Umat Islam saat ini tak dimungkiri terpecah dalam beragam golongan. Perpecahan ini sering kali menjadi problem nyata, bahkan dalam urusan ibadah yang seharusnya menyatukan, seperti salat Subuh berjamaah di masjid.
Betapa sering kita menyaksikan, ketika salat berjamaah, praktik yang dilakukan oleh makmum pendatang berbeda dengan imam masjid, atau dalam pertemuan sosial, ada peserta yang hanya mau menjadi imam, atau bahkan membentuk sub-jamaah sendiri. Fenomena ini, di mana perbedaan praktik salat muncul hanya karena identitas masjid atau golongan, sesungguhnya menggambarkan ironi khilafiah yang terjadi pada satu jenis salat yang sama.
Perdebatan Kunut Subuh: Antara Ilmu Hadis dan Tradisi
Salah satu titik krusial yang sering memicu problematika ini adalah isu doa kunut Subuh. Berbagai penelitian hadis telah membuktikan bahwa hadis-hadis yang menjadi dasar argumen untuk doa kunut Subuh terus-menerus (rutin) adalah lemah (daif). Karena itu, para ulama ahli hadis yang teguh pada metodologi keilmuan hadis memilih untuk tidak membaca doa kunut saat salat Subuh.
Mereka pun gencar menyosialisasikan temuan ini melalui berbagai platform daring seperti laman web, blog, e-book, dan jurnal elektronik. Tentu, upaya ini menemukan tanggapan beragam. Sebagian pembaca atau pendengar menerima dan mengikuti pandangan tersebut karena dianggap sangat ilmiah dan autentik. Namun, sebagian lainnya tetap menolak, memilih untuk bertahan dengan tradisi yang telah mengakar. Bagi mereka, identitas golongan sering kali terasa lebih penting ketimbang argumen ilmiah.
Dilema Praktis di Lapangan
Problematika nyata dan sering terjadi dalam kajian rutin adalah saat salat Subuh berjamaah di masjid: apakah makmum yang tidak meyakini kunut harus mengikuti kunut imam, atau sebaliknya?
Skenario 1: Imam Kunut, Makmum Tidak Kunut
Makmum meyakini bahwa kunut subuh adalah tambahan yang tidak dianjurkan. Apakah ia harus ikut mengamini kunut imam, atau diam menunggu hingga kunut selesai?
Skenario 2: Imam Tidak Kunut, Makmum Kunut
Makmum meyakini bahwa kunut subuh adalah bagian yang harus dibaca. Apakah ia harus meninggalkan jamaah, atau tetap ikut imam dan tidak kunut, atau memutus jamaah untuk kunut sendirian?
Jawaban atas dilema ini cenderung bersifat pilihan di antara beberapa alternatif. Hal ini wajar karena masalah ijtihadiyah pada dasarnya tidak pernah mencapai derajat kebenaran yang mutlak (qat’i).
- Pilihan Memisahkan Diri (Membentuk Sub-Jamaah)
Jika seorang makmum sangat yakin bahwa salat Subuh tanpa kunut adalah kebenaran, sementara imamnya kunut, ia memiliki opsi untuk membatalkan niat bermakmum dan memilih salat sendiri atau berjamaah dengan kelompok lain yang sepaham. Dalam hal ini, mereka membentuk sub-jamaah di tempat yang sama.
Dasar dari pilihan ini adalah keyakinan bahwa ibadah mahḍah (ritual murni) tidak boleh ada penambahan (seperti bidah atau iḥdāṡ). Hadis berikut dapat menjadi referensi:
قَالَ نَزَلَتْ عَلَيَّ آنِفًا سُورَةٌ بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ { إِنَّا أَعْطَيْنَاكَ الْكَوْثَرَ فَصَلِّ لِرَبِّكَ وَانْحَرْ إِنَّ شَانِئَكَ هُوَ الْأَبْتَرُ } ثُمَّ قَالَ هَلْ تَدْرُونَ مَا الْكَوْثَرُ قُلْنَا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ فَإِنَّهُ نَهْرٌ وَعَدَنِيهِ رَبِّي فِي الْجَنَّةِ آنِيَتُهُ أَكْثَرُ مِنْ عَدَدِ الْكَوَاكِبِ تَرِدُهُ عَلَيَّ أُمَّتِي فَيُخْتَلَجُ الْعَبْدُ مِنْهُمْ فَأَقُولُ يَا رَبِّ إِنَّهُ مِنْ أُمَّتِي فَيَقُولُ لِي إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثَ بَعْدَكَ
Artinya: Beliau Shallallahu’alaihi wasallam menjawab, ‘Telah turun surat al-Kauṡar Bismillahirrahmaanirrahiim, Sesungguhnya Kami telah memberikan kepadamu nikmat yang banyak. Maka dirikanlah salat karena Tuhanmu dan berkurbanlah. Sesungguhnya orang-orang yang membenci kamu dialah yang terpuruk. Kemudian beliau Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: Apakah kalian tahu apa al-Kauṡar itu? Kami menjawab, ‘Allah dan Rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah Shallallahu’alaihi wasallam bersabda: al-Kauṡar adalah sebuah telaga yang telah dijanjikan Rabbku untukku di surga, bejananya (tempat airnya) sebanyak jumlah bintang-bintang di langit. Umatku banyak yang datang kepadaku, namun salah seorang umatku ini ditariknya, maka aku berkata. Ya Rabbi, dia umatku. Allah berfirman, Engkau tidak tahu apa yang ia ada-adakan setelah engkau meninggal (HR. Nasai, 894).
Lafal lain (masih dalam satu teks hadis):
إِنَّكَ لَا تَدْرِي مَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ فَأَقُولُ سُحْقًا سُحْقًا لِمَنْ غَيَّرَ بَعْدِي
Artinya: Aku berkata; ‘mereka adalah golonganku! Tetapi di jawab; ‘Sungguh engkau tidak tahu apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu! Maka aku berkata; ‘menjauh, menjauh, bagi orang yang mengubah (agama) sepeninggalku.
فَأَقُولُ يَا رَبِّ أَصْحَابِي فَيَقُولُ إِنَّكَ لَا عِلْمَ لَكَ بِمَا أَحْدَثُوا بَعْدَكَ
Artinya: Aku berkata, ‘Ya Rabbi, (mereka) sahabatku! Allah menjawab; Kamu tak mempunyai pengetahuan tentang apa yang mereka ada-adakan sepeninggalmu (HR Bukhari: 6097, Muslim: 4247).
Singkatnya, makmum yang memilih jalur ini mengedepankan keyakinan pribadinya mengenai kebenaran ibadah. Ia memandang adanya penambahan dalam ibadah mahḍah sebagai hal yang berpotensi menimbulkan maḍarat besar di hari akhir kelak, meskipun konsekuensinya ia kehilangan faḍilah (keutamaan) salat berjamaah.
- Pilihan Tetap Bermakmum dengan Toleransi
Jika makmum memiliki keyakinan tidak berdoa kunut Subuh, tetapi memilih untuk tetap mengikuti imam yang berdoa kunut, ia bisa mengambil langkah untuk berdiri dan diam sepanjang doa kunut dipanjatkan. Ia baru akan mengikuti gerakan rukuk imam setelah doa kunut selesai.
Hadis yang digunakan sebagai referensi untuk pilihan ini adalah tentang keharusan mengikuti gerakan imam:
إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ لِيُؤْتَمَّ بِهِ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا، وَلاَ تُكَبِّرُوا حَتَّى يُكَبِّرَ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا، وَلاَ تَرْكَعُوا حَتَّى يَرْكَعَ،وَإِذَا قَالَ: سَمِعَ اللهُ لِمَنْ حَمِدَهُ، فَقُولُوا: اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ، وَإِذَا سَجَدَ فاسْجُدُوا، وَلاَتَسْجُدُوا حَتَّى يَسْجُدَ، وَإِذَا صَلَّى قَائِماً فَصَلُّوا قِيَاماً، وَإِذَا صَلَّى قَاعِداً فَصَلُّواوا قُعُوداً أَجْمَعِينَ
Artinya: Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Apabila imam telah bertakbir, bertakbirlah kalian dan jangan bertakbir sebelum imam bertakbir. Apabila imam rukuk, maka rukuklah kalian dan jangan rukuk sebelum imam rukuk. Apabila imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, maka ucapkanlah ‘Allāhumma Rabbanā lakal ḥamdu. Apabila imam sujud, maka sujudlah kalian dan jangan sujud sebelum ia sujud. Apabila imam salat berdiri, maka salatlah dengan berdiri. Apabila imam salat sambil duduk, maka salatlah kalian semua sambil duduk. (HR. Abu Daud: 511, Ahmad: 8146, Bukhari: 365, 647, 648. Hadis yang semakna dengan hadis ini sebanyak 65 dalam 14 kitab hadis: Ṣaḥīḥ Bukhari, Ṣaḥīḥ Muslim, Sunan Abu Dawud, Sunan Turmuẕī, Sunan Nasā’ī, Sunan Ibnu Mājah, Sunan Darimi, Musnad Aḥmad, Muwaththa’ Mālik, Sunan Daruquthni, Ṣaḥīḥ Ibnu Khuzaimah, Ṣaḥīḥ Ibnu Ḥibbān, Mustadrak Ḥākim, dan Musnad Imam Syafi’i).
Secara tekstual, hadis ini menekankan pada keharusan mengikuti gerakan imam: takbir, berdiri, rukuk, sujud, dan duduk, tanpa menyebutkan soal doa kunut. Oleh karena itu, dengan mentoleransi khilafiah, ketika imam berdoa kunut Subuh sambil berdiri, makmum memilih untuk berdiam dan tetap berdiri—tidak ikut mengaminkan kunut—sampai doa selesai. Setelah itu, ia mengikuti gerakan rukuk imam.
Dengan cara ini, makmum merasa ia tidak menyelisihi gerakan imam, tidak menambah materi yang ia yakini tidak sahih dalam salat, dan tetap memperoleh pahala salat berjamaah.
(bersambung)
Baca juga:
Panduan Praktis Fiqih Kunut Subuh: Cara Makmum Berbeda Mazhab Mengikuti Imam (Bagian 2)
Panduan Praktis Fiqih Kunut Subuh: Cara Makmum Berbeda Mazhab Mengikuti Imam (Bagian 3)


