidak harus pada malam Jumat, dan isi utama doa adalah permohonan ampunan. Selebihnya adalah hal-hal baik di alam sana, misalnya agar dijauhkan dari siksa kubur dan siksa neraka.

Etika Berdoa Sesuai Tuntunan Syariat

Adapun etika dalam berdoa yang diajarkan oleh syariat adalah sebagai berikut:

Pertama. takut dan penuh harap (Tamakan). Mentalitas yang harus dibangun saat berdoa adalah rasa takut kepada Allah dan penuh harap ) pada-Nya. Karena saking takut dan harapnya, pendoa bisa saja menangis mengharapkan ijabah dari doanya. Allah berfirman:

وَلَا تُفْسِدُوْا فِى الْاَرْضِ بَعْدَ اِصْلَاحِهَا وَادْعُوْهُ خَوْفًا وَّطَمَعًاۗ اِنَّ رَحْمَتَ اللّٰهِ قَرِيْبٌ مِّنَ الْمُحْسِنِيْنَ
Artinya: Janganlah kamu berbuat kerusakan di bumi setelah diatur dengan baik. Berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut dan penuh harap. Sesungguhnya rahmat Allah sangat dekat dengan orang-orang yang berbuat baik (QS al-A’raf/7: 56).

Kedua, barter doa dan kesanggupan amal saleh. Berdoa merupakan sebuah “barter” antara hamba dan Allah. Allah hanya mengabulkan doa manakala hamba memenuhi perintah-Nya. Hal ini sesuai dengan firman Allah:

وَاِذَا سَاَلَـكَ عِبَادِىۡ عَنِّىۡ فَاِنِّىۡ قَرِيۡبٌؕ اُجِيۡبُ دَعۡوَةَ الدَّاعِ اِذَا دَعَانِ فَلۡيَسۡتَجِيۡبُوۡا لِىۡ  وَلۡيُؤۡمِنُوۡا بِىۡ لَعَلَّهُمۡ يَرۡشُدُوۡنَ
Artinya: Apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu (Muhammad) tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan permohonan orang yang berdoa apabila dia berdoa kepada-Ku. Hendaklah mereka itu memenuhi (perintah)-Ku dan beriman kepada-Ku, agar mereka memperoleh kebenaran (QS al-Baqarah/2: 186).

Oleh karena itu, jika ada orang merasa sudah berdoa tetapi tidak diijabah, berarti ada kewajiban dari Allah yang belum dipenuhi. Persoalan ini amat rahasia secara personal; hanya dirinya yang tahu tentang apa yang diperintahkan Allah kepadanya tetapi tidak dipenuhi.

Ketiga, kesatuan antara doa dan usaha. Doa harus dibarengi dengan usaha. Keterpaduan antara doa dan ikhtiar ini ditekankan dalam banyak ayat Al-Qur’an. Allah berfirman:

وَقُلِ ٱعْمَلُوا۟ فَسَيَرَى ٱللَّهُ عَمَلَكُمْ وَرَسُولُهُۥ وَٱلْمُؤْمِنُونَ ۖ وَسَتُرَدُّونَ إِلَىٰ عَٰلِمِ ٱٱلْغَيْبِ وَٱلشَّهَٰدَةِ فَيُنَبِّئُكُم بِمَا كُنتُمْ تَعْمَلُونَ
Artinya: Dan Katakanlah: Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada (Allah) Yang Mengetahui yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kerjakan (QS at-Taubah/9: 105).

Ayat-ayat lain yang semakna dengan ayat ini antara lain: QS ar-Ra’du: 11, Ali Imran: 159, dan QS an-Najm: 39–41.

Penerapan ayat ini, misalnya: jika ingin beristigfar, harus dibarengi dengan tidak berbuat dosa lagi. Ingin punya rumah, harus berdoa dan berusaha membangun atau membelinya. Ingin keturunan saleh atau salehah, haruslah dirinya saleh, menikah dengan pasangan salehah, dan sering berdoa.

Keempat, memuji Allah dan bersalawat kepada Nabi sebelum berdoa. Sebelum berdoa, seorang muslim dianjurkan untuk memuji Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bersalawat kepada Nabi Muhammad ﷺ. Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah ﷺ:

بَيْنَا رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَاعِدًا إِذْ دَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى فَقَالَ: اَللّهُمَّ اغْفِرْلِيْ وَارْحَمْنِيْ، فَقَالَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَجِلْتَ أَيُّهَا الْمُصَلِّيْ إِذَا صَلَّيْتَ فَقَعَدْتَ فَاحْمَدِاللهَ بِمَا هُوَ أَهْلُهُ وَصَلِّ عَلَيَّ ثُمَّ ادْعُهُ. Artinya: Ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam keadaan duduk-duduk, masuklah seorang laki-laki. Orang itu kemudian melaksanakan salat dan berdo’a: ‘Ya Allah, ampunilah (dosaku) dan berikanlah rahmat-Mu kepadaku.’ Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, ‘Engkau telah tergesa-gesa. Apabila engkau selesai salat lalu engkau duduk berdo’a, terlebih dahulu pujilah Allah dengan puji-pujian yang layak bagi-Nya dan bersalawatlah kepadaku, kemudian berdo’alah (HR Turmuzi: 3476, Abu Dawud: 1481).

Bersambung.

Wallahu A’lamu bi ṣ-ṣawāb

Lanjutan:

Berdoa Metodis Lebih Mujarab!

Editor:

Agung S Bakti

Bagikan berita ini

Kabar Lainnya

Scroll to Top